Ngaji Rumi: Puasa sebagai Jamuan Rohani
Ramadan telah tiba dan kita sambut hari raya/Gembok itu telah hadir bersama kuncinya/Saat mulut terkunci, terbukalah penglihatan/Lalu cahaya memancar dalam diri kita/Ramadan tiba tuk berkhidmat pada hati/Dan bersama kita Sang penawar hati (Rumi, Divan-e Shams, puisi ke-370)
Sungguh indah larik-larik puisi yang mengekspresikan kebahagiaan Rumi menyambut datangnya bulan Ramadan. Meskipun dalam tradisi sufistik, puasa telah menjadi keseharian bagi seorang mursyid maupun murid. Namun, kehadiran bulan Ramadan tetap memiliki tempat tersendiri. Dalam puisi tersebut, Rumi seolah berbicara kepada para pembacanya untuk memberikan perhatian khusus terhadap ibadah puasa.
Sebelum membahas lebih jauh bagaimana Maulana Rumi memaknai puasa, ada baiknya mengintip beberapa ungkapan dan perumpamaan puasa dalam syair-syair Rumi.
Di antara ungkapan yang kerap digunakan Rumi untuk menggambarkan puasa adalah Band-e dahan atau penutup mulut. Karena dengan berpuasa, kita tidak hanya menjaga mulut dari makan dan minum, tapi juga mengontrol pembicaraan kita agar tidak menyakiti orang lain. Seperti: berkata kasar, menggunjing, berbohong, memfitnah, dan sebagainya. (Divan-e Shams, puisi ke 634)
Di lain waktu, Rumi juga menyebut puasa sebagai Atash atau api. Karena dengan berpuasa nafsu dan keinginan duniawi kita akan terbakar. (Divan-e Shams, puisi ke 1084). Atau Rumi juga pernah mengilustrasikan puasa sebagai kendi yang menampung air jernih. Jika mengabaikan ibadah puasa, kita seperti memecahkan kendi yang dipenuhi air. Sehingga kita akan kehilangan sesuatu yang paling berharga bagi kehidupan. (Rubai, puisi ke 1642)
Dan yang lebih menarik, Rumi juga beberapa kali memberikan perumpamaan puasa dengan kata Madar atau Ibu. Seorang Ibu penyayang yang mendidik manusia. Karena, selama kita mengikuti prosesi berpuasa dengan benar, kita tidak akan tersesat. Sebagaimana anak-anak yang selalu berada dalam genggaman ibunya, tidak akan terpisah dan hilang. (Divan-e Shams, puisi ke 2375)
Masih banyak lagi metafora yang digunakan Rumi untuk menggambarkan betapa pentingnya berpuasa. Dari banyak penyair klasik Persia lainnya, agaknya Rumi memang cukup banyak memberikan perhatian pada masalah puasa, baik dalam kitab Matsnawi maupun Divan-e Shams. Spektrum pembahasannya pun cukup luas.
Di salah satu puisinya, Rumi menyebutkan: Berpuasalah dengan segenap jiwa, karena puasa adalah raja dari segala obat (Matsnawi, jilid 5, bait 2832).
Dalam puisi lainnya, Rumi juga menjelaskan: Meski nafsu manusia itu sekuat Rustam (tokoh kepahlawanan tertinggi dalam mitologi Persia), tapi puasa mampu menaklukannya.
Melalui dua puisi di atas, Rumi menyebutkan pengaruh puasa secara medis maupun psikologis. Tentu saja, belakangan topik serupa telah banyak ditulis dan dijelaskan oleh para pakar di bidangnya.
Rumi mengajak kita untuk melangkah lebih jauh, memaknai puasa secara transendental. Dengan menggunakan redaksi yang berbeda-beda, Rumi memandang puasa sebagai “jamuan rohani”. Yaitu, asupan gizi yang sangat dibutuhkan jiwa manusia untuk menajamkan spiritualitasnya. Inilah puasa sebenarnya, bukan hanya sekedar tidak makan dan minum.
Ungkapan “jamuan rohani” ini dalam syair-syair Rumi digambarkan dengan berbagai diksi lain seperti: jamuan rahasia, hidangan langit, atau juga perhiasan berharga.
Saat mulut ini tertutup, mulut lainnya akan terbuka
Tuk bersiap menerima jamuan rahasia
(Matsnawi, jilid 3, bait 3747)
Tahanlah bibirmu dari makan dan minum
Bergegaslah menyambut hidangan langit
(Matsnawi, jilid 5, bait 1730)
Ketika kau kosongkan perutmu dari makanan
Maka ia akan dipenuhi oleh perhiasan berharga
(Matsnawi, jilid 1, bait 1639)
(Matsnawi, jilid 1, bait 1639)
Menurut Karim Zamani, salah seorang pensyarah terbaik Matsnawi, pandangan Rumi ini berangkat dari penafsirannya terhadap Alquran surat Adh-Dhariyat (51) ayat 22: “Dan di langit terdapat rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu”. Sebagian besar ahli tafsir menjelaskan, maksud rezeki di sini adalah sebab-sebab datangnya rezeki. Tetapi, Rumi memiliki penafsiran yang berbeda. Menurut Rumi, yang dimaksud rezeki di dalam ayat tersebut adalah jamuan rohani.
Puasa dengan pemaknaan inilah yang akan memberikan output berharga. Tidak hanya perbaikan perilaku orang yang berpuasa, juga melahirkan empati sosial yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi, Rumi sendiri berpesan, memang tidak mudah untuk benar-benar bisa menerima “jamuan rohani” ini.
Ia mengilustrasikan, orang yang berpuasa seperti perjalanan Nabi Yusuf saat berada di sumur yang gelap. Tapi, kesulitan itu akan berbuah manis, jika dihadapi dengan penuh kesabaran.
Meski ragamu kan memucat sebab puasa
Namun jiwamu kan melembut bagai sutra
Doa-doa di bulan ini mustajab
Pintu-pintu langit kan terbuka
Yusuf menjadi pemimpin Mesir yang dicintai
Sebab ia bersabar dalam sumur gelap tak terperi
(Rumi, Divan-e Shams, puisi 2344)