Jelang Ramadhan: Tradisi Munggahan dalam Masyarakat Sunda
Jika dalam komunitas Jawa terdapat tradisi “Megengan” atau “Nyadran”, maka untuk menyambut bulan puasa masyarakat Sunda juga memiliki tradisi serupa yang disebut “Munggahan”. Apa itu Munggahan?
Umumnya masyarakat di tatar Pasundan mengadakan tradisi munggahan bersama keluarga mereka, baik yang menetap di desa maupun di kota.
Secara bahasa munggahan berarti naik ke tempat yang lebih tinggi. Hal ini disimbolkan berupa kebiasaan masyarakat Sunda mengajak seluruh anggota keluarga berpersiran ke dataran tinggi seperti Curug, tempat pemandian di lereng gunung, dan lain-lain.
Munggahan sendiri berasal dari bentuk relasi sosial masyarakat Sunda yang terstruktur dari kelompok atas (Hinggil) sampai kelompok bawah (handap).
Kelompok atas merupakan generasi pambajeng (anak pertama dan kedua) yang menetap di wilayah dalam. Sedangkan kelompok bawah adalah generasi anak bungsu atau kakak bungsu yang memilih merantau atau menetap di luar kampung.
Kelompok atas memiliki peran penting untuk menjaga kelangsungan orisinilitas budaya leluhur. Mereka ini yang sering dikonotasikan sebagai kelompok Brahmana dan ksatria dalam pendekatan Hinduisme.
Peran mereka menjaga kelangsungan orisinilitas budaya leluhur dianggap memiliki kedekatan dan dapat berkomunikasi melalui bahasa halus dan tinggi dengan Tuhan maupun ruh leluhur.
Sementara kelompok bawah yang memilih merantau dan menetap di luar kampung berperan untuk mengembangkan ekonomi, sosial, dan politik bersama komunitas lain yang juga keluar kampung. Mereka ini yang diidentifikasi menurut strata sosial Hinduisme sebagai kelompok waisha dan sudra.
Posisi mereka yang tak lagi berada dalam pusat peradaban asli, — sekalipun sebetulnya lebih kosmopolitan, menjadikan mereka dianggap berjarak dengan Tuhan. Karenanya kelompok bawah tak dapat berkomunikasi langsung dengan Tuhan maupun ruh leluhur sehingga perlu dimediasi oleh kelompok atas (hinggil).
Di bulan Rowah (Sya’ban) yang diyakini menjadi moment berkumpulnya ruh para leluhur, dipandang penting bertemunya seluruh anggota keluarga dari kelompok Hinggil maupun kelompok Handap. Terutama kelompok Handap perlu naik (munggahan) dengan cara merapat kepada kelompok Hinggil agar dapat berkomunikasi dengan ruh leluhur.
Itulah asal-usul tradisi munggahan pada mulanya terbentuk dalam komunitas Sunda. Dalam perkembangannya seiring perjalanan waktu, sesudah Islam masuk di dataran Sunda, tradisi munggahan pun mengalami perubahan dan penyesuaian.
Bulan Ruwah atau Sya’ban yang jatuh menjelang puasa dimaknai sebagai momentum merajut kekeluargaan dan kekerabatan. Sebelum mereka bersama-sama menjalankan puasa Ramadhan seluruh anggota keluarga berkumpul di kediaman keluarga yang paling tua; biasanya mereka menetap di daerah tinggi.
Dalam momen kekeluargaan inilah, mereka mayor dan ngariung (makan dan kumpul) bersama. Terlebih dahulu mereka berziarah ke malam-malam leluhur mereka. Sesudah itu mereka menuju tempat rekreasi seperti Curug, taman gunung, kolam pemandian, yang diakhiri dengan makan bareng keluarga.
Itulah etos kekerabatan dan kebersamaan dalam tradisi munggahan masyarakat Sunda.