Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

DIALOG ANTARA MUSLIM DAN KRISTIAN [5]

0 Pendapat 00.0 / 5

Pencipta Semesta


Wilson: Saya tahu bahwa beriman kepada Tuhan, Sang Pencipta semesta merupakan hal pertama dan utama dalam keyakinan Islam, dan bahwa pengingkaran terhadap keberadaan-Nya mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Tapi saya tidak tahu apakah Islam menawarkan bukti konkrit tentang eksistensi Wujud Agung atau apakah ia menasihati para pengikutnya untuk bersandar kepada ayat-ayat otoritatif Qur’an dan hadis-hadis Nabi. Chirri: Islam menuntut setiap pengikutnya untuk beriman kepada Tuhan, Sang Pencipta Semesta, tapi ia tidak menasihatkan mereka untuk menyandarkan keyakinan tersebut kepada ayat-ayat Qur’an atau hadis-hadis Nabi Saw. Keyakinan kami kepada sebuah kitab suci, seperti al-Qur’an, atau kepada seorang nabi suci, seperti Muhammad, harus didahului oleh keyakinan kami kepada Tuhan. Sebuah kitab religius adalah suci lantaran diperkenalkan oleh seorang yang kita pandang sebagai nabi. Kenabian dapat diterima bilamana ada Tuhan karena seorang nabi merupakan seorang utusan Tuhan. Keyakinan kami kepada Tuhan, dengan demikian, harus hadir sebelum keyakinan kami terhadap sebuah kitab agama atau seorang nabi, bukan sebaliknya. Tidak ada kitab agama yang diyakini oleh setiap orang, dan tidak ada nabi yang dikenali secara universal. Oleh karena itu, akan menjadi sia-sia bersandar kepada sebuah hadis otoritatif seorang nabi atau sebuah kitab suci tatkala berurusan dengan seorang atheis yang menolak seluruh pewahyuan samawi dan mengingkari seluruh konsep tentang Tuhan.



Wilson: Apakah harus saya pahami dari komentar Anda bahwa Islam menawarkan beberapa bukti (argumen) universal untuk menyokong keberadaan Tuhan yang boleh jadi dipertimbangkan bahkan oleh mereka yang tidak memeluk satu agama pun, seperti kaum atheis dan agnostis? Jika ini yang Anda maksud, apa buktinya (argumen)?

Chirri: Tatkala keyakinan kita kepada Tuhan mendahului keyakinan keagamaan yang lain, bukti yang menghasilkan keyakinan semacam ini harus bercorak universal dan tersedia bagi setiap makhluk rasional, apakah ia mengikuti sebuah agama tertentu atau tidak. Kitab Suci al-Qur’an menawarkan semesta sebagai bukti keberadaan Penciptanya. Dunia material, benda-benda angkasa, bumi, dan planet-planet lainnya, dipandang oleh Islam sebagai bukti utama Pencipta materi dan energi. Dunia materi dapat diamati oleh atheis demikian juga oleh kaum beriman, bagi mereka yang tak terpelajar dan juga bagi filosof. Seseorang dapat merefleksikan susunan benda-benda angkasa dan keberadaan materi dan energi tanpa menganut suatu agama tertentu atau mengenal setiap kitab-kitab agama.



Wilson: Namun mengapa seseorang harus memandang keberadaan dunia mater sebagai bukti keberadaan pencipta materi? Anggaplah seseorang memandang bahwa materi atau energi telah berusia lanjut secara tak terbatas, dan ia tidak pernah didahului oleh ketiadaan. Mampukah Anda mematahkan pandangannya?

Chirri
: Sangat sukar diterima gagasan yang menyatakan bahwa materi berusia lanjut secara tak terbatas. Ketika seseorang berkata bahwa materi atau energi telah berusia lanjut secara tak terbatas, ia beranggapan bahwa materi yang darinya miliaran bintang-bintang tercipta, hadir secara simultan. Tatkala kita sadari bahwa setiap bintang memuat miliaran ton materi, dan bahwa keseimbangan materi mentah lebih banyak dari materi yang terkandung dalam bintang-bintang dan planet-planet, kita sadari kemustahilan gagasan ini. Kita tidak dapat menerima bahwa seluruh kuantitas materi ini hadir dalam sekejap dan tiada satu pun darinya yang didahului oleh ketiadaan. Ketika Anda berkata bahwa hanya satu porsi dari materi itu yang berusia lanjut secara tak terbatas, dan porsi lainnya mewujud pada tingkatan selanjutnya, artinya Anda menerima kebutuhan pencipta, karena materi yang tidak hidup tidak berkembang melalui swa-reproduksi. Hanya makhluk hidup yang mampu memperbanyak jenis mereka melalui swa-reproduksi. Membolehkan adanya perkembangan gradual dalam kuantitas materi artinya menerima kebutuhan terhadap seorang pencipta.



Wilson: Saya boleh jadi setuju dengan Anda bahwa materi dan energi harus didahului oleh ketiadaan. Namun hal ini tidak begitu jelas bagi manusia. Apakah ajaran Islam menyarankan pertimbangan segala sesuatu dalam tabiat bahwa secara pasti didahului oleh ketiadaan?

Chirri: Iya, ada sesuatu yang kita ketahui semuanya, dan ia lahir setelah keberadaan bumi, namanya:kehidupan.

Para ilmuan kita mengatakan bahwa bumi terlalu panas (dan sebagian dari mereka berkta terlalu dingin) bagi setiap jenis kehidupan untuk mengada. Bumi memerlukan jutaan tahun lamanya hingga ia menjadi tempat yang layak untuk kehidupan. Oleh karena itu, tanpa ragu, kehidupan adalah sebuah kelahiran baru. Ilmu pengetahuan, bagaimanapun, mengatakan kepada kita bahwa kehidupan tidak bermula dari non-makhluk hidup. Eksperimen Pasteur, yang terjadi pada abad kesembilanbelas, masih berlaku hingga sekarang. Melalui sup yang ia sterilkan, ia membuktikan tanpa adanya keraguan bahwa kehidupan tidak bermula dari materi non-animatif (yang tidak hidup). Kaum ilmuan dewasa ini masih tidak mampu untuk mematahkan kesimpulannya. Bumi, beserta atmosfirnya, pada saat pembentukannya adalah steril dan tidak produktif. Transformasi materi-materi yang non-animatif seperti, karbon, hidrogen, nitrogen, kalsium dan besi, tidak dapat dilakukan melalui proses natural. Ia harus dilakukan melalui mukjizat. Hal ini bermakna bahwa keberadaan hidup di atas planet merupakan bukti yang terang akan keberadaan sosok Cerdas, Pencipta yang bersifat supernatural.



Wilson: Anda telah membuatnya jelas. Pada kenyataannya, para ilmuan selama beberapa dekade telah mencoba tanpa henti untuk menyingkap misteri kehidupan dan menjelaskan permulaannya pada planet ini. Namun usaha mereka yang tak kenal lelah sejauh ini tidak menghasilkan pengetahuan yang bersifat substansial dalam bidang ini. Keberadaan kehidupan di planet ini, tanpa disangsikan, sebuah keajaiban besar yang tidak dapat terjadi tanpa adanya sebab supernatural. Manusia telah banyak menyingkap rahasia di alam semesta, maju dalam pengetahuan teknis dan ilmiahnya, dan bahkan telah mendarat di bulan; namun di samping semua ini, ia masih tidak mampu menghasilkan selembar daun dari sebuah tanaman atau sebiji benih dari apel. Kini, saya ingin bertanya apakah al-Qur’an menyebutkan keberadaan kehidupan di planet kita dalam menyokong keberadan Tuhan?



Chirri: Iya, Qur’an menyebutkan transformasi bumi yang tidak hidup menjadi hidup sebagai sebuah tanda keberadaan Tuhan: “…Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, Maka daripadanya mereka makan. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air.” (Qs. Yasin [36]:33-34)



Wilson: Sejauh ini, Anda telah menjawab banyak pertanyaan penting ihwal keberadaan Tuhan, namun ada satu lagi pertanyaan penting lainnya yang Anda tidak singgung: Mengapa kita tidak dapat melihat Tuhan?

Chirri: Dari diskusi kita yang sebelumnya, telah menjadi jelas bahwa Pencipta semesta haruslah bersifat Mutlak dan Tak-terbatas. Dia meliputi seluruh semesta. Dia Mahaberada dan tidak pernah alpa dari manapun. Dengan ke-Mahaberadaan-Nya, penampakannya tidak akan membuat kita percaya kepada-Nya atau mengenal-Nya. Penampakannya akan menjadi sangat merugikan bagi kita. Sebelum kita mengenal-Nya dengan ke-Mahaberadaan-Nya, kita akan binasa. Penampakannya akan membutakan seluruh manusia. Anggaplah bahwa udara (yang wujud hanya pada ruang yang terbatas) dapat dilihat. Ia akan memiliki warna, dan kita tidak akan melihat apapun kecuali udara yang telah mengisi seluruh atmosfir. Sekiranya hal ini terjadi, kita tidak akan mampu mendapatkan makanan atau minuman, juga tidak akan mampu menemukan jalan atau perlindungan. Jika penampakan udara yang wujud hanya pada atmosfir planet kita akan membutakan dan membinasakan, apatah lagi penampakan Sang Pencipta yang meliputi seluruh alam semesta? Tatkala memikirkan hal ini, kita sadari bahwa betapa beruntungnya kita tidak mampu melihat Tuhan, Pencipta kita.



Wilson
: Jika Tuhan tidak dapat dilihat, bagaimana kita dapat yakin akan keberadaan-Nya? Bagaimana mungkin seorang atheis percaya kepada Tuhan yang ia tidak lihat?

Chirri: Untuk meyakini sesuatu, Anda tidak perlu harus melihatnya. Anda percaya kepada listrik, namun Anda tidak melihatnya. Anda meyakininya hanya karena Anda melihat produknya seperti cahaya, panas dan sebagainya. Jika hal ini memadai untuk membuat Anda menjadi seorang beriman kepada keberadaan listrik, semesta raya seharusnya memadai bagi setiap manusia untuk percaya kepada keberadaan Sang Pencipta.



Wilson: Tolong Anda sebutkan contoh selain listrik.

Chirri: Eksistensi Anda sendiri merupakan sebuah bukti agung tentang keberadaan Adam dan Hawa, atau kita katakan dua manusia pertama. Anda tidak melihat Adam dan Hawa, namun Anda yakin bahwa mereka pernah ada. Untuk membuatnya lebih jelas: Anda datang melalui kedua orangtua Anda. Kedua orang tua Anda datang melalui kedua orang tua mereka, dan kedua orang tua mereka datang melalui kedua orang tua mereka, dan seterusnya. Anda dapat melanjutkannya kembali hingga Adam dan Hawa. Jika Anda mengingkari kedua manusia pertama, Anda akan melenyapkan generasi pertama dari anak-anak mereka. Dengan menghilangkan generasi pertama, Anda menghilangkan generasi kedua dan seterusnya. Dan pada akhirnya, Anda harus melenyapkan kedua orang tua Anda. Namun Anda berkata kepada diri sendiri: Saya tidak dapat melakukan hal itu karena saya ada di sini. Oleh karena itu, Anda harus berkata: Adam dan Hawa dulu ada.



Wilson: Anda telah membuat persoalan ini menjadi jelas. Kita harus percaya kepada Tuhan. Namun bagaimana kita dapat percaya bahwa Dia tidak memiliki permulaan sementara segala sesuatu yang lain selainnya memiliki permulaan?

Chirri: Sang Pencipta semesta tidak dapat didahului oleh ketiadaan; kalau tidak, Dia akan memerlukan tuhan yang lain untuk menciptakannya; dan tuhan itu, jika ia didahului oleh ketiadaan, ia akan memerlukan tuhan yang lain dan demikian seterusnya. Dengan demikian, kita akan memiliki mata rantai yang tak berujung tanpa mencapai sebuah sebab yang tak bersebab yang menjadi sumber keberadaan semesta. Lalu kita harus mengingkari keberadaan semesta. Juga kita harus mengingkari diri kita sendiri sebagai bagian dari semesta ini.[]