Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Cetak Biru Toleransi Agama dan Sosial; Menuju Masyarakat Madani(2)

1 Pendapat 05.0 / 5

Dialog Logis antar Agama
Salah satu asas kesepahaman dan toleransi antarumat beragama dan mazhab dalam sebuah masyarakat adalah tradisi dialog produktif dan kondusif. Islam juga memperhatikan hal ini sejak memulai dakwahnya. Islam menginginkan nabinya menyampaikan dan menyuarakan agama lewat metoda dialog dan logika. Dialog menempati posisi yang sangat signifikan dalam Al-Quran. Bahkan istilah “dialog” (berikut padanannya) menduduki posisi utama di bawah kata “Allah”.

Al-Quran menghendaki Nabinya menyampaikan dan menyuarakan Islam lewat argumentasi, hikmah, dialog, dan debat dalam cara terbaik, entah kepada kaum Muslim sendiri maupun kepada kaum kafir. Ini sebagaimana firman-Nya:

“Serulah (manusia) pada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (QS. Al-Nahl [16]: 125).

“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik.” (QS. al-Ankabut [29]: 46).

Kedua ayat ini mengungkapkan strategi dakwah Islam yang dilandasi argumentasi, dalil, dan debat terbaik; sekaligus teguran pada Rasulullah Saw agar tidak melampaui batas-batas etika perdebatan dengan Ahli Kitab. Kalangan ahli tafsir menjelaskan bahwa debat terbaik (jidâl ahsan) merupakan dialog atau debat dalam semangat persaudaraan, kelembutan, jauh dari ucapan kotor dan cacimaki. Seperti ditegaskan Murtadha Muthahari, ayat di atas merupakan salah satu dalil kebebasan memilih agama menurut Islam.

Menuju Titik Persamaan
Pada dasarnya, tujuan utama Islam membuka ruang dialog antaragama adalah untuk memperlihatkan dan membuktikan kebenaran Islam itu sendiri, sehingga pengikut agama lain, berdasarkan intuisi dan pengetahuan, dapat melangkah ke jalan yang lurus. Namun, selain tidak mendukung pandangan populer “Semuanya atau tidak sama sekali”, Al-Quran tetap percaya bahwa ruang dialog itu terbuka sekalipun tidak meninggalkan hasil yang diinginkan.

Dialog antaragama bisa terus berlanjut dalam rangka mencapai hasil-hasil berikut. Ini sebagaimana ayat di atas menginginkan Rasulullah Saw agar, dalam dialognya dengan Ahli Kitab, menjelaskan hubungan ketuhanan antara Muslim dan Ahli Kitab dalam konsep tauhid dan keimanan pada kitab-kitab samawi. Darinya diharapkan lahir embrio kesalingpahaman dan toleransi antarpenganut agama samawi.

Dan katakanlah, “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri.” (QS. al-Ankabut [29]: 46).

Dalam ayat lain, selain mengajak Ahli Kitab pada konsep ketuhanan yang sama, Allah Swt juga mengingatkan mereka agar tidak menodai esensi ajaran samawi (tauhid) dengan kesyirikan:

Katakanlah, “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun.” (QS. Al Imran [3]: 64).

Ayat di atas menuntut Ahli Kitab berada di bawah satu naungan ajaran langit berupa konsep tauhid serta mempertahankan koeksistensinya dengan kaum Muslim.

Larangan Eksploitasi dan Menyembah Makhluk
Salah satu elemen masyarakat ideal (al-madinah al-fadhilah) atau, istilah dewasa ini, Masyarakat Madani adalah persamaan hak individu dan tak adanya kaum lemah yang mengabdi (menyembah) segelintir orang kuat dan kaya. Dengan kata lain, eksploitasi individu atau rezim tertentu harus dihapuskan dari tatanan sosial, untuk kemudian digantikan dengan kebebasan dan kesamaan hak seluruh individu manusia.

Al-Quran juga tidak mengabaikan asas ini. Karena itu, Tuhan memperingatkan seorang nabi yang, dengan kekuatan, menyeru umat kepada ketaatan dan penghambaan pada-Nya. Dalam ayat lain juga disebutkan tujuan para nabi untuk membebaskan umat manusia dari belenggu perbudakan anti-tuhan (thaghut), seperti:

Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Alkitab, hikmah, dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia, “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” (QS. Al Imran [3]: 79).

Dalam ayat di bawah ini, Allah Swt menjelaskan tugas Rasulullah Saw sebagai pembebas umat manusia dari belenggu penjajahan kaum elite: “Dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka”. (QS. al-A’raf [7]: 157).

Dalam ayat lain, Allah Swt juga memperingatkan Ahli Kitab mengenai arogansi, sikap rasis dan eksploitasi masyarakat. Ini agar semua itu tidak sampai menodai kerukunan antarumat beragama.

Katakanlah, “Hai Ahli Kitab! … tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian lain sebagai tuhan selain Allah.” (QS. Al Imran [3]: 64).

Ali bin Abi Thalib juga menjelaskan tujuan diutusnya Nabi Saw: membebaskan umat manusia dari eksploitasi individu dan penyembahan makhluk, dan menuntun pada penyembahan terhadap pencipta hakiki:

“Allah telah mengutus Muhammad untuk membebaskan hamba-Nya dari penyembahan makhluk kepada [penyembahan] Sang Pencipta”. ( Nahj Al-Balaghoh, pidato ke-154.)

Toleransi dan Berbuat Baik pada Orang Kafir
Dari penjelasan ayat-ayat sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Islam hanya toleran pada sesama pengikut agama langit, seperti Yahudi dan Nasrani. Adapun terhadap orang kafir dan politeis, toleransi tidak berlaku. Bahkan Al-Quran selalu memerangi mereka. Namun, ini anggapan keliru tentang bagaimana Islam menyikapi orang kafir. Marilah merenungkan kembali ayat-ayat yang dimaksud.

Rangkaian ayat jihad memberi solusi bahwa jihad melawan orang kafir dilancarkan bila mereka memang memerangi Islam dan Muslim. Seandainya orang kafir puas dengan kekafiran dan kemusyrikannya, serta tidak mengganggu dan memusuhi Islam, Al-Quran tidak hanya melarang memerangi mereka, bahkan memerintahkan Nabi Saw berdamai dengan mereka.

“Dan jika mereka condong pada perdamaian, maka condonglah padanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Mahadengar lagi Mahatahu.” (QS. al-Anfal [8]: 61).

“Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.” (QS. al-Nisa [4]: 90).

Begitu pula dengan orang munafik. Dalam sebuah ayat, setelah teks perintah memerangi orang-orang munafik dalam sebuah peperangan, Allah Swt juga menyuruh kaum Muslim berdamai dengan mereka (orang-orang munafik). Khususnya bila antara mereka dan kaum Muslim terikat perjanjian atau mereka sudah bosan dengan peperangan dan cenderung berdamai.

“Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong. Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya.” (QS. al-Nisa [4]: 90).

Selain menyerukan hidup berdampingan damai, Al-Quran juga mengajak kaum Muslim berbuat baik dan berlaku adil sekaitan dengan hak-hak orang kafir. “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. al-Mumtahanah [60]: 8).

Dalam ayat ini, Allah Swt tidak mengatakan hanya akidah orang kafir sebagai alasan utama untuk memerangi mereka, melainkan serangan, gangguan, dan kejahatan mereka terhadap kaum Muslim. Karena itu, imbauan berbuat baik berlaku selama mereka tidak memusuhi dan memerangi Islam. “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. al-A’raf [7]: 199).

Ayat ini termasuk salah satu prinsip dasar dan cetak biru etika dan toleransi. Dalam ayat ini, Allah Swt memerintahkan Nabi Muhammad Saw memaafkan (berlaku arif terhadap) orang yang tidak mengimaninya, dan yang kadangkala mengganggu Nabi secara fisik maupun psikis.

Di sini, barangkali muncul pertanyaan; apakah ayat di atas dan sikap pemaaf Nabi Saw hanya berlaku di saat beliau tak punya kekuatan? Sikap pemaaf beliau dalam peristiwa Penaklukkan Mekah kepada seluruh orang kafir dan musyrik yang selalu mengganggu, menyiksa, mengasingkan, bahkan menerornya, menjadi bukti konkret atas rapuhnya klaim tersebut.

Dalam ayat lain, Al-Quran melarang Muslim mengecam dan memaki orang kafir berikut sesembahannya. Ini agar orang-orang kafir tidak sampai menistakan kesucian Islam berikut simbol-simbolnya. “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am [6]: 108).

Demikianlah sekilas uraian seputar sejumlah ayat Al-Quran yang membuktikan cetak biru konsep toleransi dan kerukunan hidup beragama untuk menciptakan masyarakat ideal (al-madinah al-fadhilah) atau Masyarakat Madani. []

Disarikan oleh Bin Turkan dari buku Quran va Pluralism, Muhammad Qadardan Qaramaleki.