Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Hakikat Wahyu (Bagian Ketiga)

1 Pendapat 05.0 / 5

Wahyu Kepada Malaikat

Malaikat-malaikat juga mendapatkan wahyu dari Tuhan; sebagaimana al-Qur’an mengungkapkan tentang mereka dalam ayatnya: “(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.”[1]

Para malaikat adalah suruhan Tuhan yang dalam menjalankan tugasnya senantiasa taat dan tidak pernah maksiat serta membangkang dari perintah Tuhan: “…yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”[2]

Para malaikat, dalam sistem eksistensial -dengan izin Tuhan- sibuk melakukan pengaturan dan pengelolaan perkara dan masalah alam serta perkara yang berhubungan dengan ilmu dan makrifat, keputusan dan kehendak yang sebelumnya tidak pernah terjadi dalam kehidupan manusia; jika hak, benar, baik, bermanfaat, dan sesuai dengan pengajaran al-Qur’an serta pengajaran maksumin as, maka semuanya itu datang dari sisi Tuhan dan pembawanya adalah para malaikat, sebagaimana ayat menyatakan: “Di tangan para utusan (malaikat), yang mulia lagi berbakti.”[3]

Perlu dicamkan bahwa perkara-perkara yang disebutkan di atas tidak seharusnya membuat batas demarkasi antara wahyu khusus para Nabi Tuhan as dan wahyu lainnya menjadi terlupakan; akan tetapi kekhususan dan kelebihan wahyu para Nabi pemilik syariat as selamanya harus dijaga serta menjadikan mereka senantiasa sebagai mizan perbandingan dan parameter kebenaran suatu makrifat.

Wahyu Dari sudut Tinjauan Hadhrat Ali as

Amirul mukminin Ali as membagi makna wahyu kepada beberapa bagian:

* Wahyu yang maknanya sesuai dengan kenabian dan risalah; seperti: “Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan Nabi-Nabi setelahnya, dan Kami telah mewahyukan (pula) kepada Ibrahim, Ismail,… .”[4]

* Wahyu yang bermakna ilham; seperti: “Dan Tuhanmu mewahyukan (mengilhamkan) kepada lebah, “Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”[5]; dan: “Dan Kami wahyukan (ilhamkan) kepada ibunya Musa, “Susuilah dia (Musa), dan apabila engkau khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke sungai (Nil).”[6] Kendatipun inti dari ilham seperti ini berdimensi perbuatan, akan tetapi perbutan ini merupakan suatu perbuatan yang berbasis informasi dan nalar logis. Oleh karena itu, pengetahuan terhadap metode amal dan makrifat terhadap kualitas amal –yang merupakan tipe ilmu– masuk dalam kandungan dari makna ilham tersebut di atas.

* Wahyu bermakna isyarat; seperti bunyi ayat: “Maka dia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu dia mewahyukan (memberi isyarat) kepada mereka; bertasbihlah kamu pada waktu pagi dan petang.”[7]

* Wahyu bermakna takdir; seperti firman Tuhan: “Lalu diciptakan-Nya tujuh langit dalam dua masa dan pada setiap langit Dia mewahyukan urusan masing-masing.”[8]

* Wahyu bermakna ilham ‘azm; seperti: “Dan (ingatlah), ketika Aku wahyukan (ilhamkan) kepada pengikut-pengikut Isa yang setia (Hawariyyun), “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada Rasul-Ku.”[9] Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, wahyu dalam bentuk ini bermakna gerak hati dan ilham mengambil keputusan serta pemberian ‘azm.

* Wahyu bermakna membisikkan dan meniupkan tipuan serta dusta: seperti keterangan ayat berikut ini: “…Setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan.”[10] Lontaran-lontaran yang mahir, tersembunyi, dan penuh tipuan disebut dengan wahyu setani.

* Wahyu bermakna lontaran iradah dan kehendak melakukan pekerjaan baik; seperti ungkapan ayat: “Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan.”[11] Yakni keputusan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan ‘azm merealisasikan amal-amal kebajikan merupakan misdak nyata dari pewahyuan fi’il (perbuatan) baik.

Di sini perlu kami ingatkan bahwa apa yang menjadi misdak-misdak wahyu pikiran, motivasi, keputusan amal, dan ‘azm amal serta yang meliputi akal teoritis dan akal praktis dari sudut tinjauan hadhrat Ali as, sesuai dengan sebagian nash-nash yang dinukil dari para ulama; dan jika kita tidak membatasi diri pada aspek ini, untuk mendapatkan misdak-misdak yang lain dari kalam beliau adalah lebih memungkinkan dari ini; sebagaimana untuk mendapatkan informasi tentang misdak-misdak lain (wahyu)  dari ungkapan dan kalam maksumin as yang lainnya, adalah memungkinkan dan dapat dilakukan.

Pandangan para Ilmuan Tentang Sumber Wahyu

Sekelompok ilmuan berkeyakinan bahwa sumber wahyu adalah alam di luar kesadaran dan pengetahuan yang dijangkau panca indera, dan menurut ungkapan Allamah Tahabathabai: Kesadaran misterius dan rahasia ini, berasal dari alam di luar akal, batin manusia, pikiran, dan kejeniusan manusia. Kendatipun alam di bawah sadar pada proporsinya adalah benar, tetapi jalan nubuwah dan wahyu, bukanlah suatu jalan pikiran, kejeniusan, dan perolehan lewat usaha, akan tetapi adalah pemberian Tuhan, bukan hasil dari upaya manusia.[12]

Sebagian dari ilmuan juga memandang wahyu, lahir dari kejeniusan dan kecerdasan yang luar biasa. Menurut mereka, orang-orang jenius, dengan kejeniusan esensial dan kejiwaannya, memiliki pikiran-pikiran tinggi, baru, dan nalar serta rasionalitas tinggi, dan dari jalan ini mereka berkhidmat kepada masyarakat.

Sebagian lagi punya pandangan bahwa manusia mempunyai dua kepribadian dan identitas; kepribadian lahiriah yang diatur lewat ruang lingkup lima panca indera dan kepribadian batiniah. Ketika kesadaran-kesadaran lahiriah tidak bekerja, kesadaran-kesadaran batiniah melakukan aktivitas; sebagaimana dalam tidur tabii dan tidur magnetis dapat diperoleh kejadian-kejadian dan hasil-hasil yang ajaib serta asing. Kepribadian batini ini adalah tidak terlihat dan memiliki intensitas kuat serta lemah, dan apabila intensitasnya lebih kuat maka manifestasinya lebih besar dan lebih benar.

Berasaskan ini maka wahyu menurut mereka adalah pancaran dari dalam diri yang tersembunyi dan manifestasi kesadaran batin para Nabi. Oleh karena itu, sesuai pandangan ini, tidak perlu ada malaikat pembawa wahyu dan para Nabi tidak diutus dari sisi Tuhan. “Wahyu di sisi mereka tidak lain adalah manifestasi kepribadian batiniah dari Rasul, dan wahyu kesadaran batiniah Rasul itu adalah sesuatu yang bermanfaat baginya dan bagi kaumnya yang sezaman dengannya.”[13]

Akan tetapi sebagaimana kita ketahui bahwa: pertama, kata paling awal dan kata paling akhir al-Qur’an, seluruhnya adalah wahyu dan dalam kitab Ilahi ini, makrifat-makrifat, hakikat-hakikat, undang-undang, dan perintah-perintah yang meskipun para jenius dari yang paling pertama dan akhir, paling tinggi dan paling kuat intensitas derajat batinnya, serta orang yang memiliki kemampuan dalam diri yang tersembunyi, mereka semua itu berkumpul dan saling membantu satu sama lain, niscaya tidak akan bisa menghasilkan suatu ungkapan, makrifat, dan hakikat seperti al-Qur’an. Oleh karena itu, dalam hal ini yang benar adalah apa yang dikatakan oleh almarhum Allamah Thabathabai. Kedua, kesucian ruh dari satu sisi dan kecerdasan akal dari sisi lain, ini hanya berada dalam tataran kesiapan sebagai penerima (qâbilî) wahyu, bukan dalam tataran sebagai pelaku (fâ’ilî) wahyu; yakni akal  cerdas dan jiwa suci hadhrat Rasul Saw adalah penerima sempurna (qâbili tâm) dalam mendapatkan wahyu; bukan sumber keluarnya (mashdar) pewahyuan dan sumber tercipta serta keluarnya wahyu. Ketiga, wahyu tasyri’i Tuhan sampai kepada insan kamil (manusia sempurna) dan maksum; namun tidak berarti bahwa wahyu tasyri’i akan dijangkau oleh setiap manusia sempurna dan maksum; sebab: “Allah lebih mengetahui dimana Dia meletakkan risalah-Nya.”[14] Oleh karena itu, nisbah antara Rasul tasyri’i dengan kemaksuman adalah umum wa khusus mutlak. Keempat, ketika Rasul tasyri’i lebih utama dari manusia sempurna maksum dan mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh manusia-manusia sempurna maksum lainnya maka tentu kelebih utamaan Rasul tasyri’i dari manusia-manusia ‘ârif (jamaknya urafa) tidak maksum dan juga kelebih utamaannya dari manusia-manusia jenius dan pemikir ahli adalah sangat jelas.

Penjelasan matlab tersebut:

1. Ilmu para pemikir dan cendekiawan dalam hikmah (filsafat) dan kalam (teologi) serta disiplin-disiplin ilmu lainnya dihasilkan dengan istinbat; yakni dari jalan ijtihad dan gerak berpikir.

2. Apa yang menjadi saham dari para ilmuan dan cendekiawan dalam disiplin-disiplin ilmu yang beragam adalah mafhum dzihni (konsep mental) dan ilmu hushuli.

3. Apa yang menjadi bagian ilmu para ilmuan, tidak terjaga dan terpelihara dari terpaan kekeliruan, kesalahan, kealpaan, dan semacam itu lainnya; pada saat yang sama saham ilmu manusia sempurna yang mendapatkan wahyu adalah terjaga dari semua perkara tersebut di atas.

4. Apa yang menjadi saham para ârif dalam pengetahuan dan ilmu irfan, kendatipun itu adalah ilmu hudhuri dan bukan ilmu hushuli, dan juga meskipun bukan tipe ijtihad konsepsi dan perpindahan dari matlûb kepada mukadimah dan dari mukadimah kepada natijah, akan tetapi terkadang masyhud (yang disaksikan) ‘ârif memiliki mabda setani dan terkadang mabdanya malakuti. Oleh karena itu, terkadang masyhud ‘ârif adalah hak dan terkadang juga adalah batil, dan wasilah untuk menentukan benar dan salahnya serta hak dan batilnya (masyhud) -sesudah keluar dari kondisi keterpesonaan atau ketaksadaran dan kembali kepada keadaan biasa- tidak lain adalah argumen rasional (burhan akli); sementara manusia sempurna maksum, bersih dan suci dari apa yang disebutkan semua itu.

5. Apa yang menjadi bagian maksum kâmil dan manusia-manusia suci, berkaitan dengan keindahan dan keterpesonaan yang bukan wahyu, dinisbahkan dengan apa yang menjadi saham hadhrat Rasul Saw -selain perbedaan yang kembali pada tasyri’i dan bukan tasyri’i- tidak lain adalah intensitas kuat dan lemah, kepermanenan dan ketemporeran, zuhur dan khifâ, tinggi dan rendah, dan pada akhirnya adalah qurb (kedekatan) dan kejauhan serta dengan perantara dan tidak dengan perantara; sebab apa yang menjadi saham bukan Rasul Saw, adalah mesti dengan perantara shâdir awwal atau zhahir awwal.

Dari sini menjadi jelaslah, ketika wahyu Rasulullah Saw berbeda dengan apa yang menjadi saham maksum-maksum sempurna  maka niscaya apa yang menjadi bagian para ‘ârif (urafa) dalam syuhud (mereka) sudah tentu juga berbeda (dengan wahyu Rasulullah Saw), dan sudah pasti juga berbeda dengan apa yang menjadi bagian dari para filosof dan teolog jenius.

Singkatnya, jenius zaman yang mana  yang mengalir dari dalam dirinya yang dapat melahirkan karya ilmu dan pengetahuan sebagaimana yang al-Qur’an bawa untuk alam kemanusiaan, dimana hanya dengan beberapa butir ayatnya telah mampu memberi keamanan, kemantapan, dan kekokohan keyakinan, kepercayaan benar, akhlak dan moralitas, undang-undang fikhi serta undang-undang kemasyarakatan.

Al-Qur’an (sebagai wahyu tasyri’i), hanya dalam beberapa ayat dari surah al-Isra, telah menyampaikan inti dan substansi dari hikmah teoritis dan hikmah praktis dengan ungkapannya yang sangat bernilai agung seperti ini:

“Jangan sekutukan Tuhan dan hanya Dia yang kamu sembah (tauhid ibadah)  dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapakmu. Jangan sekali-kali menganiaya mereka dan ucapkanlah perkataan yang baik, penuh hormat, tawadhu dan kasih sayang kepada keduanya. Tuhan lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu dari pada kamu. Berbuatlah secara benar dan berikanlah kepada kerabat dekat haknya, dan bantulah orang miskin dan orang yang dalam perjalanan serta dalam seluruh kehidupan janganlah berbuat boros dan kufur nikmat. Jangan membuat tanganmu terbelenggu dan tertutup dan jangan pula terlalu mengulurkannya (yakni tengah-tengah dalam kehidupan; tidak bakhil dan tidak juga isrâf); kelapangan rezki dan kesempitan rezki hanya di tangan Tuhan.

Jangan kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin; sebab rezki mereka dijamin Tuhan dan sekali-kali jangan kamu dekati perbuatan zina ; sebab zina itu sungguh perbuatan keji dan buruk dan jangan kamu membunuh manusia serta jangan tumpahkan darah orang-orang yang terzalimi, dan selamanya jangan kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara baik dan maslahat. Penuhi dan tepatilah mitsaq atau janji, dan dalam jual beli berlakulah secara benar dan jujur serta setiap sesuatu yang kamu takar maka sempurnakanlah takarannya, bahkan segala sesuatu takarlah dengan takaran yang adil.

Jangan kamu ikuti segala sesuatu yang kamu tidak punya pengetahuan terhadapnya; sebab pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggung jawabannya. Dan selamanya jangan berjalan di bumi ini dengan takabur serta janganlah engkau sombong; karena semua ini adalah keburukan yang dibenci di sisi Tuhan. Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu (Muhammad)”.[15]

Catatan Kaki:

[1] . Qs: al-Anfal [8] : 12.

[2] . Qs: at-Tahrîm [66] : 6.

[3] . Qs: ‘Abasa [80] : 15-16.

[4] . Qs: an-Nisa [4] : 163.

[5] . Qs: an-Nahl [16] : 68.

[6] . Qs: al-Qasas  [28] : 7.

[7] . Qs: Maryam [19] : 11.

[8] . Qs: Fussilat [41] : 12.

[9] . Qs: al-Maidah [5] : 111.

[10] . Qs: al-An’am [6] : 112.

[11] . Qs: al-Anbiyâ [21] : 73.

[12] . Allamah Thaba-thabai, Wahyu atau Kesadaran Misterius, Hal. 104.

[13] . Dâiratul Ma’ârif Wajdî, Mâddah Wahyu.

[14] . Qs: al-An’am [6] : 124.

[15] . Dinukil secara ringkas dan bebas dari Surah al-Isra ayat 23-39.