Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Cinta Tanah Air, Spiritualitas Membela Negara

1 Pendapat 05.0 / 5

Bela Negara Secara Umum

Dalam konteks filosofi cinta adalah sebuah aksi atau kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap suatu objek, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, kasih sayang, membantu, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apa pun yang diinginkan objek tersebut. Sedangkan cinta tanah air adalah perasaan yang timbul dari dalam hati sanubari seorang warga negara, untuk mengabdi, memelihara, membela, melindungi serta rela berkorban demi tanah airnya dari segala ancaman dan gangguan.

Bela negara menjadi sebuah istilah dan memiliki sebuah konsep yang disusun oleh perangkat perundangan dan petinggi suatu negara tentang patriotisme seseorang, suatu kelompok atau seluruh komponen dari suatu negara dalam kepentingan mempertahankan eksistensi negara tersebut. Secara fisik, hal ini dapat diartikan sebagai usaha pertahanan menghadapi serangan fisik atau agresi dari pihak yang mengancam keberadaan negara tersebut. Sedangkan secara non-fisik konsep ini diartikan sebagai upaya untuk serta berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara, baik melalui pendidikan, moral, sosial maupun peningkatan kesejahteraan orang-orang yang menyusun bangsa tersebut.

Konsep dasar bela negara adalah adanya wajib militer. Konsep ini sudah berlaku di beberapa negara misalnya Amerika, Iran dan Singapura memberlakukan wajib militer bagi warga yang memenuhi syarat. Sedangkan di Indonesia bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya. Di Indonesia bela negara dengan konsep wajib militer belum diatur dalam bentuk perundangan karena dianggap negara tidak dihadapkan dengan krisis kemiliteran.

 

Spiritualitas Tokoh Agama Terhadap Bela Negara

Bela negara merupakan salah satu upaya bagi warga negara dalam menyumbangkan kemampuan, bakat, dan kepandaian dalam memajukan serta mengabdikan diri pada bangsa dan negara. Dalam agama bela negara juga ditekankan sebagai landasan spiritual umatnya agar menjadi warga negara yang baik. Dalam pandangan agama Budha terhadap peran sebagai warga negara dimulai dari membangun individu manusia yang bermoral baik, menjalankan norma yang ada dalam masyarakat dan agama serta mentaati peraturan yang ada dalam suatu negara.

Dhammananda (2003: 416) menekankan bahwa kedamaian suatu negara atau dunia akan tercapai jika setiap individu dapat mengamankan dirinya sehingga kedamaian dapat dimulai dari diri sendiri dan berkembang dalam lingkungan yang lebih luas.

Dalai Lama dalam perjalanan spritualnya ikut serta dalam menjaga kerukunan antar umat beragama demi perdamaian dunia. Sebagai pemimpin spiritual Budha di Tibet, Dalai Lama tidak menutup mata untuk kaum muslim di dunia. Meski memiliki keyakinan berbeda, beberapa komentar atau pandangan pribadi Dalai Lama justru kerap membela umat muslim. Perbuatan yang dilakukannya merupakan konklusi terhadap kualitas dirinya sebagai warga negara yang memiliki cerminan bagi umatnya.

Intelektual umat Kristiani mengenai bela negara juga memberikan kontribusi positif untuk membangun negara. Seorang reformator Perancis Yohanes Calvin menjadi rujukan rohaniawan dan kaum intelektual umat Kristiani Indonesia dalam konsep bela negara. Menurut pandangan Calvin negara ada karena manusia telah jatuh ke dalam dosa, tanpa dosa negara tidak perlu ada. Namun, walaupun Calvin melihat negara secara negatif, tapi ia percaya bahwa negara berguna untuk dapat mengatur kehidupan menjadi lebih baik.

Menurut Calvin, tanpa negara kehidupan menjadi seperti neraka. Walaupun Calvin mengakui ada kedaulatan yang berbeda antara negara dan agama. Calvin berpendapat bahwa apabila negara menyalahgunakan kekuasaannya, baik urusan spiritual maupun dunia, rakyat boleh melawannya. Jadi Calvin tidak memisahkan negara dengan agama secara total, ia mengakui pemisahan tetapi tidak ada keterpisahan. Tidak ada subordinasi atau separasi total, melainkan yang terjadi adalah koordinasi.[1] “Kedaulatan negara dan kedaulatan Gereja berdiri  berdampingan, dan mereka saling membatasi satu dengan lainnya”.[2] Pandangan Calvin ini didasarkan oleh pemahaman bahwa gereja dan negara memperoleh wewenangnya dari Allah yang satu, bagi dunia yang satu dan kemanusiaan yang satu.[3]

Darmaputera seorang teolog Kristen yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Calvin menjelaskan demikian, negara mengakui otonomi agama, dan agama mengakui otonomi negara. Masing-masing tidak mencampuri langsung urusan dan otoritas yang lain. Namun demikian, antara keduanya terdapat keterkaitan fungsional. Tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan internal keagamaan, negara mempunyai tanggung  jawab keagamaan yaitu melindungi dan membantu agar semua agama hidup dan berkembang dan menjamin baik kebebasan maupun kerukunan hidup beragama. Di pihak lain, tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan kenegaraan (termasuk di sini pemaksaan kehendak dengan melalui kekuatan massa), agama mempunyai tanggung jawab kenegaraan. Tanggung jawab ini adalah meletakkan kerangka landasan moral, etik dan spiritual bagi pembangunan nasional dan lainnya. Artinya, kerangka landasan moral, etik dan spiritual itu tidak hanya kontribusi dari satu agama saja namun agama lain juga memberikan kontribusi agar kerukunan antar beragama tercipta.[4]

Tidak diragukan lagi Islam sebagai agama yang lengkap-komprehensif. Segala ajaran, arahan, dan larangannya merangkum segala aspek kehidupan manusia. Termasuk didalamnya terdapat konsep mengenai bela negara. Banyak orang mengira bahwa konsep bela negara bertentangan dengan Islam yang mengharuskan bersaudara antar sesama muslim tanpa ada sekat negara.

Bela negara merupakan salah satu perwujudan bersaudara dalam Islam, yakni ukhuwah wathoniyah yang berarti mencintai dan bersaudara dengan yang sebangsa dan setanah air. Allah dalam firman-Nya menyebutkan “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah ayat 148)

Dalam rangkaian acara Konferensi Ulama Thariqah Sedunia di Hotel Santika Pekalongan Maulana Habib Luthfi bin Yahya mengatakan, masyarakat Suriah mencintai negaranya, masyarakat Maroko mencintai negaranya, masyarakat Libanon mencintai negaranya. “Setiap anak bangsa akan memiliki kecintaan kepada tanah airnya apabila mereka mempunyai rasa bela negara yang kuat”. Apa perlunya bela negara? Yang disebut bela negara bukan wajib militer. Itu definisi yang sempit mengenai bela negara. Yang dimaksud bela negara adalah setiap anak bangsa merasa memiliki negara masing-masing. Kalau setiap anak bangsa sadar merasa memiliki bangsanya, maka negara akan kuat. Kekuatan dari bela negara akan menimbulkan rasa cinta tanah air. Menurut Habib Lutfi bela negara bukan hanya dalam dunia pertahanan. Dalam dunia pendidikan, perdagangan, pertanian itu termasuk bela negara untuk menopang kemajuan bangsa. Maka bela negara jangan hanya dimaknai dengan mengangkat senjata saja tetapi melahirkan intelektual pertanian, kelautan, dan lain sebagainya yang akan memperkokoh bangsa dan negara juga merupakan bela bangsa.

 

Kerukunan Masyarakat Menjaga Tanah Air

Manusia adalah makhluk terakhir yang diciptakan oleh Allah Swt. Sebagai makhluk terakhir yang diciptakan, manusia dikaruniai oleh Allah dengan begitu sangat istimewa. Ironisnya, meskipun dengan segala karunia yang telah Allah berikan tidak serta merta membuat manusia memahami arti tujuan penciptannya. Allah menciptakan manusia dengan segala keunggulannya agar dapat menjadi penguasa bumi ini, sebagai penjaga dan pelestari apa yang telah Dia ciptakan. Segala hal telah diletakkan di hadapan kaki manusia agar supaya manusia selalu ingat bahwa Allah sangat mengasihinya dan diharapkan manusia dapat secara arif serta bijaksana memperlakukannya.

Peran manusia menjadi sangat penting untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Setiap manusia yang tinggal di suatu negara, pada hakikatnya memiliki rasa empati terhadap sistem yang ada dalam negara tersebut. Rasa empati ini muncul dari fitrahnya sebagai manusia dan juga karena ajaran agama yang dianutnya. Pada dasanya setiap agama mengajak sesama manusia membangun kerukunan demi menciptakan kedamaian. Dengan kita menjaga kedamaian tersebut pembangunan bangsa dan negara dapat berjalan secara lancar.

Apabila agama diajarkan secara fanatik terhadap umatnya dapat menimbulkan sifat apatis terhadap negara. Sifat ini yang kemudian membentuk paham dan membangun polaritas dalam sistem negara. Sifat apatis ini pula yang kerap menimbulkan pemberontakan dan menuai konflik antar warga yang berbeda dengannya. Dan dengan paham yang berkembang dapat mempengaruhi warga lainnya untuk tidak berempati kepada negaranya. Hal ini terjadi karena ajaran yang diadopsi sudah mengalami distorsi secara signifikan. Sehingga ajaran tersebut membuat pemeluknya tidak peduli lagi dengan sistem negara yang dibuat untuk merukunkan warganya.

Kerukunan antar umat beragama sebangsa dan setanah air memiliki jejak lama sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Ir. Soerkarno. Kerukunan tersebut menjadi kekuatan dan senjata bagi rakyat untuk mengusir penjajah. Kerukunan ini pula yang memerdekakan Indonesia pada tahun 1945 yang dikodifikasi dalam Pancasila dan UUD 1945. Kodifikasi tersebut dibuat berdasarkan konsensus para kaum intelektual, tokoh agama dan patriot bangsa yang ikut berjuang. Artinya, kemerdekaan ini ditempuh dengan perjuangan dan gotong royong antar umat beragama yang mempunyai tuntutan besar yang wajib dibayar oleh setiap warganya. Karena kemerdekaan ini telah mengorbankan setiap tetesan darah dari pejuang-pejuang tersebut. Oleh karena itu, setiap warga negara wajib menjaganya dari segala ancaman dan gangguan yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

MERDEKA !!!

Sumber:

[1] Darmaputera, Pergulatan Kehadiran., Hal. 151.

[2] Kuyper, Lecturer on Calvinism., Hal. 122.

[3] Lih. Darmaputera, Pergulatan Kehadiran, Hal. 144-152

[4] Pergulatan Kehadiran., Hal. 97.