Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Tawakkal (4)

1 Pendapat 05.0 / 5

Al-Wasysya bertanya kepada Imam Ali al-Ridha as, “Apakah Allah melimpahkan perkara kepada hamba-hambaNya?” Beliau menjawab; “Allah terlalu mulia untuk demikian.” Al-Wasysya bertanya lagi, “Lantas apakah Allah memaksa mereka berbuat maksiat?” Beliau menjawab;

الله أعدل وأحكم من ذلك  قال الله : يابن آدم أنا أولى بحسناتك منك، وأنت أولى بسيّئاتك منّي. عملت المعاصي بقوّتي التي جعلتها فيك.

“Allah terlalu adil dan bijaksana untuk demikian. Allah berfirman; ‘Wahai anak-anak Adam, Aku lebih utama daripada kamu atas kebaikan, dan kamu lebih utama daripada Aku atas keburukan. Kamu berbuat maksiat dengan kekuatanKu yang Aku menjadikannya padamu.’”[1]

Perhatikanlah riwayat ini baik-baik bagaimana Imam al-Ridha as menyebutkan bahwa kekuatan memancar dari Allah namun perbuatan dinisbatkan kepada manusia. Beliau menyebutkan firman Allah ,“Wahai anak-anak Adam, Aku lebih utama daripada kamu atas kebaikan,” karena kekuatan manusia berasal dari Allah, dan firmanNya, “Kamu lebih utama daripada Aku atas keburukan.,” karena kekuatan yang didapat dari Allah digunakan oleh manusia untuk sesuatu yang dimurkai Allah dalam tinjaun syariatNya.

    Diriwayatkan bahwa Imam Jakfar al-Shadiq as meminta kepada seorang penganut faham Qadariah agar membaca surat al-Fatihah. Orang itu lantas membacanya sampai kalimat;

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ.

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”[2]

Ketika itulah Imam al-Shadiq menyoal kepadanya;

على ماذا تستعين بالله وعندك أنّ الفعل منك، وجميع ما يتعلّق بالأقدار والتمكين والألطاف قد حصلت وتمّت ؟ !

“Untuk apa kami memohon pertolongan kepada Allah sedangkan perbuatan berasal darimu dan semua yang berkenaan dengan kekuatan, peneguhan, dan anugerah telah didapat dan terpenuhi?”

Orang itu lantas terdiam.[3]

Tidaklah benar apa disebutkan oleh penulis kitab Manazil al-Sa’irin bahwa jenjang kedua tawakkal mencakup pengabaian terhadap sebab akibat sebagai bentuk upaya ijtihad dalam bertawakkal. Allah SWT memang pengatur segala sesuatu sesuai firman-firmanNya;

يُدَبِّرُ الاْمْرَ مِنَ السَّمَاء إِلَى الاْرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْم كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَة مِّمَّا تَعُدُّونَ.

“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.”[4]

الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْء خَلَقَهُ …

“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. “[5]

Namun demikian, pengaturan ini terjadi dalam dua bentuk sebagai berikut;

Pertama, pengaturan makhluk yang tidak dibekali akal, kehendak, dan ikhtiar semisal benda-benda mati dan tumbuhan. Allah mengatur sebaik mungkin urusan benda-benda ini tanpa melalui ikhiar mereka atas sebab musabab yang Dia cipatakan untuk mereka atau Dia menjadikan mereka sebagai musabab, karena mereka memang tidak memiliki ikhtiar.

Tumbuhan, misalnya, yang tidak memiliki ikhtiar tidak memilih sendiri faktor-faktor pertumbuhannya, melainkan Allahlah yang mengatur semua itu, baik secara alami seperti yang terjadi di hutan maupun melalui manusia yang diilhami olehNya untuk konsisten merawatnya seperti tanaman yang tumbuh di pekarangan. Faktor ikhtiar sama sekali tidak ada pada tumbuhan dalam rangkaian pengaturan urusan mereka. Manusia yang tak berdaya semisal bayi yang tak dapat melindungi dirinya juga serupa dengan benda-benda itu sehingga Allah mengilhami orang tuanya atau orang lain untuk peduli melindungi dan menyedikan sebab musabab pertumbuhannya.

Kedua, pengaturan makhluk-makhluk yang dibekali dengan faktor-faktor akal, kehendak, kekuatan, dan ikhtiar pada batasan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Pengaturan pada makhluk-makhluk semisal manusia sesuai batasannya ini adalah berupa jiwa yang Dia bekali dengan faktor-faktor itu dan penyedian sebab musabab alamiah baginya.

Seandainya seseorang mengabaikan hukum sebab akibat bagi kelangsungan hidupnya semisal makan dan minum kemudian mati maka dia tak dapat mengatakan bahwa Allah tidak mengatur urusannya, atau bahwa tawakkal kepadaNya ternyata tidak berguna baginya.

Demikian pula orang yang mengindahkan sebab musabab yang telah diciptakan Allah SWT dengan segala pengaruhnya yang telah digariskan oleh Allah SWT, atau orang yang memanfaatkan bekal yang dapatnya dari Allah SWT berupa akal, pengetahuan, kemampuan, kehendak dan lain sebagainya, semua ini tidak berarti bahwa dia keluar dari pengaturan Allah dan masuk dalam kategori mengatur dirinya.

(Bersambung)

CATATAN :

[1] Al-Kafi, jilid 1, hal. 157, Bab al-Jabr wa al-Qadr wa al-Amru Baina al-Amrain, Hadis 3.

[2] QS. Al-Fatihah [1]: 5).

[3] Mir’at al-Uqul, jilid 2, hal. 179.

[4] QS. al-Sajdah [32]: 5.

[5] QS. al-Sajdah [32]: 7.