Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Imam adalah Pilihan Allah, Manusia tidak Bisa Turut Campur, Bukti dari Ayat 124 Surah AlBaqarah

1 Pendapat 05.0 / 5

 

وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ

(QS AlBaqarah 124)

Keberadaan seorang pemimpin zalim adalah sebuah dalil pasti dan tidak terbantahkan, bahwa kita butuh pada seorang pemimpin yang adil, beberapa kosa kata yang ada seperti khalifah, Imam, amirul mukminin, ulil amri, kurang lebih merupakan kosa kata yang bermakna seorang pemimpin, pimpinan, dan semacamnya.

Keberadaan seorang pemimpin zalim sangat mudah ditemui diberbagai negara, bupati, lurah, presiden, panglima, komandan, camat, dll yang melakukan korupsi, kolusi, nepotisme selama memangku jabatan. Merespon hal ini, masyarakat tanpa diajari, sepakat dan memusuhi sikap tidak adil ini, dan sesuai fitrah mereka, kerinduan akan seorang pemimpin adil yang bertanggungjawab dan mumpuni pun menguat dalam sanubari. Ya, mereka merindukan seorang pemimpin adil, pemimpin tidak zalim.

Ayat (قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا) memberitahukan bahwa keberadaan Imam bagi manusia adalah keharusan. Manusia butuh kepada seorang Imam, entah mereka sadari atau tidak, entah mereka akui atau mereka ingkari, ketika sekelompok orang bepergian pasti salah satu darinya didaulat sebagai pemimpin, dalam suatu kampung, desa, dusun, di kawasan terpelosok sekalipun mereka pasti satu orang yang dijadikan sebagai pimpinan. Ini adalah bukti bahwa kepemimpinan adalah masalah fitrah. Kebutuhan ini sudah dititipkan Allah dalam diri sanubari manusia.

Terkait masalah kepemimpinan, ini juga kembali kepada kemahabijakan Allah swt, Allah yang bijak Allah yang karim, setelah menitipkan cinta pada pemimpin yang adil, Allah juga mengutus para Nabi as, manusia-manusia pilihan, selain itu juga memilih para Imam, walau memang kadang ada juga Nabi yang juga merupakan seorang Imam, dan dalam ayat-ayat seputar Nabi Ibrahim as, kita paham bahwa kedudukan seorang Imam lebih tinggi dibanding kedudukan kenabian. Buktinya Nabi Ibrahim, beliau sebagai seorang Nabi diuji dulu dalam beberapa ujian lalu beliau baru memperoleh kehormatan, me

Kalimat (قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا) menunjukkan kepada kita bahwa yang menjadikan manusia sebagai seorang Imam adalah Allah sendiri, Allah berfirman sesungguhnya Aku yang menjadikan kamu sebagai seorang Imam, oleh karena itu tidak dibatasi hanya karena menjadi keturunan Nabi Ibrahim lalu pasti bisa menjadi Imam. Diayat ini juga dijelaskan adanya sebuah syarat, syarat utama adalah keturunan Nabi Ibrahim as tersebut harus bukan orang zalim, jika zalim maka tidak mungkin bisa menjadi Imam.

Dapat dipahami disini, manusia sejak jaman Nabi Adam as, sampai akhir jaman, tidak akan bisa memilih imam untuk menjadi imam mereka, baik dipilih perorangan, dipilih melalui pemilihan umum, dipilih melalui musyawarah atau dengan cara apapun, semua itu tidak bisa melegalisir keabsahan seorang Imam, inilah penekanan ayat ini,

Orang yang tidak berbuat zalim, yang dipastikan berbuat adil adalah orang maksum, mereka yang dengan adanya banyak fasilitas yang ada, dengan leluasa berbuat menuruti hawa nafsu, dengan musah untuk berbuat dosa namun, secara merdeka sesuai ikhitar mandiri, mereka memilih untuk tetap taat kepada Allah swt.

Ayat yang berbuyi “Sesungguhnya Aku menjadikan kamu menjadi Imam bagi umat manusia”, adalah pelajaran bagi segenap umat manusia sehingga, mereka tidak perlu lagi patungan mengumpulkan dana untuk memilih salah satu manusia menjadi seorang imam. Yang berhak melantik manusia jadi imam atau tidak itu adalah prifasi Tuhan. Siapapun tidak ada yang punya kewengangan dalam hal ini kecuali Dia.

Kata Amirul mu’minin, amirnya orang-orang beriman, pimpinan orang beriman, disini Imam sebagai pimpinan segenap umat manusia dan jin, dia harus memiliki keimanan paling tinggi, dan ini sangat relevan dengan kasus nabi Ibrahim as, beliau sebelum menjadi seorang Imam diuji terlebih dulu dengan berbagai cobaan berat, ujian ini tidak lain adalah untuk menguji tingkat keimanan Nabi Ibrahim as. (وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ)

Jadi Imam haruslah orang paling beriman kepada Allah swt dijamannya. Dan ini berarti benar, bahwa manusia tidak bisa turut campur, karena manusia tidak bisa mengukur kadar keimanan manusia yang lain, dan keimanan seseorang tidak bisa diukur dengan parameter indrawi, keimanan kepada Allah swt hanya Allah swt yang mengetahuinya. Ini juga menjadi bantahan bahwa imam bisa dipilih melalui musyawarah, musyawarah tidak bisa menjadi alat untuk mengetahui atau apalagi untuk membandingkan keimanan manusia satu dengan yang lain, jelas ini lebih mustahil. Ini jelas-jelas sudah bisa kita raba dari “Sesungguhnya Aku menjadikan kamu menjadi Imam bagi umat manusia”, ya, Allahlah yang memilihkan manusia Imam bagi mereka, bukan manusia memilih sendiri Imam bagi diri mereka, dengan musyawarah, penunjukan, pemilihan secara minoritas, pemilu atau lainnya.

Khalifatullah, khalifahnya Allah, kata ini akan sangat tepat ketika sandangkan kepada orang yang telah tuntas dalam sisi kemanusiaannya, manusia sempurna, insan kamil, orang yang memiliki kedudukan ruhani tertinggi. Dan hal ini akan membawa pada pembahasan kita sebelumnya, kedudukan tertinggi ini perlu didahului dengan ujian dan percobaan, ketika lulus dengan sukses maka dia akan menempati kedudukan ini. Khalifahnya Allah semestinya memiliki sifat-sifat Allah, memiliki akhlak agung, memiliki sifat pengasih dan penyayang kepada umat manusia, memiliki keilmuan yang paling tinggi dibanding umat manusia yang lain, punya ilmu termasuk didalamnya dia tidak pernah ketinggalan jaman, memiliki keberanian, yang ditakuti hanya Allah swt. Tidak tamak terhadap harta dunia maupun wanita, tidak rakus terhadap kekuasaan, dan bertanggungjawab menjaga amanah kekuasaan yang dia miliki, jadi tidak mungkin melakukan korupsi, kolusi maupun nepotisme, apalagi ketika salah satu syarat dari Imam adalah harus maksum, mampu menjaga diri dari berbuat dosa.