Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Mengapa Al-Husein Harus Bangkit?

0 Pendapat 00.0 / 5

Pada kisah sebelumnya saya menceritakan bagaimana kehidupan Al-Husein dari sejak lahir yang dibesarkan dalam rumah tangga Nabi Muhammad Saw. Kehidupannya bersama Nabi yang membentuk dirinya sebagai manusia pilihan dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Perilaku kasih sayang Nabi dan orangtuanya membuat dirinya murah hati, tulus dan bijaksana. Dengan gejolak politik yang semakin terpuruk dengan saling memperebutkan kekuasaan setelah wafatnya Nabi dan saat orangtuanya dianiaya membuatnya semakin tanggung dalam menghadapi setiap masalah yang akan dihadapinya.

 

Terpecahnya Umat Islam

Ayah Al-Husein Sayyidna Ali ibn Abu Thalib, memiliki klaim yang sah atas kepemimpinan, baik dukungan dari Nabi Muhammad Saw maupun dukungan dari rakyat dan pengikutnya. Namun, Ali ibn Abu Thalib khawatir jika menegakkan haknya, ia bisa menjerumuskan kondisi sosial yang sedang bergejolak ke dalam perang sipil yang kemungkinan tidak dapat dipulihkan kembali. Ali memilih lebih bijaksana untuk bersabar agar menghindari terjadinya perpecahan diantara masyarakat umat Islam.

Akhirnya, Sayyidina Ali yang juga biasa dipanggil oleh para pengikutnya dengan sebutan Imam Ali as, dipilih sebagai pemimpin oleh rakyat dan pengikutnya setelah kekhalifahan sebelumnya. Namun, Imam Ali selama lima tahun menghabiskan sebagian besar masa jabatannya menghadapi kekacauan politik perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh para durjana dan pemberontak.

Meskipun saat itu Imam Ali sudah dapat mengembalikan keadaan yang mulai terkikis dari sejak tahun-tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad. Namun tekanan dari lawan politiknya terus menjatuhkannya dari berbagai aspek dengan menyebarkan propaganda dan hasutan kepada umat Islam. Kemudian pada tahun 661 M Imam Ali dibunuh saat sujud diatas mihrabnya oleh Abdurahman ibn Muljam suruhan para pemberontak yang ingin merampas kekuasaan tersebut.

 

Bangkitnya Dinasti Umayya

Setelah wafatnya Ali ibn Abu Thalib, orang-orang Arab kembali ke cara lama mereka, dengan aristokrat dari berbagai provinsi bergulat untuk mendapatkan kekuasaan. Meskipun sudah terjadi konsensus umum bahwa kakak laki-laki Al-Husein Hassan ibn Ali paling cocok untuk menjadi memimpin setelah wafatnya Sayyidina Ali. Namun seorang pria bernama Muawiyya bangkit untuk merebut kekuasaan, menjadi orang pertama dalam barisan panjang penguasa yang kemudian dikenal sebagai dinasti Umayyah.

Saat zaman propaganda dan fitnah besar atau perang saudara pertama orang Islam atau tepatnya peristiwa Perang Shiffin, posisi Muawiyah makin kuat dan melemahkan kekhalifahan Ali bin Abu Thalib, walaupun secara militer Muawiyyah dapat dikalahkan. Hal itu terjadi karena keunggulan saat berdiplomasi antara Amru bin Ash (kubu Muawiyah) dengan Abu Musa Al-Asy’ari (kubu Ali) yang terjadi di akhir peperangan tersebut. Seperti halnya Amru bin Ash, Muawiyah adalah seorang administrator dan negarawan ulung dalam berpolitik menjatuhkan musuhnya. Muawiyah adalah sahabat yang kontroversial bagi Amru bin Ash dan tindakannya sering disalahartikan.

Mereka mempertahankan tahta kekuasaannya dengan cara kekerasan, propaganda dan penyuapan. Mereka mempertahankan tahta tersebut dengan kekuatan bersama keluarga, para kolega yang ditopang dari pajak-pajak dan dana yang dirampas dari masyarakat. Muawiyah sangat dikenal oleh koleganya dengan kebiasaan suka mengadakan pesta pora, bermabuk-mabukan, suka bermain dengan pelacur, sangat arogan terhadap siapapun dan penguasa yang lalim.

 

Perjanjian Al-Hasan dengan Muawiyah

Untuk menjaga perdamaian, dan mencegah pertumpahan darah lebih lanjut, Hasan ibn Ali menandatangani sebuah perjanjian dengan Muawiyah yang antara lain, akan menjamin Muawiyah tidak akan menyerahkan kekuasaan kepada Yazid, anaknya.

Namun tak lama setelah menandatangani perjanjian tersebut, Muawiyya menyuruh untuk membunuh Al-Hasan dengan cara diracun. Rencana pembunuhan tersebut dilakukan tak lama setelah perjanjian itu dibuat dan syarat perjanjian tersebut dilanggar dengan menunjuk anaknya Yazid ke takhta singgasananya.

Menurut sebuah riwayat bahwa Hasan bin Ali meninggal karena diracun oleh istrinya Ja’dah binti Al-Asy’ats. Riwayat lain mengatakan bahwa Mu’awiyah lah yang telah menyuruh Ja’dah untuk meracun Hasan bin Ali. Hal ini dilakukan karena Mu’awiyah suka terhadap Ja’dah dan berjanji dia akan menikahi Ja’dah sepeninggal Hasan. Ada juga riwayat yang mengatakan bahwa Yazid bin Muawiyah lah yang telah menyuruh seluruh pembantu Hasan untuk menaruh racun di setiap makanan dan minuman Al-Hasan.

 

Peperangan Al-Husein dan Yazid

Yazid dikenal sebagai pemabuk setiap hari, pemain wanita pelacur dan penguasa yang kejam. Yazid tidak banyak mendapatkan dukungan dari orang-orang berbeda dengan popularitas Husein ibn Ali. Mengetahui hal itu, Yazid memutuskan bahwa dia akan menuntut kesetiaan Al-Husein. Yazid berharap bisa mendapatkan legitimasi warisan kepemimpinan Al-Husein dengan membaiatnya.

Dalam hal ini, Al-Husein memiliki pilihan untuk dilakukan. Dengan menerima dan mendukung Yazid yang tak diragukan lagi akan mendapatkan harta yang melimpah dan kehidupan yang mewah. Namun jika menolak tuntutan Yazid pasti akan menyebabkan kematiannya sendiri. Apa yang harus Al-Husein lakukan dengan posisi seperti itu? Dan jika Anda dalam posisi seperti Al-Husein apa yang akan Anda atau saya lakukan?

Bagi Al-Husein untuk memilih antara jalan yang mudah dan atau dengan membaiat Yazid ibn Muawiyah, bukan lah pilihan yang tepat. Al-Husein harus menampikkan Yazid yang tidak manusiawi dan tidak bermoral demi menjaga kesucian agama, dan inilah mengapa Al-Husein memilih untuk bangkit melawan Yazid. Al-Husein lebih memilih bangkit melawan Yazid dan rela dibantai di tanah Karbala demi menjaga kemurnian ajaran kakeknya.

Bersambung….