Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Tawadhu (1)

1 Pendapat 05.0 / 5

Allah SWT berfirman;

وَعِبَادُ الرَّحْمنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الاْرْضِ هَوْناً وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلاَماً.

“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”[1]

وَلاَ تَمْشِ فِي الأَرْضِ مَرَحاً إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولاً.

“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.”[2]

وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي الاْرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَال فَخُور * وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ الاْصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ.

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”[3]

“Tawadhu’” adalah iktikad untuk merendah diri yang sedemikian kuat dalam jiwa sehingga berpengaruh pada perasaan, kecenderungan, dan perangainya di hadapan Allah SWT, para rasulNya, para insan maksum waliNya, dan orang-orang yang beriman. Lawan tawadhu’ adalah “takabur” yang berarti sombong, yaitu perilaku yang jika dilakukan di hadapan Allah maka menjadi kufur terhadap Allah, dan jika dilakukan di hadapan RasulNya atau para imam maksum maka menjadi kufur terhadap Rasul atau imam maksum. Sedangkan jika dilakukan di hadapan orang yang beriman maka menjadi maksiat dan dosa besar, dan inilah yang terkadang terjadi di antara sesama umat Islam.

“Takabur” berbeda dengan “kibir” yang berarti merasa lebih tinggi daripada orang lain, tapi tidak menunjukkan perasaan ini kepada orang lain. Sedangkan takabur menampakkan perasaan kibir tersebut dengan perangai dan tingkah lakunya. Kibir sendiri berbeda dengan “ujub”, karena kibir adalah merasa besar dan unggul di hadapan pihak lain, yaitu Allah SWT, atau RasulNya, atau imam, atau orang yang beriman, sedangkan ujub adalah merasa besar dan takjub pada diri meskipun tidak dikaitkan pada pihak lain, dan ini juga tergolong dosa besar.

Kibir

Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa kibir adalah milik Allah SWT semata, yakni hanya Dialah yang patut menunjukkan sifat kibir. Alasan jelas, yaitu bahwa Allah adalah satu-satunya Zat Yang tak tersentuh segala bentuk kekurangan sehingga Dialah Yang Maha Besar dan pantas untuk sombong (kibriya’).

Dari Ala’ bin Fudhaild dengan sanad yang sempurna dari Imam Jakfar Al-Shadiq as bahwa ayahnya, Imam Muhammad Al-Baqir as, berkata;

العِزّ رداء الله، والكِبْر إزاره، فمَنْ تناول شيئاً منه أكبَّه الله في جهنَّم.

“Kemulian dan kibir adalah ‘gaun’ Allah, maka siapa menjamahnya barang sedikit niscaya Allah akan menyungkurkannya ke neraka Jahannam.”[4]

Dari Muammad bin Atha’ bahwa Imam Al-Baqir as berkata;

الكِبْر رداء الله، والمتكبِّر ينازع الله رداءه.

“Kibir adalah gaun Allah, sedangkan orang yang tak takabur tak ubahnya dengan menarik gaunNya.”[5]

Dari Laits Al-Muradi bahwa Imam Al-Shadiq as berkata;

الكِبْر رداء الله، فمَنْ نازع الله شيئاً من ذلك أكبَّه الله في النار.

“Kibir adalah gaun Allah, siapa menarik barang sedikit di antaranya maka Allah akan menyungkurkannya ke neraka.”[6]

Kibir atau kibriya’ yang berarti kesombongan adalah milik Allah SWT semata. Karena itu. beberapa riwayat menyebut kesombongan yang ditunjukkan oleh seseorang sebagai jenjang terendah ateisme (ilhad).

Al-Hakim bertanya kepada Imam Jakfar Al-Shadiq as mengenai jenjang terendah ateisme, beliaupun menjawab;

إنَّ الكِبْر أدناه

“Sesungguhnya kibir adalah jenjang terendahnya.”[7]

(Bersambung)

CATATAN :

[1] QS. Al-Furqan [25]: 63.

[2] QS. Al-Isra’ [17]: 37.

[3] QS. Luqman [31]: 18 – 19.

[4] Al-Kafi, jilid 2, hal. 309.

[5] Ibid.

[6] Ibid, hal. 310.

[7] Ibid. hal. 309.