Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Menalar Keharusan Adanya Nabi dan Wahyu

0 Pendapat 00.0 / 5

Oleh: Tim Al-Balagh

Pembahasan kita kali ini adalah di samping mengurai keniscayaan pengutusan nabi juga menalar pesan-pesan langit yang dibawa oleh para duta Ilahi ini. Pada kesempatan yang lalu, bagian pertama dari sistematika pembahasan “Kenabian” ini, kita telah, kurang-lebihnya, mengetahui secara global ihwal adanya piranti lunak selain indra, akal dan intuisi, yaitu keharusan pengutusan nabi setelah penetapan keberadaan Tuhan, penciptaan manusia yang dibekali oleh Tuhan, karena tuntutan rahmat-Nya, dengan duta langit yang berperan melenggangkan jalan manusia menapaki kesempurnaan insaniah.

Andaikan saja, manusia pada zaman sekarang ini telah mampu merumuskan sebuah sistem perundang-undangan yang sempurna dan komprehensif melalui pengalaman selama ribuan tahun, dan sistem ini sanggup menjamin kebahagiaan yang abadi dan ukhrawi, maka pertanyaan yang masih menghadang umat manusia ialah; apakah Kebijaksanaan Allah dan tujuan Ilahi penciptaan mereka akan membiarkan milyaran manusia jaman dahulu tetap dalam kebodohan?

Kesimpulannya, bahwa tujuan penciptaan manusia, sejak awal hingga akhir, akan terwujud secara nyata bila tersedia perangkat selain indra dan akal untuk mengetahui hakekat kehidupan ini dan tugas-tugas yang sifatnya individu maupun kelompok. Perangkat itu tidak lain adalah nabi dan wahyu Ilahi.



Mengapa Nabi Perlu Diutus?

Masalah ini merupakan masalah yang paling penting dalam prinsip Kenabian. Masalah mengapa nabi perlu di utus kepada manusia ini dapat dibuktikan oleh argumentasi berikut ini yang tersusun dari tiga premis.

Pertama, bahwa tujuan penciptaan manusia ialah mencapai kesempurnaannya, dengan cara mengamalkan perbuatan-perbuatan pilihannya (ikhtiari) demi mencapai puncak kesempurnaan tersebut yang tidak mungkin dapat dicapai kecuali dengan usaha, kehendak, dan pilihannya. Dengan ungkapan lain, manusia itu diciptakan oleh Allah Swt. agar –dengan amal ibadah dan ketaatannya kepada Allah– berhak memperoleh rahmat Ilahi yang hanya dikhususkan bagi orang-orang yang sempurna. Dan hanya kehendak Ilahi yang bijaksanalah yang berkaitan secara langsung (bil-asalah) dengan kesempurnaan dan kebahagiaan manusia. Akan tetapi, karena kesempurnaan ini tidak akan dapat dicapai kecuali dengan cara pengamalan dan ibadah yang sifatnya ikhtiari (pilihan), maka kehidupan umat manusia ini terpecah menjadi dua jalan, yaitu jalan kanan (yamin) dan jalan kiri (yasir). Tujuan adanya dua jalan ini ialah supaya manusia bisa memilih jalan yang dikehendakinya. Jelas bahwa jalan kiri itu menuju kesengsaraan dan bencana. Di sini, kehendak Allah pun berkaitan dengan jalan kiri tersebut, namun secara tidak langsung (bittaba’). Premis ini telah dijelaskan pada pembahasan Hikmah dan Keadilan Ilahi.

Kedua, usaha sengaja manusia itu, di samping membutuhkan kemampuan dan tersedianya faktor-faktor eksternal serta adanya kecondongan dan motivasi internal untuk melakukan suatu perbuatan, ia juga membutuhkan pengetahuan yang benar tentang perbuatan baik dan buruk, tentang jalan-jalan yang benar dan jalan-jalan yang salah. Seseorang bisa memilih kesempurnaannya dengan penuh kesadaran dan kebebasan bilamana ia mengetahui tujuan dan jalannya serta segala kendala yang akan menghambatnya.

Dengan demikian, Kebijaksanan (hikmah) Ilahi menuntut tersedianya sarana bagi manusia agar mereka dapat memperoleh pengetahuan tentang hal-hal di atas. Karena jika tidak demikian, Allah tidak ubahnya dengan orang yang mengundang teman untuk bertamu ke rumahnya, akan tetapi dia tidak mau memberikan alamat rumah, tidak pula memberitahu jalan yang semestinya ditempuh. Jelas bahwa perbuatan semacam ini tidak sesuai dan bertentangan dengan sifat kemahabijaksanaan Allah, juga tidak sesuai dengan tujuan-Nya (dalam mencipta). Premis kedua ini begitu jelas sehinga tidak memerlukan penjelasan lebih banyak lagi.

Ketiga, pengetahuan manusia biasa -yang pada umumnya diperoleh melalui kerjasama indra dan akal- meskipun mempunyai peran begitu efektif dalam memenuhi sebagian kebutuhan hidupnya, namun itu tidak cukup untuk mengenal jalan kesempurnaan dan kebahagiannya yang hakiki dalam semua bidang, baik yang bersifat individu maupun kelompok, bendawi maupun maknawi, duniawi maupun ukhrawi. Oleh karena itu, jika tidak ada jalan lain untuk menutupi berbagai kekurangan dan kekosongan tersebut, tujuan Allah dari penciptaan manusia ini menjadi sia-sia.

Berdasarkan tiga premis di atas ini, dapat disimpulkan bahwa Hikmah Ilahiyah itu melazimkan adanya sebuah perangkat, selain indra dan akal, bagi umat manusia untuk dapat mengenal jalan kesempurnaan di berbagai bidang, sehingga mereka dapat menggunakan jalan tersebut, baik secara langsung maupun melalui individu atau kelompok. Perangkat ini adalah wahyu yang Allah berikan kepada para nabi agar mereka dapat memanfaatkan wahyu tersebut secara langsung, sedangkan selain mereka dapat menggunakan dan memanfaatkan wahyu tersebut dengan perantara para nabi tersebut, hingga mereka dapat mempelajari segala apa yang mereka perlukan dari wahyu tersebut demi mencapai puncak kesempurnaan dan kebahagiaan yang abadi.

Di antara premis-premis tersebut, barangkali masih terdapat keraguan terutama terhadap premis terakhir. Oleh karena itu, kami memandang perlu untuk menjelaskannya lebih luas lagi hingga kita bisa menyadari kadar pengetahuan manusia dalam menentukan jalan kesempurnaannya dan ketergantungan manusia kepada wahyu.



Kadar Pengetahuan Manusia

Untuk mengetahui jalan kehidupan yang benar pada semua aspeknya, seseorang harus mengetahui asal usul keberadaannya dan akhir perjalanan hidupnya, hubungannya yang bisa dijalin dengan makhluk sejenisnya dan dengan semua makhluk, serta pengaruh berbagai hubungan terhadap kebahagiaan dan kesengsaraannya. Di samping itu, dia pun harus mengetahui kadar manfaat dan bahaya, tingkat berbagai maslahat dan mudharat, serta menimbang semua itu agar ia dapat menentukan tugas milyaran manusia yang mempunyai bentuk fisik dan jiwa yang berbeda-beda. Mereka semua hidup di dalam kondisi alam dan sosial yang berbeda-beda.

Akan tetapi, mengetahui semua persoalan ini bukan hanya sulit bagi individu atau kelompok, bahkan ribuan ahli dan kelompok spesialis dari berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia pun menemui kesulitan dalam menyingkap tolok ukur dan formula rumit ini. Mereka juga sulit untuk merumuskannya dalam bentuk undang-undang yang cermat, tepat dan tegas agar semua maslahat -baik yang bersifat individu maupun kelompok, materi maupun maknawi, duniawi ataupun ukhrawi- dapat terpenuhi bagi semua umat manusia. Tatkala terjadi benturan dan pertentangan antara berbagai maslahat dan mafsadah, dan hal ini justru seringkali terjadi, dia dapat menentukan mana yang memang lebih bermaslahat, sehingga pada tahapan praktis ia dapat mendahulukannya di atas yang lain.

Kalau kita perhatikan dengan seksama berbagai perubahan sistem hukum sepanjang sejarah umat manusia, nyatanya sampai hari ini –meskipun berbagai pembahasan dan segala tenaga telah dikerahkan oleh para ahli hukum selama ribuah tahun– belum kita dapati adanya satu sistem hukum yang benar, sempurna dan komprehensif. Kita perhatikan pula bahwa para perancang undang-undang dan lembaga-lembaga hukum di berbagai belahan dunia senantiasa mengakui kekurangan produk hukum yang mereka buat. Maka itu, mereka selalu berusaha untuk merevisi atau menyempurnakannya, dengan cara menghapus pasalnya, atau menambahkannya, atau memberikan catatan di sisinya.

Hendaknya kita pun tidak lalai bahwa mereka banyak memanfaatkan syariat samawi dan sistem hukum agama dalam menyusun undang-undang tersebut. Juga kita ketahui bahwa kesungguhan para pembuat undang-undang itu lebih banyak dicurahkan untuk kepentingan yang sifatnya duniawi dan sosial. Mereka tidak memperhatikan masalah-masalah ukhrawi dan sejauh mana hubungan maslahat ukhrawi tersebut dengan masalah-masalah duniawi.

Apabila mereka juga menganggap penting sisi ukhrawi di dalam masalah ini, mereka tidak akan mampu menemukan kesimpulan yang meyakinkan. Karena, maslahat-maslahat yang bersifat materi dan duniawi –pada batas-batas tertentu– meski bisa dicapai dengan jalan eksperimen dan pengalaman praktis, namun maslahat-maslahat maknawi dan ukhrawi tidak bisa dipastikan melalui eksprimen indrawi, dan tidak mungkin dapat diketahui secara detail. Maka itu, ketika terjadi benturan antara maslahat-maslahat duniawi dan ukhrawi, mereka tidak dapat mengetahui mana yang lebih penting.

Dengan memperhatikan ihwal perundangan-undangan buatan manusia pada zaman sekarang ini, kita dapat menilai kehandalan ilmu pengetahuan manusia di sepanjang ribuan atau ratusan ribu tahun. Darinya kita menjumpai satu kesimpulan yang meyakinkan bahwa manusia pada abad-abad dahulu lebih lemah dibandingkan dengan manusia pada zaman sekarang ini dalam mengetahui dan menentukan tatanan dan cara hidup yang benar.

Andaikan saja, manusia pada zaman sekarang ini telah mampu merumuskan sebuah sistem perundang-undangan yang sempurna dan komprehensif melalui pengalaman selama ribuan tahun, dan sistem ini sanggup menjamin kebahagiaan yang abadi dan ukhrawi, maka pertanyaan yang masih menghadang umat manusia ialah; apakah Kebijaksanaan Allah dan tujuan Ilahi penciptaan mereka akan membiarkan milyaran manusia jaman dahulu tetap dalam kebodohan?

Kesimpulannya, bahwa tujuan penciptaan manusia, sejak awal hingga akhir, akan terwujud secara nyata bila tersedia perangkat selain indra dan akal untuk mengetahui hakekat kehidupan ini dan tugas-tugas yang sifatnya individu maupun kelompok. Perangkat itu tidak lain adalah wahyu Ilahi.

Dari penjelasan di atas, menjadi jelas pula bahwa sesuai dengan argumen ini, manusia pertama itu adalah seorang nabi hingga ia dapat mengenal jalan hidup yang benar melalui wahyu Allah agar dapat merealisasikan tujuan penciptaan Ilahi dalam dirinya. Setelah itu, umat manusia yang lainnya dapat menemukan jalan petunjuk melaluinya.