Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Kenabian Pamungkas dan Syariat Islam (1)

1 Pendapat 01.0 / 5


Oleh: Ruhullah Syams

Permasalahan khâtamiyyah (akhir kenabian atau kenabian pamungkas), dari sisi ia termuat dalam al-Qur’an dan riwayat maka ia mempunyai landasan bahasan dalam akidah dan teologi Islam. Akan tetapi dari sisi bahwa dalam masalah ini sebelumnya tidak terjadi perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab teologi yang ada dalam Islam, baik dari dimensi prinsip masalah maupun dalam dimensi penafsirannya, maka ia tidak menjadi bahan perbincangan dan pembahasan dalam kitab-kitab kalam Islami. Namun, adapun di zaman sekarang, dikarenakan bermunculannya mazhab-mazhab baru dan pemikiran baru dalam dunia Islam, seperti Bahaiyyah, Ahmadiyyah, dan Islam Liberal, dan adanya klaim-klaim syariat baru dari satu sisi serta tafsiran-tafsiran baru yang dikemukakan sebagian dari cendekiawan Muslim tentang khâtamiyyah di sisi lain, menyebabkan para teolog Islam kontemporer memasukkan masalah ini sebagai salah satu dari pembahasan dan permasalahan penting dalam masalah teologi dan mengkhususkan untuknya sebuah pasal terpisah dalam kitab-kitab teologi. Bahkan lebih jauh dari itu telah ditulis beberapa risalah dan kitab khusus tentang masalah khâtamiyyah ini. Pengkajian dan penelitian hakikat khâtamiyyah dan argumen-argumennya, falsafah khâtamiyyah dan jawaban terhadap syubhat khusus dalam masalah ini, merupakan inti dan fokus yang membentuk pembahasan seputar masalah khâtamiyyah kenabian.

Hakikat Khatamiyyah (Akhir Kenabian)

Kata khâtamiyyah merupakan derivasi dari kata khâtam dan berasal dari akar kata khatm yang bermakna akhir. Menurut ahli kosa kata, makna yang paling banyak digunakan bagi kata khâtam adalah makna “mâ yukhtamu bihi”, yakni wasilah akhir dan akhir sesuatu. Dalam makna ini tidak terdapat perbedaan antara khâtim (atas timbangan nâzhim) dan khâtam (atas timbangan âdam). [1]

Ustad Jawâdy Amuly berkata: Kata khâtam (dengan fatah huruf Ta) dan khâtim (dengan kasrah huruf Ta) menunjukkan bahwa pintu kenabian telah ditutup (diakhiri) dan telah diberi cap stempel, karena itu tidak akan datang lagi nabi lain dengan syariat baru. Sebagaimana juga derivasi-derivasi kata khatm dalam al-Qur’an –seperti nakhtamu, makhtûm, dan khatâm- memiliki pengertian seperti demikian ini; yakni menunjukkan makna akhir, mencapai akhir, diberi cap stempel, dan mendapatkan akhir.[2]

Oleh karena itu, khâtam al-anbiyâ yang merupakan salah satu dari laqab Nabi Muhammad Saw bermakna bahwa beliau adalah paling akhirnya nabi Tuhan dan dengan perantara beliau kenabian berakhir. Dengan demikian, Rasulullah Muhammad Saw adalah nabi dan utusan Tuhan yang paling akhir dan setelah beliau tidak akan ada lagi seorangpun yang dipilih dan diangkat sebagai nabi dari sisi Tuhan.

Kepenutupan dan akhir kenabian juga memestikan kepenutupan dan akhir risalah serta syariat. Yakni kenabian adalah seseorang yang menerima wahyu dari sisi Tuhan dan dipilih Tuhan untuk menduduki maqam kenabian. Dan juga telah diwahyukan kepadanya makrifat-makrifat dan hukum-hukum Ilahi yang merupakan penjelasan daripada ushul dan furu’ agama. Adapun risalah bermakna bahwa seseorang telah dipilih dalam maqam kenabian dan juga mendapat tugas dari sisi Tuhan untuk menyampaikan makrifat-makrifat serta hukum-hukum Ilahi kepada manusia. Di samping itu, dia berusaha merealisasikan makrifat-makrifat dan hukum-hukum Ilahi tersebut di tengah-tengah masyarakat demi membawa dan mengarahkan masyarakat kepada kesempurnaan dan kebahagiaan. Dan dari dimensi seorang nabi menjalankan tanggungjawab merealisasisikan hukum-hukum dan undang-undang Tuhan maka dia juga mendapatkan maqam imamah.[3] Berdasarkan ini, para nabi Tuhan memiliki tiga maqam, yaitu kenabian, risalah, dan imamah. Yakni membawa wahyu dan syariat Tuhan dan juga bertugas menyampaikan serta merealisasikan makrifat-makrifat dan hukum-hukum Ilahi di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana al-Qur’an, ketika berbicara tentang kenabian umum kadang mengungkapkan kenabian para nabi dengan kata “nabiyyin”: “… Lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan….” (Qs. al-Baqarah [2]: 213) dan kadang dengan kata “rusulana”: “Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil.” (Qs. al-Hadid [57]: 25)

Tidaklah salah, kita dapat asumsikan bahwa seseorang dalam syarat-syarat tertentu mempunyai maqam nubuwwah (kenabian) tapi belum diberi tugas risalah dan pada zaman kemudian baru dia dipilih sebagai rasul; akan tetapi kebalikan dari qadiyah ini tidak logis. Maksudnya, pemilihan untuk maqam risalah seseorang tanpa memiliki maqam kenabian dan tidak diwahyukan kepadanya syariat Ilahi adalah sesuatu yang tidak masuk akal.

Poin ini juga perlu diingat bahwa kendatipun nabi pemilik syariat tidak lebih dari lima orang –yaitu Nabi Nuh As, Nabi Ibrahim As, Nabi Musa As, Nabi Isa As, dan Nabi Muhammad Saw- akan tetapi wahyu kenabian dan syariat tidak terkhususkan hanya kepada mereka, melainkan dalam hal ini para nabi Tuhan berserikat semuanya. Hatta para nabi sebelum Nabi Nuh As, kendatipun mereka ini tidak mempunyai syariat dengan makna mustalah disertai dengan kitab, akan tetapi mereka juga menerima wahyu Ilahi dan apa yang menjadi kebutuhan mereka untuk memberi hidayah masyarakat diwahyukan kepada mereka. Oleh karena itu, khâtamiyyah dalam pembahasan nubuwwah menjelaskan tiga matlab berikut ini:

1- Setelah Nabi Islam Muhammad Saw, tidak akan dipilih lagi seseorang sebagai nabi dari sisi Tuhan; yakni tidak ada lagi wahyu diturunkan kepada seseorang sehingga dia menjadi nabi Tuhan;

2- Setelah Nabi Muhammad Saw dan syariat Islam, tidak akan diturunkan lagi syariat lain dari sisi Tuhan;

3- Setelah Nabi Muhammad Saw tidak akan ada seorangpun yang diutus sebagai rasul Tuhan yang bertugas menyampaikan syariat baru kepada masyarakat.

Mesti diketahui bahwa berakhirnya pintu wahyu dan kenabian, syariat dan risalah, tidak memestikan berakhirnya pintu ilham dan terputusnya setiap bentuk hubungan manusia dengan alam gaib. Akan tetapi manusia tetap dapat menemukan hakikat dan makrifat dari alam gaib dari jalan berkomunikasi dengan para malaikat; sebagaimana yang dibaca dalam hadits-hadits bahwa terdapat orang-orang dari umat-umat sebelumnya dan orang-orang dari umat Islam yang kendatipun tidak mendapatkan maqam kenabian dan risalah, tetapi mereka memperoleh ilham dan berbicara dengan para malaikat; orang-orang seperti ini dalam istilah disebut sebagai “muhaddats”.[4]

Dalil-dalil Khâtamiyyah

Khâtamiyyah merupakan keyakinan pasti dan daruri agama Islam. Sebagaimana keyakinan terhadap kenabian Nabi Islam Saw yang menjadi kedarurian agama Islam maka demikian pula keyakinan terhadap khâtamiyyah ini. Oleh karena itu, mengingkarinya akan menyebabkan kekufuran.

Prinsip khâtamiyyah Nabi Islam bermakna bahwa Nabi Muhammad Saw adalah nabi Tuhan yang paling akhir dibangkitkan dari silsilah nabi-nabi yang diutus Tuhan dan sesudah beliau tidak akan ada lagi nabi yang dibangkitkan sampai hari kiamat. Kebangkitan nabi baru sesudah Nabi Islam Saw dapat dikonsepsi dalam dua bentuk:
- Nabi baru mempunyai syariat baru yang menggantikan syariat agama Islam;

- Nabi baru tidak membawa syariat baru, akan tetapi sebagai muballig agama Islam.[5]

Konsep khâtamiyyah dalam hal ini bertentangan dengan kedua bentuk konsepsi kebangkitan nabi baru sesudah Nabi Islam Saw tersebut di atas.

Adapun dasar dan landasan daripada khâtamiyyah adalah ayat-ayat al-Qur’an dan riwayat-riwayat mutawatir yang akan kami sebutkan sebagian dari mereka berikut ini:

Dalil Pertama

Salah satu dalil jelas tentang khâtamiyyah adalah ayat 40 surah al-Ahzab: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.” (Qs. al-Ahzab [33]: 40); Kandungan ayat ini menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Rasul Tuhan dan nabi Ilahi yang paling terakhir serta dengan perantaraan beliau kenabian ditutup.

Dalil Kedua

Tuhan, memperkenalkan al-Qur’an sebagai sebuah kitab suci yang mengandung seluruh hakikat-hakikat wahyu dan dengan perantaraan turunnya maka tahapan tasyri’ Tuhan mencapai pada tahapan akhir dan kesempurnaan. Dengan demikian tidak akan terjadi lagi pergantian dan perubahan di dalam syariat Tuhan. Sebagaimana Tuhan berfirman: “Pantaskah aku mencari hakim selain Allah, padahal Dialah yang menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu secara rinci? Orang-orang yang telah Kami beri kitab mengetahui benar bahwa (al-Qur’an) itu diturunkan dari Tuhanmu dengan benar. Maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu.”

“Dan telah sempurna firman Tuhanmu (al-Qur’an) dengan benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Qs. al-An’am[6]: 114-115)

Dalam kedua ayat ini dijelaskan bahwa tidaklah pantas manusia memilih hakim selain Allah Swt, sebab Dia telah menurunkan kitab syariat secara rinci kepada mereka (yakni al-Qur’an) dan kalimat-kalimat tasyri’ Tuhan sempurna berasaskan kebenaran dan keadilan serta kalimat-kalimat Tuhan ini tidak akan mendapatkan lagi perubahan dan pergantian.

Dalil Ketiga

Al-Qur’an, adalah sebuah kitab suci yang diturunkan untuk memberi peringatan dan hidayah petunjuk kepada setiap individu manusia dalam segala tempat dan seluruh zaman. Sebagaimana firman-Nya: “Mahasuci Allah yang telah menurunkan furqan (al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Muhammad), agar dia menjadi peringatan kepada seluruh alam.” (Qs. al-Furqan[25]: 1)

Kata “alam” dalam bahasa mempunyai penggunaan yang luas. Kata ini meliputi segala sesuatu yang keberadaannya merupakan alamat dan petunjuk atas wujud Tuhan serta dengannya dapat diketahui akan eksistensi-Nya. Adapun kata “nadzîr” (peringatan), menjadi bukti bahwa manusia dan maujud-maujud sepertinya, mempunyai kesanggupan rasional serta dapat menerima peringatan dan hidayah tasyri’i. Dan dikarenakan dalam ayat ini tidak disebutkan kait tempat dan zaman maka hal ini menunjukkan bahwa peringatan dan hidayah al-Qur’an meliputi setiap individu manusia dalam segala tempat dan seluruh zaman.

Dalam ayat 28 surah Saba’ disebutkan: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan…” (Qs. Saba’[34]: 28) dan dalam ayat 19 surah al-An’am dikatakan: “…Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku agar dengan itu aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang sampai (al-Qur’an) kepadanya.” (Qs. al-An’am[6]: 19)

Secara prinsipal, semua ayat yang menunjukkan atas keumuman kenabian Nabi Islam Muhammad Saw dan syariat Islam, juga menunjukkan atas khâtamiyyah-nya; sebab pengkhususan keumuman hanya dengan zaman beliau adalah menyalahi kandungan lahiriah ayat-ayat.

Dalil Keempat

Dalam hadits “manzilah”, yang merupakan hadits mutawatir, dijelaskan bahwa sesudah Rasul Muhammad Saw tidak akan dibangkitkan lagi seorang nabi: Engkau (Ali) di sisiku ibaratnya Harun di sisi Musa, kecuali bahwasanya tidak ada lagi nabi sesudahku.

Di samping hadits ini, terdapat hadits-hadits lain yang juga menunjukkan atas khâtamiyyah. Hadits-hadits tersebut meskipun secara lafazh tidak mutawatir akan tetapi dari segi maknawi adalah mutawatir. Mengingat bahwa pembahasan khâtamiyyah ini merupakan hal yang pasti di kalangan kaum muslimin maka kami merasa tidak butuh untuk menukilkan dalil-dalil hadits lainnya tersebut.[6]

Menjawab berbagai Sanggahan

1. Bagaimana bisa Nabi Muhammad Saw merupakan paling akhirnya nabi sementara Nabi Isa As akan datang pada akhir zaman? Bukankah dalam bentuk ini maka terdapat seorang nabi di tengah-tengah masyarakat sesudah nabi Islam?

Jawab: Nabi Isa As telah dipilih sebagai nabi sebelum kedatangan Rasulullah Saw dan beliau akan datang lagi pada akhir zaman dalam keadaan beliau akan beramal sesuai dengan syariat Islam. Oleh karena itu, beliau bukanlah seorang nabi baru dan tidak membawa syariat baru.[7]

2. Salah satu makna daripada khâtam adalah cincin dan ini bisa bermakna bahwa beliau Saw seperti cincin di antara para nabi-nabi. Dan ini merupakan kinayah bahwa beliau mempunyai maqam yang sangat tinggi di antara mereka. Sebagaimana cincin merupakan penghias tangan maka Rasulullah Saw adalah penghias dalam silsilah para nabi As.

Jawab: Pemutlakan lafazh khâtam dengan makna cincin bukanlah pengertian hakiki dari kata ini, makna hakiki kata khâtam –sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya- adalah akhir sesuatu atau wasilah berakhirnya sesuatu atau suatu pekerjaan. Dan dalam masyarakat Arab, hal yang resmi dilakukan mereka adalah memberi stempel surat-surat yang telah ditulis dengan cincin dan ini merupakan alamat bahwa surat tertulis tersebut telah berakhir dan tidak boleh ditambahkan lagi sesuatu atasnya. Dengan itu mereka menyebut cincin dengan khâtam.

Oleh karena itu, penggunaan lafazh khâtam dalam makna cincin digunakan apabila menunjukkan: Pertama, sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan (dalam hal ini penulisan surat-surat). Kedua, terdapat karinah lafzhi dan bukan lafzhi terhadap bentuk pekerjaan dan dalam ayat 40 surah al-Ahzab tersebut tidak terdapat kedua-duanya; sebab, penggunaan lafazh khâtam yang bermakna hiasan, terhadap seseorang, tidak digunakan dalam kalam Arab dan dalam ayat tersebut tidak terdapat karinah bagi iradah makna demikian ini.[8]

Dan untuk lebih gamblangnya kesalahan pemaknaan penggunaan kata khâtam dengan makna cincin dalam ayat tersebut, kami sajikan bukti-bukti berupa hadits-hadits di bawah ini yang menerangkan maknanya dengan pengertian sesuai yang telah kami sebutkan sebelumnya:

- Anas berkata: Saya mendengar dari Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda: Saya adalah penutup para nabi-nabi dan engkau wahai Ali adalah penutup para washi, dan berkata Amirulmukminin Ali As: Nabi Muhammad Saw mengakhiri (menutup) seribu nabi dan saya mengakhiri seribu washi….[9]

- Rasulullah Saw bersabda: Saya dari segi penciptaan adalah paling awalnya para nabi dan dari segi pengutusan adalah paling akhirnya mereka.[10] Maksud dari paling awal ditinjau dari aspek penciptaan adalah ruh beliau, bukan penciptaan badannya. Paling awalnya penciptaan ruh Nabi Saw dapat ditafsirkan dengan shaâdir awwal (maujud yang paling awal termanifestasi) atau zhâhir awwalnya (maujud yang paling awal menampak) beliau Saw.[11]

- Imam Muhammad Baqir As dalam menjelaskan ayat 40 surah al-Ahzab tentang kalimat “khâtama nabiyyin” berkata: Yakni tidak ada Nabi sesudah Muhammad Saw.[12]

3. Dalam ayat 40 surah al-Ahzab disebutkan bahwa Nabi Islam Saw adalah paling akhirnya nabi Tuhan, bukan paling akhirnya rasul Tuhan. Oleh karena itu, ayat tersebut tidak menafikan kedatangan rasul baru dan syariat baru.

Jawab: Tentang relasi antara kenabian dan risalah terdapat dua pandangan: Pertama, keduanya dari segi misdak adalah saling memestikan dan musâwiq (sama) antara satu dengan lainnya; yakni semua orang yang mencapai maqam kenabian, juga memiliki maqam risalah. Kedua, kenabian adalah lebih umum daripada risalah; yakni semua rasul adalah nabi, tetapi sebagian nabi bukanlah rasul. Berdasarkan kedua pandangan tersebut maka keberakhiran kenabian meniscayakan keberakhiran risalah; sebab jika dinafikan salah satu dari perkara yang saling memestikan maka akan meniscayakan penafian yang lainnya dan penafian yang lebih umum juga akan meniscayakan penafian yang lebih khusus.

4. Tuhan menjelaskan kepada Bani Adam bahwa setiap kali seorang rasul datang kepadamu dan membacakan ayat-ayat Tuhan untukmu, barangsiapa yang memilih jalan takwa dan saleh maka dia akan aman dari kesesatan dan adzab: “Wahai anak cucu Adam! Jika datang kepadamu rasul-rasul dari kalanganmu sendiri, yang menceritakan ayat-ayat-Ku kepadamu, maka barangsiapa bertakwa dan mengadakan perbaikan, maka tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” (Qs. al-A’raf [7]: 35)

Dari kalimat ?A~E^i'a"?~a~ yang merupakan fiil mudhâri’, dipahami bahwa pintu risalah selamanya terbuka dan tidak akan tertutup serta berakhir.

Jawab: Kalimat tersebut tidak digunakan lebih dari yang dimaksud bahwa masalah risalah akan terulang; adapun perkara ini akan berlanjut sampai hari kiamat atau tidak, tidaklah didapatkan pengertian darinya. Dan jika lahiriah ayat menunjukkan matlab demikian itu juga maka ayat “…akan tetapi rasul Tuhan dan penutup para nabi…” (Qs. al-Ahzab [33]: 40) dan dalil-dalil lainnya berkenaan khâtamiyyah menjadi kait atasnya. Akan tetapi pengertian seperti itu tidak akan dihasilkan dari zuhur ayat 35 surah al-A’raf tersebut, sebab kalimat syartiyyah, pada galibnya hanya menjelaskan hubungan syarat dan jawabannya satu sama lain, tidak menunjukkan pengulangan syarat yang memestikan pengulangan jawabannya.

5. Al-Qur’an menjelaskan bahwa jalan keselamatan dan kebahagiaan adalah iman kepada Tuhan, hari kiamat, dan amal saleh; baik dia itu adalah orang Islam, Yahudi, Nasrani, atau Shâbii; sebagaimana dikatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shâbiin, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebaikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” (Qs. al-Baqarah[2]: 62)

Jelas bahwa matlab ini berseberangan dengan prinsip khâtamiyyah; sebab salah satu makna khâtamiyyah adalah syariat Islam menâsikh (menghapus) syariat-syariat sebelumnya dan dengan kedatangannya maka masa berlaku syariat-syariat sebelumnya telah berakhir.

Jawab: Isykal dan syubhah ini, juga mempertanyakan kemenduniaan syariat Islam dan sekaligus menyoal kepamungkasannya; akan tetapi ayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan atas matlab yang disebutkan di atas.

Dengan memperhatikan bentuk ayat, dapat dikatakan bahwa ayat di atas menjelaskan suatu prinsip universal tentang hidayah dan keselamatan. Bahwasanya hanya dengan memandang diri sebagai penganut Islam, Yahudi, Nasrani, atau Shâbii, tidak akan menyebabkan seseorang mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan akhirat; akan tetapi keselamatan dan kebahagiaan manusia bergantung kepada iman hakiki dan amal saleh. Dan adapun iman hakiki dan amal saleh dalam setiap zaman, mesti berasaskan dengan syariat apa yang berlaku di zaman tersebut. Karena itu, ayat ini tidak memperlihatkan penjelasan matlab demikian ini dengan bentuk pernyataan: “…barang siapa beriman di antara mereka…” sehingga cakupannya meliputi keimanan terhadap syariat-syariat yang disebutkan sebelumnya dalam priode diutusnya Nabi Muhammad Saw dan berlakunya syariat yang dibawanya.

Oleh karena itu, ayat-ayat lain al-Qur’an yang menunjukkan atas keumuman dan kepamungkasan syariat Islam, menjadi penjelas bahwa syariat Islam menâsikh (menghapus, membatalkan) syariat-syariat lainnya dan dengan kedatangannya maka iman dan amal saleh mesti bersaskan atasnya sehingga manusia dapat mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan hakiki.

Beberapa Pertanyaan Seputar Khâtamiyyah

Sejak dahulu berbagai pertanyaan seputar khâtamiyyah telah diutarakan. Dan di zaman sekarang ini pertanyaan-pertanyaan tersebut terkadang diungkapkan dalam bentuk baru dan di samping itu juga muncul pertanyaan-pertanyaan yang baru sama sekali, dan di zaman akan datang juga akan muncul pertanyaan yang sama dalam bentuk yang lebih baru atau lebih modern dari bentuk sebelumnya. Sebagian dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:

1- Dengan memperhatikan perjalanan kesempurnaan manusia, bagaimana mungkin manusia tidak mempunyai seorang pemimpin Ilahi?

2- Apakah undang-undang zaman kenabian dapat mengantisipasi dan menyelesaikan masalah-masalah sekarang ini?

3- Apakah dengan terputusnya wahyu dan kenabian, manusia mesti tidak mendapatkan akses lagi berhubungan dengan alam gaib?

Jawaban: Dengan menjelaskan beberapa perkara yang urgen dan daruri maka jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi jelas:

1. Burhan dalam al-Qur’an

Al-Qur’an, di samping memperkenalkan dirinya sebagai burhan dan cahaya, juga memperlihatkan berbagai istidlal dalam kandungan dan isinya, sebab itu al-Qur’an senantiasa menuntut burhan dari yang lainnya: “…apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain Dia? Katakanlah (Muhammad), “Kemukakanlah burhan dan dalil-dalilmu!….” (Qs. al-Anbiyaa[21]: 24)

Al-Qur’an, dia sendiri adalah burhan dan juga mengemukakan dalil dan burhan. Berasaskan ini, al-Qur’an mengatakan: “Wahai manusia! Sesungguhnya telah sampai kepadamu burhan (bukti kebenaran) dari Tuhanmu dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (al-Qur’an).” (Qs.an-Nisa[4]: 174)

Oleh karena itu, al-Qur’an adalah burhan dalam istilah ahli hikmah (filosof) dan juga burhan dalam istilah ahli irfan serta juga burhan dalam istilah ahli hadits dan nakli.[13]

Allamah Thabathabai dalam hal ini berkata: Jika anda meneliti secara sempurna Kitab Ilahi dan merenungkan secara dalam ayat-ayatnya, mungkin anda akan menyaksikan lebih dari tiga ratus ayat yang mengajak masyarakat kepada pemikiran, perenungan, dan rasionalitas. Atau menampakkan bagaimana Nabi Saw beristidlal untuk mengafirmasikan hak dan kebenaran serta meruntuhkan kebatilan. Atau menukil istidlal-istidlal dari para nabi As dan wali-wali-Nya -seperti, Nabi Nuh As, Nabi Ibrahim As, Nabi Musa As, Lukman, orang mukmin keluarga Fir’aun, dan….

Tuhan dalam al-Qur’an tidak memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya -hatta satu ayat- (untuk menerima dan mengamalkan) apa yang tidak dipahaminya atau beriman kepada segala sesuatu yang datang dari sisi-sisi-Nya (kendatipun tidak diketahuinya) atau menapaki suatu jalan (beriman dan beramal) secara membabi buta; sampai-sampai undang-undang dan hukum-hukum yang ditetapkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya, dimana akal manusia tidak sampai kepada detail dan rincian parameter serta tolok ukurnya dan juga sesuatu yang dalam pelaksanaannya berada dalam kebutuhannya, niscaya Dia (Tuhan) beristidlal tentangnya dan membawakan sebab (bukti dan dalil) terhadapnya.[14]

Oleh karena itu, al-Qur’an dan ucapan para nabi As adalah paling argumentatifnya ucapan dan paling baiknya penjelasan dalam mengemban tujuan agung agama dan syariat. Kendatipun tentunya burhan-burhan al-Qur’an bukan dari jenis argumen dalam istilah filsafat dan kalam, akan tetapi dia berbicara dengan bahasa wahyu dan bahasa fitrah. Terkadang al-Qur’an berbicara seperti burhan siddiqin, membawa pemikiran kita dari wajibul wujud kepada ciptaan dan terkadang seperti burhan keteraturan, mengantar akal kita dari keteraturan sistem penciptaan kepada hikmah Tuhan yang hakîm; dan suatu waktu dia membawa kita dari kejamakan kepada keesaan dan diwaktu lain dia mengantar kita dari ketunggalan kepada kejamakan.

Dalam ayat-ayat permulaan surah ar-Ra’d, Tuhan menyebutkan nikmat-nikmat-Nya yang sangat banyak dan mengisahkan kekuasaan-Nya dalam menciptakan dan mengatur mereka supaya manusia berpikir dan sadar tentangnya: “Allah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menundukkan matahari dan bulan; masing-masing beredar menurut waktu yang telah ditentukan. Dia mengatur urusan (makhluk-Nya), dan menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), agar kamu yakin akan pertemuan dengan Tuhanmu. Dan Dia yang menghamparkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai di atasnya. Dan padanya Dia menjadikan semua buah-buahan berpasang-pasangan; Dia menutupkan malam kepada siang. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir. Dan di bumi terdapat bagian-bagian yang berdampingan, kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman, pohon kurma yang bercabang, dan yang tidak bercabang; disirami dengan air yang sama, tetapi Kami lebihkan tanaman yang satu dari yang lainnya dalam hal rasanya. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti.” (Qs. ar-Ra’d[13]: 2-4)

Adapun bahwasanya al-Qur’an mematahkan dalil para penentang wahyu dan memandangnya sebagai batil dan sia-sia, seperti yang dikatakannya: “…hujjah dan dalil mereka adalah sia-sia…” (Qs. asy-Syûrâ[42]: 16), sesudah al-Qur’an menyebutkan dalil mereka dan membatilkannya; sebab penyembah berhala membuat alasan bahwa jika Allah menghendaki, tentu kami tidak menyekutukan-Nya, begitu pula nenek moyang kami, dan kami tidak akan mengharamkan apapun. (Qs. al-An’am[6]: 148)

Bentuk istidlal seperti ini dipandang batil oleh al-Qur’an, sebab dia mencampurkan antara iradah takwini dan tasyrii.[15]

Tuhan, secara takwini kuasa untuk mencegah kesyirikan mereka, tetapi mereka adalah maujud bebas memilih (mempunyai ikhtiar) dan setiap pekerjaan yang ingin mereka lakukan, mereka dapat lakukan. Karena itu, kendatipun Tuhan melarang mereka berbuat syirik secara tasyrii, tetapi mereka mempunyai ikhtiar untuk memilih tidak melanggar larangan Tuhan atau melanggarnya (dan dalam hal ini tidak ada campur tangan iradah takwini Tuhan).

Demikian juga al-Qur’an menukil dan membatilkan istidlal mereka atas kelayakan berhala-berhala untuk mendekatkan mereka kepada Tuhan:“Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya. Sungguh, Allah akan memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta dan orang yang sangat ingkar.” (Qs. az-Zumar [39]: 3)

Begitu pula al-Qur’an menyetir dan membatilkan istidlal mereka atas kelayakan berhala-berhala sebagai pemberi syafaat bagi mereka di sisi Tuhan: “Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan bencana kepada mereka dan tidak (pula) memberi manfaat, dan mereka berkata, “Mereka itu adalah pemberi syafaat kami di hadapan Allah.” (Qs. Yunus[10]: 18)

Al-Qur’an menukil dan membatilkan semua bentuk istidlal-istidlal mereka itu, dimana mereka berargumen dengan menjadikan berhala-berhala sebagai perantara “mendekatkan mereka kepada Tuhan” dan “pemberi syafaat bagi mereka di hadapan Tuhan” sebagai “middle terme” dan al-Qur’an setelah menukilnya secara panjang lebar dan mengisykalnya, menyatakan bahwa semua itu “…hujjah dan dalil mereka adalah batil (dan sia-sia)…” (Qs. asy-Syûrâ[42]: 16)

2. Khatamiyyah Menurut Pandangan Akal

Sebagaimana kita ketahui bahwa prinsip kenabian dapat diafirmasikan dengan dalil eksternal agama (dalil akal) dan juga dengan dalil internal agama (dalil nakli). Akan tetapi kita tidak mempunyai dalil akal atas kedarurian terputusnya wahyu dan terputusnya kenabian; yakni akal tidak memandang sebagai suatu perkara mustahil kedatangan nabi lain sesudah Nabi Muhammad Saw, kecuali dalil-dalil nakli yang membuat akal menerima khâtamiyyah. Meskipun pada hakikatnya kalbu yang bersih dan arif dapat menyaksikan terputusnya kenabian dan jalan ini –yakni syuhud dan penyaksian khâtamiyyah- tidak terkhususkan bagi nabi, tetapi lebih umum dari nabi, imam, dan maksumin. Sebagai contoh dari matlab ini, penyaksian wahyu hadhrat Ali As dan pembenaran dari Nabi Saw: Wahai Ali! Apa yang aku dengar, engkau juga mendengarnya.[16]

Oleh karena itu, akal manusia tidak dapat menghukumi dengan sendirinya kemestian terputusnya wahyu, akal hanya dapat mengetahui akhir kenabian ini lewat suatu ilmu yang jika Tuhan tidak mengajarkan kepada nabi-Nya, beliau sendiri juga tidak mengetahui perkara tersebut. Sebab itu, jika Nabi Saw tidak mendeklarasikan khâtamiyyah, tidak satupun orang yang dapat menjangkau makrifat rahasia ini.

Putusnya wahyu tidak bermakna bahwa apa yang dibawa agama yang tadinya adalah benar dan kokoh, sesudah kepergian pembawanya dan wahyu terputus maka berganti menjadi batil dan fatamorgana. Sebab agama Tuhan tidak akan didatangi kemusnahan dan tidak juga akan dibatilkan oleh sesuatu buatan manusia: “(Yang) tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang (pada masa lalu dan yang akan datang)….” (Qs. Fussilat[41]: 42) Oleh karena itu, seluruh isi dan kandungan al-Qur’an dari masa diturunkannya sampai hari kiamat akan tetap bertahan dan langgeng; meskipun kenabian dari sisi pembawa tasyrii telah terputus dan juga tidak akan datang lagi syariat baru. Adapun jika syariat nabawi ditutup (tidak diberlakukan) maka yang akan menjadi penggantinya tentunya maktab pemikiran manusia dan ini tidak lain misdak dari klaim Firaun: “(Seraya) berkata: “Akulah Tuhanmu yang paling tinggi.” (Qs. an-Nâzi’ât[79]: 24) dan hal demikian ini adalah suatu yang batil ditinjau dari segi akli dan nakli.

Berasaskan ini, pada dasarnya manusia tidak dilepaskan begitu saja, akan tetapi rububiyyah Tuhan tetap berlanjut mengatur manusia lewat al-Qur’an dan hadits-hadits nabi-Nya dan dengannya Tuhan telah menyiapkan alat dan piranti istinbat dan istikhrâj bagi undang-undang dan hukum-hukum baru. Dan perlu diketahui bahwa akal itu sendiri merupakan salah satu sumber agama, bukan sesuatu yang berhadapan dengan agama. Karena itu, pembagian dalil kepada agama dan rasionalitas (berhadap-hadapan) adalah suatu kesalahan besar. Akal merupakan salah satu alat penyingkapan makrifat agama –yang sumbernya berpangkal dari iradah Tuhan- dan juga akal dapat mengetahui tentang apa yang dikatakan oleh wahyu dan nakli dan dengan perantaraannya ayat-ayat al-Qur’an diteliti dan disandingkan dengan riwayat-riwayat, dan dari percampuran keduanya itu istinbat dan istikhrâj mengambil bentuknya.

Akal merupakan pelita yang sangat terang yang berkhidmat pada wahyu dan dengan pertalian keduanya syariat Islam bertahan dan langgeng. Dan sumber kelanggengan ini berpangkal dari kekontinyuan rububiyyah Tuhan, yang mana mengatur manusia setiap detiknya dan memanifestasikan aturan-aturan-Nya sesuai kadar kebutuhan manusia.

3. Wilayat, Pilar Kenabian dan Imamah

Nubuwwah mempunyai suatu pilar penegak yang disebut wilayat. Dan dia adalah maqam batini yang hanya dapat dicapai dengan melalui jalan penghambaan dan qurbah nawâfil dan farâidh. Maqam sangat bernilai ini yang menjadi pilar penegak kenabian dapat juga dicapai oleh orang lain dan menjadi wali (dalam hal ini orang yang mencapai maqam tinggi ini, dia akan mendapatkan penyaksian dan penyingkapan alam gaib, tetapi tidak menerima wahyu syariat); yakni dia mencapai maqam wilayat tetapi tanpa kenabian.

Dengan berakhirnya kenabian, maqam wilayat tidak terputus; akan tetapi secara khusus terdapat wilayat bagi pemimpin agama (baca: Imam) dan para wali lainnya. Para pemimpin ini, dikarenakan memiliki wilayat dan imamah maka sesudah terputusnya wahyu dan tersempurnakannya garis-garis pedoman agama di tangan Nabi Saw, mereka menjadi penjaga, penafsir, dan melakukan pengajaran agama serta menyingkap hakikat-hakikat agama, dasar dan prinsip keyakinan, akhlak, fikh, kemasyarakatan, kedokteran, sistem pemerintahan,[17] dan bidang-bidang lainnya yang menjadi kebutuhan masyarakat Islam.

Oleh karena itu, pernyataan yang mengatakan bahwa dengan meninggalnya Nabi Saw maka manusia telah bebas dari wilayat tasyrii, ini adalah suatu pernyataan yang tidak mengandung nilai makrifat agama; sebab para pengganti nabi-nabi –khususnya para pengganti Nabi Islam Saw- melanjutkan apa yang dilakukan oleh Nabi Saw. Mereka bukanlah nabi dan mereka tidak memiliki wahyu tasyrii dan tidak membawa hukum baru, akan tetapi dari aspek wilayat mereka melakukan pekerjaan para nabi; sebab wilayat yang terdapat dalam kenabian, juga terdapat dalam wujud imam maksum.[18]

Wilayat ini, bukanlah wilayat maknawi dan qurb nawâfil dan farâidh, tetapi ia adalah wilayat tasyrii dan kepemimpinan umat yang tidak terputus; sebagaimana Tuhan berfirman: “Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku.” (Qs. al-Maidah[5]: 55)

Rasulullah Saw di Gadir Khum menekankan atas makna ini dan bersabda: Apakah aku tidak lebih pantas kepadamu dari diri kamu sendiri? Semua menjawab: Ya!; Ketika itu beliau bersabda: Maka barangsiapa aku maulanya (pemimpinnya) maka ini Ali maulanya.[19] Oleh karena itu, sepeninggal Rasulullah Saw, tanggungjawab menjelaskan makna dan menafsirkan ayat-ayat, memutuskan hukum, dan apa saja yang menjadi kebutuhan masyarakat yang hidup dan dinamis, berada di bawah kepemimpinan dan wilayat Ali As. Ucapan dia adalah ucapan Rasulullah Saw dan jika disuatu tempat dibutuhkan istidlal maka dia membawakan dalil dan memecahkannya dengan istidlal dan apa yang menurutnya halal, adalah halal dan apa yang dihitungnya haram, adalah haram. Dan jika syarat-syarat tertentu menyertainya dan memenuhi untuk dia mengambil khilafah zahiri (lahiri) maka dia memegangnya untuk mengimplementasikan dan mengaplikasikan syariat agama dalam pemerintahan dengan bentuknya yang hakiki (sebagaimana yang dijalankan junjungannya Nabi Saw).

Dalam hal ini, masyarakat wajib menerima hukum dan perintahnya, sebagaimana hukum dan perintah Tuhan serta Rasul-Nya: “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Qs. al-Ahzab[33]: 36)

Oleh karena itu, orang yang berkata: Bertanyalah padaku sebelum engkau kehilangan diriku; atau berkata: Saya lebih mengetahui jalan-jalan langit ketimbang jalan-jalan bumi, [20] dia adalah pemilik wilayat yang disebutkan dan dengan pengertian ayat: “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri….” (Qs. al-Ahzab [33]: 6) maka dia juga memiliki wilayat tasyrii nabawi, dan sesudah dia, imam-imam berikutnya juga memiliki kepemimpinan dan wilayat tasyrii seperti ini sampai imam Mahdi As, dimana agama akan berkembang dan maju dalam berbagai aspeknya serta menjasad dalam kehidupan masyarakat.

[1] Ibnu Fâris, Muqâyasu al-lugah, Jld. 2, Hal. 245.

[2] Jawâdy Amuly, Wahy wa Nubuwwat Dar Qurân, Hal. 400.

[3] Ali Rabbani Gulfaigani, Kalam-e Tathbiqi (Nubuwwat, Imamat wa Maad), Hal. 106.

[4] Tentang masalah ini merujuk kepada kitab-kitab; Ushul Kâfi, Jld. 1, Sahih Bukhari, Jld. 3, dan Sahih Muslim, Jld. 4.

[5] Muhammad Saidi Mehr, Amuzasy-e Kalam-e Islami, Jld. 2, Hal. 124.

[6] Untuk mengetahui hadits-hadits berkenaan matlb ini merujuk pada kitab Mafâhim Al-Qur’an, Jld. 3, Hal. 148-167.

[7] Zamaksyari, Tafsir Al-Kassyâf, Jld. 3, Hal. 544.

[8] Ali Rabbani Gulfaigani, Kalam-e Tathbiqi (Nubuwwat, Imamat, wa Maad), Hal. 109.

[9] Tafsir Nur Atssaqalain, Jld. 4, Hal. 284.

[10] Ibid.

[11] Jawadi Amuly, Wahyu wa Nubuwwat Dar Qur’an, Hal. 401.

[12] Allamah Majlisi, Biharul Anwâr, Jld. 22, Hal. 218.

[13] Jawadi Amuly, Wahyu wa Nubuwwat dar Qur’an, Hal. 405.

[14] Thabathabai, Tafsir Al-Mizan, Jld. 6, Hal. 260.

[15] Jawadi Amuly, Wahyu wa Nubuwwat dar Qur’an, Hal. 407.

[16] Allamah Majlisi, Biharul Anwâr, Jld. 14, Hal. 476.

[17] Jawadi Amuly, Wahyu wa Nubuwwat dar Qur’an, Hal. 411.

[18] Ibid.

[19] Allamah Majlisi, Biharul Anwâr, Jld. 21, Hal. 387.

[20] Nahjul Balagah, Khutbah 89.