Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Tak Bolehkah Debat dalam Agama?

1 Pendapat 05.0 / 5

Penulis kitab “al-Ihtijaj”, Abu Manshur ath-Thabrasi (ulama abad VI), membawakan sebuah riwayat dari Imam Hasan Askari as tentang hukum perdebatan dalam agama. Pasalnya, dikatakan bahwa perdebatan itu telah dilarang oleh Rasulullah saw dan para imam as. Kemudian Imam Shadiq as menjelaskan bahwa: “Perdebatan tidak dilarang secara mutlak! Tetapi, yang dilarang adalah perdebatan dengan selain cara yang paling baik.”
Beliau mengatakan: “Tidakkah kamu mendengar QS: al-Ankabut 46 dan an-Nahl 125, Allah swt berfirman:
وَلا تُجادِلُوا أَهْلَ الْكِتابِ إِلاَّ بِالَّتي‏ هِيَ أَحْسَنُ
“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik..”
ادْعُ إِلى‏ سَبيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَ الْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَ جادِلْهُمْ بِالَّتي‏ هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik.”
Imam kemudian menyebut ulama bahwa mereka telah mengkaitkan perdebatan dengan cara yang paling baik ini dengan agama. Sedangkan perdebatan dengan cara selain itu diharamkan oleh Allah swt bagi para pengikut Ahlulbait as. Tidaklah mungkin semua macam perdebatan diharamkan oleh Allah, sementara Dia berfirman dalam QS: al-Baqarah 111:
وَ قَالُوْا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ كَانَ هُوْدًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوْا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ
“Dan mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata, “Sekali-kali tidak akan pernah masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.” Demikian itu (hanyalah) angan-angan kosong mereka belaka. Katakanlah, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar.”
Allah telah menjadikan ilmu kebenaran dan keimanan itu dengan burhan (argumentasi). Akankah dibawakan sebuah burhan selain dengan perdebatan dengan cara yang paling baik?
 
Perbedaan Antara Jidal bil Lati Hiya Ahsan dan Jidal bi Ghairil Lati Hiya Ahsan
Imam Shadiq as ditanya, “Wahai putra Rasulullah, apakah (yang dimaksud) “jidal bil lati hiya ahsan (perdebatan dengan cara yang paling baik) dan jidal bi ghairil lati hiya ahsan (perdebatan dengan cara selain yang paling baik)?”
Dalam menjawab soal tersebut beliau memulai penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan jidal bi ghairil lati hiya ahsan (perdebatan dengan cara selain yang paling baik). Ialah bahwa: “Kamu mendebat pihak yang batil dengan cara itu, lalu dia membantahmu (bahwa apa yang kamu katakan itu) sebuah kebatilan. Kamu tidak dapat membalas dia dengan hujjah yang telah Allah tetapkan, malah kamu menyangkal perkataannya atau menyangkal sebuah kebenaran.
Dengan demikian itu dia hendak menguatkan kebatilan (yang dibela)nya. Tetapi kamu menyangkal kebenaran itu, karena merasa khawatir dia mempunyai hujjah (dalil yang kuat) atasmu mengenai itu. Lantaran kamu tidak mengetahui cara untuk bisa lepas darinya. Hal demikian adalah haram bagi para pengikut kami membuat fitnah atas saudara-saudara mereka yang lemah dan atas kaum pemihak batil.
Sementara kaum pemihak batil memanfaatkan kelemahan seorang yang lemah (bodoh) dari kalian ketika ia melakukan perdebatan, dan kelemahan yang ada padanya menjadi hujjah (dalil) atas kebatilannya. Lalu orang-orang yang lemah dari kalian, hati mereka menjadi miris melihat kelemahan si pemihak kebenaran berada di tangan si pemihak kebatilan.
Adapun (yang dimaksud) jidal bil lati hiya ahsan (perdebatan dengan cara yang paling baik) ialah apa yang Allah perintahkan kepada Nabi-Nya, agar ia mendebat dengan cara itu orang yang mengingkari hal dibangkitkan setelah kematian dan hal Dia akan menghidupkan orang mati.
 
Sebuah Contoh Jidal bil Lati Hiya Ahsan
Dalam QS: Yasin 78-80 Allah swt berfirman kepada Rasulullah saw: “Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?” Katakanlah, “Tulang belulang itu akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk, yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu menyalakan (api) dari kayu itu.”
Allah menghendaki Nabi-Nya agar mendebat si pemihak batil yang mengatakan: “Mana bisa Dia membangkitkan tulang belulang ini yang sudah hancur lebur?” Maka, Allah swt berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad), “Tulang belulang itu akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama.”
Jadi, lemahkah Dia yang memulai penciptaan tanpa dari sesuatupun, mengembalikannya setelah hancur? (Tidak!) Tetapi hal memulainya itu lebih sulit bagi kalian daripada mengembalikannya. Lalu Allah berfirman:
“Yaitu, Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu menyalakan (api) dari kayu itu.” Yakni, bila Dia menyimpan api yang panas di dalam pohon hijau yang basah kemudian mengeluarkan api itu, Dia memberitahu kamu bahwa Dia sangat kuasa atas mengembalikan sesuatu yang telah hancur. Kemudian berfirman:
“Dan tidakkah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan kembali (manusia yang telah hancur menjadi tanah itu) menjadi makhluk seperti mereka? Benar, Dia berkuasa. Dan Dia-lah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui.” (QS: Yasin 81)
Yakni, apabila menciptakan langit dan bumi sangatlah agung dan jauh di luar perkiraan dan kemampuan kalian menurut perkiraan kalian daripada mengembalikan sesuatu yang  hancur, maka bagaimana kalian bisa membenarkan penciptaan (ciptaan) yang sangat menakjubkan dan teramat sulit bagi kalian, tetapi kalian tidak membenarkan perkara yang lebih mudah bagi kalian berupa mengembalikan sesuatu yang hancur?”
 
Referensi:
-Al-Ihtijaj juz 1