Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Sayidah Fatimah Harus Diagungkan dan Diteladani

1 Pendapat 05.0 / 5

Jika ulama besar seperti Imam Khomeini mengaku qâshir (tak mampu) berbicara tentang Sayidah Fatimah, penulis juga ingin mengatakan tak mampu berbicara tentang Imam Khomeini. Siapa-di mana Imam Khomeini dan siapa-di mana Saya bila berbicara tentang beliau seakan Saya mengenal beliau. Ada nilai-nilai yang layak dikaji soal pengakuan beliau itu.
Penulis percaya bahwa apa yang Imam Khomeini katakan itu benar adanya, tidak dalam arti tawadu, apalagi basa-basi. Tetapi satu hal yang kita ketahui, ialah bahwa kaum Syiah berdasarkan ayat at-Tathhir (QS: al-Ahzab 33) meyakini Sayidah Fatimah seorang yang ma’shum. Siapapun yang tak tercakup dalam ayat suci itu (terkecuali para nabi, Sayidah Maryam dan lainnya) sekalipun dikenal suci, tak dapat dibandingkan dengan manusia-manusia pilihan Allah yang Dia kukuhkan ebagai para ma’shum.
Satu makna yang dapat disampaikan di sini terkait pengakuan Imam Khomeini tersebut, ialah bahwa seorang alim yang berma’rifat seperti beliau, semakin dalam dan luas ilmunya semakin merasa banyak sesuatu yang tidak ia tahu.
Syiah berdasarkan hadis ats-Tsaqalain dan lainnya, memandang bahwa Sayidah Fatimah adalah manusia Alquran, atau yang mereka sebut dengan “Quran Nâthiq” (Alquran yang berbicara). Sebagaimana kitab suci Alquran yang terkandung di dalamnya ketinggian, keluasan dan kedalaman ilmu, dan hanya Allah dan Rasul-Nya (saw) yang tahu. Sayidah Fatimah pun demikian, sama dengan Alquran. Maka tak heran bila ulama Syiah ketika berbicara tentang Penghulu kaum wanita seluruh alam ini, mereka mengatakan, “Fatimah adalah Fatimah.” Titik.
 
Puncak Keutamaan Fatimah Zahra as
Imam Khomeini kemudian mengatakan: “Saya cukupkan satu riwayat mengenai beliau, yang terdapat di dalam al-Kafi dengan sanad (kesahihannya) yang diakui, ialah bahwa Imam Shadiq berkata: “Fatimah –salamullah ‘alaiha– hidup selama 75 hari sepeninggal ayahnya (saw) dalam diliputi dukacita yang mendalam. Jibril al-Amin datang dan menyampaikan turut berduka kepadanya.”
Lalu Imam memberi penjelasan bahwa yang tampak pada riwayat ini, dalam tujuhpuluh lima hari (sisa hidup Sayidah Fatimah) tersebut artinya malaikat Jibril kerap sekali datang menjenguk putri Nabi Agung saw ini. Beliau mengatakan: “Masalah kedatangan Jibril pada seseorang bukanlah perkara sederhana. Tak terbayang, bagaimana Jibril bisa datang kepada seseorang. Meskipun tidak mustahil, harus ada keselarasan antara jiwa seorang yang Jibril datangi dan posisi Jibril sebagai ruh yang agung.”
Penulis melihat sebuah penekanan dari penjelasan beliau, yaitu banyaknya kedatangan Jibril kepada Sayidah Fatimah pada hari-hari akhir hayatnya di dunia. Dalam hemat beliau, para nabi dan imam as tidak sedemikian itu malaikat Jibril datang kepada mereka. Tetapi untuk Sayidah Fatimah -salamullah ‘alaiha, Jibril banyak datang kepadanya dalam tujuhpuluh lima hari itu. Dari sini Imam Khomeini kemudian menyimpulkan, inilah puncak keutamaan Fatimah Zahra di antara semua keutamaan yang beliau miliki.
 
Anjuran Meneladani Sayidah Fatimah
Imam Khamenei mengungkapkan (yang kira-kira maknanya demikian): “Sayidah Fatimah dalam usia muda yang singkat telah mencapai kedudukan-kedudukan spiritual, keilmuan dan kema’rifatan yang dicapai para nabi dan kekasih Allah (as).”
Sayidah Fatimah yang sangat dimuliakan ayahnya, Rasulullah saw, dan suaminya, Imam Ali as, serta para imam suci, penghormatan besar para kekasih pilihan Allah kepada beliau ini merupakan seruan praktis mereka bagi muslimin bagaimana semestinya memuliakan Sayidah Fatimah Zahra as. Namun demikian, beliau yang pernah hadir di dunia fana ini dan diperingati oleh para pecintanya, tak sekedar untuk diagungkan, tetapi untuk diteladani, dan tak hanya bagi kaum wanita, tetapi bagi seluruh umat manusia.
Imam Khamenei menyampaikan (demikian kira-kira maknanya): “Sayidah Fatimah harus dijadikan figur bagi seluruh muslimah dan diteladani dalam berfikir, berma’rifat, berjuang, bermasyarakat, berumah tangga, bersuami dan menjadi ibu yang mendidik anak-anaknya..
Pemahaman yang keliru tentang kepribadian wanita dari budaya-budaya non islami, yang mempengaruhi cara berfikir orang-orang Islam, menyeret pada kesimpulan bahwa Sayidah Zahra as tak lebih seorang putri Nabi saw dan ibu bagi para imam. Sehingga sisi “langit” yang sangat berperan dalam terbentuknya kehidupan dan kepribadian beliau, dan sifat-sifat keutamaannya tak diketahui untuk dapat diteladani oleh semua wanita bahkan seluruh manusia.”
 
Referensi:
Shahife-e Nur, juz 19, hal 278.