Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Perpecahan di Tengah Umat Islam; Sebuah Telaah

1 Pendapat 05.0 / 5

Manusia diciptakan Tuhan selain mempunyai keragaman suku bangsa, ras dan bahasa, juga memiliki kecenderungan dan pilihan yang berbeda-beda dalam keyakinan dan panutan keagamaan. Hal itulah sejatinya yang memperkaya khazanah budaya dan intelektual umat manusia. Begitu banyaknya keyakinan dan agama, sehingga boleh jadi tak seorangpun mampu menghitung secara pasti jumlahnya.

Dalam bukunya, al-Milal wa al-Nihal, al-Syahristânî (wafat 549) mencoba menghitung jumlah agama dan keyakinan yang ada di dunia ini, baik di tengah kaum Muslimin sendiri maupun di luar kaum Muslimin. Tetapi usahanya ini tidak memberikan kepastian jumlah keyakinan dan agama yang sesungguhnya. Selain itu, al-Syahristânî juga tidak luput dari penilaian yang subyektif terhadap yang bukan dari golongannya sendiri. Misalnya, dalam menyebut golongan-golongan yang bukan agama, dia menyebutkan mereka sebagai Ahlu al-Ahwâ, yang artinya para pengikut hawa nafsu. Dalam keterangan lain, al-Syahristânî juga menyebut ajaran yang bukan ajaran dari agamanya tidak berdasarkan pengetahuan yang benar. Misalnya, yang menyebutkan bahwa ciri-ciri Syiah adalah meyakini reinkarnasi, hulûl dan tasybîh, atau Imam al-Hâdi, Imam kesepuluh dari para imam Ahlul Bait, wafat dan dikubur di Qom.

Selain al-Syahristânî, para penulis buku tentang golongan-golongan juga tidak luput dari kesalahan yang sama dengannya, seperti, Abu al-Hasan al-Asy’ari (wafat 330) dalam bukunya,  Maqâlât al Islâmiyyîn wa Ikhtilâfu al-Mushallîn, Abu Manshûr Abdul Qâhir al-Baghdâdi (wafat 429) dalam bukunya,  al-Farqu baina al-Firoq,  dan penulis-penulis lainnya.

Penilaian yang subyektif dan penyebutan ajaran yang tidak benar semacam itu ikut andil dalam menciptakan kecurigaan di antara kaum Muslimin dan berujung pada permusuhan hingga saat ini di tengah mereka.

Hadis “Tujuh Puluh Tiga Firqah”

Munculnya golongan keagamaan dalam Islam secara khusus telah diprediksikan oleh Nabi Muhammad saww. Dalam sebuah riwayat yang populer disebutkan bahwa umat Islam akan terpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Yang tujuh puluh dua celaka dan yang satu selamat (al-Firqah al-Nâjiyah).

Berkenaan dengan hadis ini, ada dua permasalahan yang mengemuka. Pertama, apakah jumlah itu pasti, tidak kurang dan tidak lebih? Kedua, golongan Islam manakah yang selamat?

Dalam menjawab pertanyaan pertama, Jafar Subhâni menginventarisir beberapa kemungkinan; Penyebutan jumlah tujuh puluh hanya sebuah kata kiasan yang menunjukkan betapa banyaknya (al-mubâlaghah) golongan-golongan yang akan bermunculan di dunia Islam. Kata kiasan ini acapkali digunakan dalam bahasa Arab, seperti dalam ayat, ”Meskipun engkau (Muhammad) memintakan ampun untuk mereka sebanyak tujuh puluh kali. Maka Allah tidak akan mengampuni mereka.” Dengan demikian, jumlah golongan-golongan di tengah kaum Muslim bisa lebih dan bisa kurang dari tujuh puluh tiga.

Jumlah ini menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam masalah-masalah furûuddîn (cabang-cabang agama) yang menimbulkan golongan-golongan yang banyak. Sementara golongan-golongan yang muncul karena perbedaan dalam masalah-masalah ushuluddin tidak sampai tujuh puluhan. Namun sebagian penulis dengan sengaja memaksakan bahwa golongan-golongan Islam sudah mencapai jumlah itu.

Pertanyaan kedua mengandung sensitifitas yang tinggi dalam hubungan sosial antara umat Islam, karena setiap golongan dari umat Islam merasa golongannyalah yang selamat dan akan masuk surga, sedangkan golongan yang lain celaka dan akan masuk neraka. Untuk itu, pada hampir setiap hadis ini, ada tambahan keterangan yang menerangkan tentang golongan yang selamat.

Syamsuddîn Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar al-Basyâsyri al-Sayyâh (wafat 380) dalam bukunya,  Ahsanu al-Taqâsîm fi Marifati al-Aqâlîm, justru meriwayatkan kebalikan dari hadis ini. Dia mengatakan bahwa hadis “Tujuh puluh dua (golongan) di Surga dan satu (golongan) di Neraka” lebih shahih sanadnya, sedangkan hadis “Tujuh puluh dua di Neraka dan satu di Surga” lebih masyhur. Komentar Syamsuddin ini setidaknya cukup melegakan dada umat Islam. Meski demikian, tetap saja meninggalkan kecurigaan di tengah mereka tentang satu golongan yang celaka itu.

Munculnya golongan-golongan di dunia Islam ini acapkali menimbulkan permusuhan antara golongan-golongan Islam sendiri. Saling mengafirkan dan saling menumpahkan darah hanya karena perbedaan dalam mengonsepsikan beberapa ritus keislaman telah banyak mewarnai dunia Islam. Tak terkecuali di Indonesia. Kasus yang terjadi beberapa tahun silam, yaitu penyerangan pusat Ahmadiyah di Parung Bogor dan penghancuran rumah-rumah para penganutnya di Lombok merupakan bukti nyata dari keberadaan umat Islam yang belum siap menerima perbedaan. Kenyataan ini sangat memprihatinkan dan memalukan umat Islam sendiri.

Saling mencurigai dan permusuhan seperti ini, juga berlaku intra agama non-Islam, seperti golongan Protestan dan golongan Katolik di Irlandia. Sampai saat ini, di antara mereka masih terjadi permusuhan. Hal yang sama, terjadi juga pada agama-agama yang lain.

Kemudian dalam ruang lingkup yang lebih luas, kecurigaan dan permusuhan terdapat antara para penganut agama yang berbeda. Perang Salib merupakan contoh nyata dan buah kecurigaan dan kebencian antara umat Islam dan umat Kristiani. Begitupun pengahancuran mesjid, sinagog dan gereja, penumpahan darah dan pembakaran rumah, menjadi bagian dari sejarah kelam hubungan antara Islam dan Kristen, atau antara Kristen dan Yahudi di Eropa, juga Islam dan Hindu di India.

Meski demikian, harus dikatakan juga bahwa peperangan itu tidak jarang karena faktor politis, yang dikemas dengan simbol-simbol agama, seperti penjajahan Israel atas Palestina dengan dalih bahwa tanah Palestina adalah tanah yang dijanjikan untuk orang-orang Yahudi sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci mereka.

Karen Amstrong mengutip khotbah Paus Urban di hadapan Umat Kristiani,  “Orang Turki (Muslim) adalah ras terkutuk, ras yang sungguh-sungguh jauh dari Tuhan, orang-orang yang hatinya sungguh tidak mendapat petunjuk dan jiwanya tidak diurus Tuhan. Membunuh para monster tak bertuhan ini adalah tindakan suci: orang Kristen wajib memusnahkan ras keji ini dari negeri kita.”

Di Amerika, menurut keterangan Muhammad Legenhausen, para kolonial Eropa yang beragama Kristen menjajah dan membunuh penduduk asli, suku Indian atas nama agama. Di negeri kita juga, di Poso dan Ambon, beberapa tahun lalu terjadi tindakan saling bunuh antara umat Islam dan umat Kristiani. Segala upaya pemerintah telah dikerahkan untuk mendamaikan pertikaian berdarah itu, namun hasilnya belum menjamin bahwa pertumpahan darah serupa tidak bakal terulang kembali pada masa-masa yang akan datang.

Perang atas nama agama, baik sesama agama maupun antara agama, telah terjadi dan tidak mustahil akan terjadi lagi. Kebencian dan kecurigaan laksana bara api dalam sekam, yang kapanpun bisa tersulut. Agama alih-alih menciptakan kedamaian dan ketenteraman bagi para penganutnya, justru menjadi penyulut kebencian dan permusuhan. Itulah fakta yang tidak dapat dimungkiri, walaupun di beberapa kawasan, kerukunan dan toleransi antara umat beragama dapat diwujudkan.

Menilik fakta ini, ada baiknya saya kutip pernyataan seorang wartawan dan novelis dari Inggiris, bernama A.N Wilson dalam bukunya, Against Religion: Why We Should Try to Live Without It, yang dengan nada suram dan skeptis menyatakan, “Dalam al Kitab (Bibel) dikatakan bahwa cinta uang adalah akar segala kejahatan. Mungkin lebih benar lagi kalau dikatakan bahwa cinta Tuhan adalah akar kejahatan. Agama adalah tragedi umat manusia. Ia mengajak kepada yang paling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa manusia, namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidak ikut bertanggung jawab atas berbagai peperangan, tirani dan penindasan kebenaran. Marx menggambarkan agama sebagai candu rakyat; tetapi agama jauh lebih berbahaya daripada candu. Agama tidak membuat orang tertidur. Agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bagi diri mereka sendiri pemilikan kebenaran.”[*]