Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Menziarahi Matahari Khorasan

1 Pendapat 05.0 / 5

Lebih dari seribu tahun yang lalu, Imam Ali Ridha menginjakkan kakinya di tanah Persia. Kedatangannya membawa berkah dan cahaya bagi rakyat di negeri ini. Di hari yang agung ini, marilah sejenak kita berziarah ke makam suci beliau yang terletak di kota Mashad, timur laut Iran. Dengan penuh keikhlasan, marilah kita menghanturkan shalawat dan salam kepada manusia suci ini.

Salam sejahtera atasmu, wahai Imam Ridha

Salam sejahtera atasmu wahai cucu baginda Rasul Saw

Dengan tulus, segenap orang mukmin di dunia ini menghanturkan shalawat kepadamu, duhai sumber pengetahuan dan hikmah.

Hari ini suasana di kota Mashad, Iran, tempat di mana Imam Ali al-Ridha dimakamkan terasa begitu istimewa dan berbeda dengan hari-hari biasanya. Makam suci Imam Ali al-Ridha dipenuhi lautan peziarah dan pecinta Ahlul Bait as.

Imam Ali Ar-Ridha lahir pada 11 Dzulqa'dah 148 H. di Madinah. Ayah beliau adalah Imam Musa Al-Kadzim dan ibunya seorang wanita mukmin nan saleh, bernama Najmah. Beliau memegang tampuk kepemimpinan umat di usia 35 tahun setelah kesyahidan ayahnya , Imam Musa al-Kadzim.

Kesucian hati, ketajaman pandangan, keluasan ilmu, keimanan yang kuat kepada Allah Swt, dan perhatiannya yang besar kepada nasib masyarakat merupakan sejumlah sifat mulia yang khas pada diri Imam Ridha.

Kurang lebih selama 20 tahun, beliau memikul tanggung jawab sebagai imam dan pemimpin kaum muslimin. Karena itu, salah satu julukan beliau adalah "Rauf" atau penyayang. Beliau memiliki hubungan baik dengan siapapun, mulai dari kalangan orang-orang kaya dan fakir miskin, cerdik pandai maupun masyarakat awam.

Imam Ali ar-Ridha juga gigih melawan penguasa lalim dan penentang ajaran Ilahi ketika itu. Karena penentangan Imam Ali ar-Ridha, Khalifah Makmun merasa terancam sehingga memaksa Imam Ridha meninggalkan kota Madinah ke ibu kota dinasti Abbasiyah saat itu, Khorasan. Namun untuk menghilangkan kecurigaan dan kepekaan umat, Makmun melakukannya dengan bermacam tipu muslihat.

Dengan memaksa Imam Ridha meninggalkan Madinah, Makmun ingin menjauhkan beliau dari tanah suci, tempat turunnya wahyu ilahi yang juga basis kekuatan para pecinta Ahlul Bait saat itu. Untuk mengelabui umat, Khalifah Makmun menawarkan posisi sebagai putra mahkota.

Pada dasarnya, penawaran putra mahkota adalah makar Makmun yang ingin menjebak Imam untuk mengakui kepemimpinan Bani Abbasiyah. Dengan penawaran putra mahkota kepada Imam Ali ar-Ridha, pemerintah Bani Abbasiyah diupayakan mendapat legalitas dari Imam Ali ar-Ridha. Namun tipu muslihat itu disadari oleh Imam Ridha.

Kriteria penting Imam as adalah memerangi kezaliman dan ketidakadilan. Beliau bangkit melawan kebijakan arogan dan tipu daya penguasa Bani Abbasiyah, Makmun lewat berbagai cara. Makmun sangat mengkhawatirkan pengaruh Imam as di tengah masyarakat dan para pemikir di seluruh pelosok negara Islam. Oleh karena itu, khalifah meminta Imam Ridha Ridha untuk hijrah ke Marv, pusat pemerintahan Makmun.

Imam Ridha terpaksa menerimanya. Makmun berupaya mengurangi pengaruh pemikiran dan budaya Imam Ridha di tengah masyarakat dan menciptakan jarak antara beliau dengan warga. Untuk itu, Makmun mengusulkan jabatan putra mahkota kepada Imam as dan memaksa beliau as untuk menerima tawaran ini.

Dengan syarat-syarat tertentu, akhirnya Imam Ridha menerima jabatan putra mahkota. Salah satu syarat yang diajukan Imam Ridha adalah bahwa beliau tidak akan mengintervensi urusan pemerintahan dalam kondisi apa pun. Secara keseluruhan, syarat-syarat ini telah menggagalkan Makmun dalam mencapai ambisi politiknya.

Imam Ali ar-Ridha dengan sangat bijak melawan konspirasi Khalifah Makmun. Di antara bentuk perlawanan Imam Ali ar-Ridha menyampaikan pernyataan di Neishabur yang dikenal "Hadis Silsilah al-Dzahab atau Hadis Mata Rantai Emas".

Saat melintas kota Neishabur, Imam disambut lautan manusia dengan suka cita. Masyarakat berkumpul menanti Imam Ali ar-Ridha as untuk mendengar wejangan dari beliau. Setelah mengucapkan hamdalah dan menyampaikan shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad Saw, Imam Ali ar-Ridha berkata, "Aku mendengar dari ayahku, dari ayahnya dari kakeknya dan terus bersambung hingga Rasulullah Saw dari Jibril bahwa Allah Swt berfirman, ? Kalimat Laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah) adalah benteng-Ku yang kokoh. Barang siapa masuk ke benteng-Ku ia akan selamat dari siksa-Ku."

Setelah mengatakan hadis tersebut, beliau melangkahkan kakinya. Setelah beberapa langkah, Imam Ali Ar-Ridha menoleh ke lautan massa itu dan mengatakan, "Tentunya ada syarat-syaratnya, dan aku adalah salah satu syaratnya."

Dengan penjelasan tersebut, Imam Ridha menegaskan bahwa tauhid merupakan asas dari semua akidah dan sendi kehidupan. Namun keberadaan seorang imam dan pemimpin atas umat yang di zaman itu adalah beliau sendiri, adalah bagian dari syarat tauhid.

Imam Ali ar-Ridha menjadikan al-Quran sebagai sumber utama substansi agama. Hal itu dapat disaksikan pada penjelasan-penjelasan Imam ar-Ridha yang berlandaskan pada Kalam Ilahi. Ahlul Bait menilai refleksi dan pertanyaan sebagai hal yang penting.

Terkait hal ini, Imam Ali ar-Ridha membawakan riwayat hadis Rasulullah Saw, dan berkata, Ilmu merupakan khazanah, dan pertanyaaan adalah kuncinya. Bertanyalah karena penanya dan penjawab dalam pertanyaan ilmiah mendapat pahala spiritual.

Setelah gagal melemahkan pengaruh Imam Ridha di tengah masyarakat meski telah menempuh berbagai cara, akhirnya Makmun membunuh Imam Ridha dengan racun, dan beliau syahid di usia 55 tahun pada akhir Safar 203 Hq. Meski kematiannya telah berlalu lebih dari seribu tahun silam, tapi namanya tetap dikenang dalam sejarah. Ajarannya senantiasa diikuti dan makamnya di mashhad senantiasa diziarahi. Salam bagimu wahai matahari Khorasan.