Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Kejujuran (3)

1 Pendapat 05.0 / 5

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib telah memberikan ungkapan yang sangat indah mengenai kejujuran atau kebenaran dalam beriman, yaitu ketika beliau menyifati keadaan orang-orang yang bertakwa. Beliau berkata;

عظم الخالق في أنفسهم فصغر ما دونه في أعينهم.

“Sangat agung Sang Pencipta dalam jiwa mereka sehingga selainNya mengecil di mata mereka.”[1]

Kalimat ini menyingkap makna yang lebih dari sekedar percaya akan kemaha agungan Allah dan keremehan selainNya. Sebab, bisa saja seseorang secara intelektual berkeyakinan demikian tapi batinnya tidak merasakan kebesaran Allah dan kekerdilan selainNya.

Buktinya, tak sedikit orang yang terpukau menyaksikan kebesaran para tiran dunia dan tergoda menyaksikan gemerlap dan kemewan dunia meskipun dia berkeyakinan bahwa semua itu hanyalah ilusi dan fatamargona belaka. Orang jujur dalam beriman ialah mata batinnya berhasil meraba dan merasakan kemaha agungan Tuhan dan kekerdilan selainNya.

Ini adalah ibarat orang yang melihat obyek kecil melalui mikroskop sehingga dia melihatnya besar meskipun dia mengetahuinya kecil, atau orang yang melihat obyek besar dengan lensa pengecil sehingga dia melihatnya kecil meskipun dia mengetahuinya besar. Besar dan kecil obyek dalam kepekaan fisik berbeda dengan sekedar keyakinan akan besar dan kecil itu. Kejujuran dalam beriman adalah ketersampaian iman pada tingkat sensibilitas batiniah.

Banyak sekali riwayat yang menegaskan bahwa syarat kejujuran atau kesungguhan dalam beriman ialah pengaruhnya pada tingkah lalu.[2] Beberapa riwayat di antaranya ialah sebagai berikut;

Riwayat dari Abdurrahim Al-Qasir bahwa dia menulis surat kepada Imam Jakfar Al-Shadiq as melalui Abdul Malik bin A’yun untuk menanyakan kepada Imam mengenai iman. Imam Al-Shadiq as lantas membalas dengan menulis;

الإيمان هو إقرار باللسان، وعقد بالقلب، وعمل بالأركان. فالإيمان بعضه من بعض، وقد يكون العبد مسلماً قبل أن يكون مؤمناً، ولا يكون مؤمناً حتّى يكون مسلماً. فالإسلام قبل الإيمان، وهو يشارك الإيمان، فإذا أتى العبد بكبيرة من كبائر المعاصي أو صغيرة من صغائر المعاصي التي نهى الله ـ عزَّ وجلَّ ـ عنها، كان خارجاً من الإيمان، وساقطاً عنه اسم الإيمان، وثابتاً عليه اسم الإسلام، فإن تاب واستغفر عاد إلى الإيمان، ولم يخرجه إلى الكفر إلاّ الجحود والاستحلال : إذا قال للحلال هذا حرام، وللحرام هذا حلال ودان بذلك، فعندها يكون خارجاً من الإيمان والإسلام إلى الكفر.

“Imam adalah pengakuan dengan lisan , pengikatan dengan hati, dan pengamalan rukun-rukun, maka iman sebagiannya berasal dari bagian yang lain. Bisa saja seorang hamba telah Muslim sebelum menjadi mukmin, dan tidak akan menjadi mukmin sebelum menjadi muslim. Jadi Islam letaknya sebelum iman, namun menyertai iman. Jika seorang hamba melakukan suatu dosa besar atau suatu dosa kecil yang dilarang oleh Allah Azza wa Jalla maka dia keluar dari iman dan gugurlah nama iman darinya, tapi nama Islam tetap ada padanya. Jika dia bertaubat dan memohon ampunan maka dia kembali kepada iman. Tidaklah membuatnya keluar menjadi kafir kecuali pembangkangan dan penghalalan. Yakni dia mengatakan haram bagi yang halal, dan mengatakan halal bagi yang haram, serta beragama dengan cara demikian maka dia telah keluar dari iman dan Islam menjadi kafir.”[3]

Diriwayatkan dari Al-Bakhtari bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda;

ليس الإيمان بالتحلِّي ولا بالتمنِّي، ولكنَّ الإيمان ما خلص في القلب، وصدَّقه الأعمال.

“Keimanan bukanlah dengan menjadikannya sebagai hiasan dan angan-angan semata. Sebaliknya, keimanan adalah apa yang dimurnikan dalam kalbu, dan dibenarkan oleh amal perbuatan.”[4]

Diriwayatkan dari Imam Ali Al-Ridha as dari para leluhurnya bahwa Rasulullah SAW bersabda;

الإيمان قول مقول، وعمل معمول، وعرفان العقول.

“Iman adalah perkataan yang dikatakan, amalan yang diamalkan, dan pengetahuan akal.”[5]

Dari Imam Ali Al-Ridha as dari para leluhurnya bahwa Imam Ali as berkata;

“Iman adalah pengakuan dengan lisan, pengetahuan dengan hati, dan perbuatan dengan anggota tubuh.”[6]

(Bersambung)

CATATAN:

[1] Nahjul Balaghah, Khutbah 193.

[2] Lihat Bihar Al-Anwar, jilid 69, hal. 19 dan seterusnya, Kitab Al-Iman wa Al-Kufr, bab 10, yang menegaskan bahwa amal baik merupakan bagian dari iman.

[3] Bihar Al-Anwar, jilid 69, hal. 73.

[4] Ibid, hal. 72.

[5] Ibid, hal. 62.

[6] Ibid.