Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Mengapa Haul Nabi saw. Tidak Diperingati?

1 Pendapat 05.0 / 5

28 Shafar tahun 11 H., hari itu Madinah berduka. Seluruh keluarga Rasulullah saw. berkumpul di rumah Beliau. Sayyidah Fatimah a.s. tampak sangat berduka, air mata terus bercucuran membasahi pipi suci beliau. Ingin sekali rasanya beliau menghibur ayahnya dengan senyuman, namun duka hati yang sangat mendalam tak mampu ditutupinya.

Sayyidah Fatimah a.s. yang dijuluki Ummu Abiha (ibu dari ayahnya) oleh Nabi, kini tak mampu menahan duka perpisahan dengan manusia mulia yang paling dicintainya.

Sayyidah Fatimah a.s. berkata, “Andaikan siang menerima musibah seperti musibahku, niscaya ia akan berubah menjadi malam dan begitu juga sebaliknya.”

Suara Fatimah menerawang terbawa tangis sedu, teriring rintihan syahdu membelah kalbu terekam sejarah ketika mengingat hari itu, “Jiwaku terpenjara dalam hembusan nafasnya. Duhai andaikan jiwa ini turut keluar bersama nafas terakhirnya. Tiada kebaikan dalam hidup ini setelah kepergianmu. Sungguh daku menangis tiada lain karena takut umurku memanjang di sini.”

Melihat putrinya sangat larut dalam duka, Nabi saw. memberikan isyarat kepadanya agar mendekat karena Nabi saw. ingin mengatakan sesuatu kepadanya. Setelah putrinya mendekat, Nabi saw. membisikkan satu rahasia kepada beliau a.s. sehingga beliau menangis tersedu-sedu. Setelah itu Nabi saw. membisikkan sebuah rahasia lagi sehingga setelah mendengarnya Sayyidah Fatimah a.s. tersenyum bahagia.

Sebagian orang yang hadir saat itu tampak kebingungan dan penasaran melihat hal itu sehingga mereka bertanya tentang rahasia tersebut. Sayyidah Fatimah a.s. menjawab, “Aku tidak akan menjelaskan rahasia Rasulullah saw.”

Kondisi Rasulullah saw. semakin memburuk, Al-Hasan dan Al-Husain kecilpun menjatuhkan diri memeluk dan terus menciumi sang kakek, sementara Ali a.s. hendak menahan kedua putranya itu, namun beliau saw berkata, “Wahai Ali! Biarkanlah aku mencium mereka dan mereka menciumku sepuasnya. Duhai betapa mereka akan dizalimi setelah kepergianku. Mereka akan dibunuh secara zalim. Laknat Allah atas orang-orang yang menzalimi mereka dan laknat Allah atas orang-orang yang menzalimi mereka dan laknat Allah atas orang-orang yang menzalimi mereka!”

Rasa sakit sang kekasih Allah telah memuncak, sementara angin maut sudah hadir mendekat. Beliau saw. pun memanggil Imam Ali a.s. dan berkata, “Wahai Ali! Telah datang perintah Allah. Sekarang taruhlah kepalaku ini di atas pangkuanmu. Ketika jiwaku telah pergi, raihlah lalu dengan kedua tanganmu usaplah wajahmu kemudian hadapkanlah aku ke kiblat dan aturlah urusanku ini! Shalatilah aku sebagai orang pertama yang menshalatiku, dan janganlah kau berpisah dariku sampai selesai (pemakamanku). Dan mintalah pertolongan Allah swt!”

Sang Nabi tercinta pun wafat di pangkuan Imam Ali a.s.

Kepergian Rasulullah saw. telah sebegitu mengejutkan sehingga membekas pada jiwa setiap muslim yang mengalaminya saat itu, khususnya keluarga terdekat beserta para sahabat mulianya.

Sungguh sangat aneh, zaman telah bergulir membawa kita pada masa ketika kepergian manusia paling agung yang pernah ada di muka bumi ini sudah hampir sama sekali tidak diperingati lagi bahkan seakan tidak pernah terjadi.

Di negara kita, Indonesia tercinta yang tercatat sebagai negara muslim terbesar di dunia pun hampir tidak ada yang memperingati haul Nabi Muhammad saw. (peringatan hari wafat seseorang yang diadakan setahun sekali), padahal peringatan haulnya tidak kalah penting dengan peringatan kelahiran atau maulid beliau saw.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa peristiwa kepergian beliau saw. atau haul tidak diperingati, padahal dalam tradisi Islam ada haul orang-orang agung atau ulama?