Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Tafsir: Segera Minta Ampun Saat Menyadari Kekeliruan

1 Pendapat 05.0 / 5

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya. Maka, Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah [2]: 37)

Ini adalah salah satu episode sejarah manusia yang paling terkenal. Manusia pertama yang diciptakan oleh Allah, yaitu Adam a.s., setelah mendapatkan penghormatan di surga, terpaksa harus keluar dari sana, gara-gara tergoda setan untuk memakan buah terlarang. Maka, Adam pun diturunkan ke bumi.

Setelah keluar dari lingkungan yang tenang dan penuh kenikmatan, dan turun ke bumi yang penuh kesulitan, Adam memahami kesalahannya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa semua itu terjadi  akibat tipuan setan. Karena itu, ia menyesali perbuatannya dan bertekad untuk bertobat. Namun bagaimanakah caranya bertobat? Allah kemudian mengajarkan kepadanya beberapa kata yang  menjadi ekspresi penyesalan.

Kalimat-kalimat ini termaktub dalam surah al-A’raf ayat 23 yang artinya, “Keduanya berkata, ‘Wahai Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami, dan apabila Engkau tidak mengampuni kami dan tidak mengasihani kami, maka kami benar-benar termasuk orang-orang yang merugi.”

Ungkapan-ungkapan seperti ini tidak khusus diajukan kepada Adam. Ungkapan serupa juga datang berkenaan dengan Nabi Yunus dan Musa, sebagaimana al-Quran menyebutkan berkenaan dengan Nabi Musa a.s, “(Nabi Musa) berkata, “Tuhanku, sungguh aku menzalimi diriku, maka ampunilah aku.”

Tobat menurut bahasa berarti ‘kembali’. Menarik sekali bahwa tobat bisa dinisbahkan kepada manusia (manusia bertobat), dan juga dinisbahkan kepada Allah (Allah bertobat). Sewaktu kata ini dinisbahkan kepada manusia, maksudnya adalah ‘manusia itu kembali ke jalan yang benar setelah tergelincir melakukan dosa’. Sementara itu, sewaktu tobat dinisbahkan kepada Allah, artinya adalah ‘kembalinya rahmat-Nya kepada manusia pendosa yang bertobat’. Maksudnya, rahmat yang tadinya dicabut oleh Allah lantaran dosa yang diperbuat oleh seseorang, dikembalikan kepadanya berkat kembalinya orang itu dari perbuatan dosa.

Dengan demikian, kita bisa memahami makna bahwa Allah adalah Tawwab, yang berarti adalah Maha Penerima tobat. Pada saat sama, Allah juga mencintai “tawwabin” (orang-orang yang bertobat) seperti disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 222 (Wallahu yuhibbu at-tawwabiin).

Beberapa Poin Penting

1. Selalu terbukanya pintu tobat adalah salah satu bentuk rahmat dan kasih sayang Allah kepada manusia. Maka, konsep tobat ini semakin menambah keyakinan kita betapa Allah sangat sayang kepada manusia.
2. Tobat adalah salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Karena itu, cara dan jalan pelaksanaannya harus mengikuti apa yang diajarkan oleh Allah. Manusia tidak berhak mengira-ngira atau berimajinasi terkait dengan cara untuk bertobat.
3. Apabila manusia benar-benar bertobat, maka Allah akan menerima tobatnya, sebab Dia Maha Penerima tobat.
4. Penerimaan ampunan Allah diikuti dengan rahmat dan kasih sayang, bukan cacian, umpatan, atau pencemaran harga diri. Inilah juga yang seharusnya dilakukan oleh manusia terhadap manusia lain yang meminta maaf kepadanya. Pemberian maaf yang benar mestinya disertai dengan kasih sayang kepada orang yang kita maafkan itu.

Tobatnya Adam dan Tawasul kepada Ahlulbait Nabi

Menarik untuk disimak bahwa saat bertobat kepada Allah, Adam juga diajari untuk bertawasul. Tobat adalah salah satu bentuk doa kepada Allah, yaitu doa agar Allah mengampuni dosa-dosa. Salah satu cara agar doa kita dikabulkan oleh Allah adalah dengan bertawasul, yaitu menjadikan pihak tertentu sebagai perantara. Pihak tersebut tentulah mesti sesuatu atau seseorang yang memiliki kedudukan mulia di sisi Allah. Al-Quran atau para manusia suci bisa dijadikan sebagai perantara dalam doa-doa kita sekarang. Lalu, bagaimana dengan Nabi Adam a.s? Apakah konsep tawasul juga berlaku bagi beliau saat meminta ampun kepada Allah Swt? Lalu, siapa (atau apa) yang dijadikan sebagai wasilah doa beliau? Adakah saat itu benda atau manusia yang bisa dijadikan sebagai wasilah?

Jalaluddin Suyuthi menukil banyak riwayat dalam tafsirnya Ad-Durul Mantsur bahwa saat memohon ampun kepada Allah itu, Adam besumpah dengan nama Muhammad dan keluarganya hingga Allah menerima tobatnya. Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas disebutkan, Adam bersumpah kepada Allah demi hak Muhammad beserta keluarga beliau (sa’ala bihaqqi Muhammadin wa ‘Aliyin wa Fatimah wal Hasani wal Husain – Adam memohon ampunan seraya menyebut kebenaran Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan, dan Husein) hingga tobatnya diterima.


Riwayat-riwayat tersebut menunjukkan betapa agungnya Rasulullah dan Ahlulbaitnya di sisi Allah. Saat peristiwa Adam berlangsung, secara fisik mereka (Ahlulbait) itu belum tercipta. Mereka bahkan merupakan manusia-manusia keturunan Adam sendiri. Tapi, bahan penciptaan mereka yang begitu mulia membuat mereka sudah layak dijadikan sebagai wasilah untuk doa yang pertama kali dipanjatkan oleh seorang manusia.

Sebagai aktivis Ahlul Bait, ada sejumlah pesan moral yang harus kita ambil dari ayat ini, di antaranya adalah terkait dengan pentingnya untuk segera kembali kepada jalan yang benar, manakala di saat kita melaksanakan aktivitas-aktivitas tersebut, ada hal-hal keliru yang kita lakukan. Sebagai manusia, kita semua seringkali terjerumus kepada khilaf dan salah. Di zaman sekarang, kemungkinan untuk melakukan kesalahan semakin besar. Mungkin kita sempat mengeluarkan kata-kata yang salah dan menyinggung perasaan orang lain, melalui medsos. Manakala kita menyadari kekeliruan itu, segeralah bertobat. Prinsip ini pula yang harus kita sebarluaskan kepada komunitas Ahlul Bait di sekitar kita.