Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Nilai Anak Muda dan Tolok Ukur Pendidikannya

1 Pendapat 05.0 / 5

Nilai Masa Muda
Masa muda adalah sentra kekuatan di antara dua sisi kelemahan; -melewati- masa kecil dan –menuju- masa tua. Beranjak dari sisi bawah mencapai puncak “gunung”, yang kemudian pasti turun ke sisi bawah lainnya. Sebagaimana firman Allah:
Dan barangsiapa Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada awal kejadian(nya). (QS.Yasin 68)
tiga masa hidup manusia
Itu adalah tiga masa; kecil, muda dan tua di dalam kehidupan alami manusia, yang di dalam QS.Ar-Rum 54 diterangkan: “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”
Keistimewaan masa muda, bagai lampu yang terang benderang. Seperti wajah yang cerah ceria, berdaya tinggi, penuh semangat dan harapan, serta super aktif. Ia menjadi sumber daya yang mampu menghadapi rintangan dan tantangan terberat. Karenanya kekayaan alam di permukaan bumi tumbuh berkembang menghasilkan, dan (tambang) yang di perut bumi dapat dikeluarkan. Roda industri yang berat menjadi berputar. Tercipta bangunan-bangunan megah mencakar langit, dan karya-karya nyata lainnya yang membanggakan. Semua daya yang dimiliknya ini membawa harapan hakiki bagi setiap masyarakat untuk masa depan yang cerah.
 
Tolok Ukur Pendidikan Anak Muda
Agama mensifatinya bagian dari karunia besar dari Allah swt. Di dalam kehidupan manusia, anak muda itu sebuah aset besar. Imam Ali menerangkan: “Dua hal yang tak disadari keutamaannya kecuali setelah kehilangan keduanya; masa muda dan keadaan sehat.” (Ghurar al-Hikam, 449)
Karena itu, disabdakan oleh Rasulullah saw demikian (kira-kira maknanya): “Kelak di hari kiamat setiap hamba akan ditanya tentang umurnya dan masa mudanya yang telah dia lewati.” (Tarikh al-Ya’qubi, 59)
Karena itu pula, Luqman menasihati putranya: “Hai anakku, esok engkau akan ditanya di hadapan Allah swt tentang empat perkara; yang pertama, masa mudamu bagaimana engkau melewatinya…” (Al-Kafi, 2/135)
Dari keterangan di atas satu poin yang dapat ditarik di sini, yaitu bahwa masa muda diakui pada kenyataannya dan di dalam agama merupakan aset dan karunia besar bagi setiap manusia. Namun, lebih penting dari itu bagaimana seseorang melewatinya. Yakni, dalam memanfaatkannya. Masa muda sebagaimana karunia-karunia lainnya oleh sebagian orang dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, dan oleh sebagian lain disalah gunakan dalam kepentingan-kepentingan yang merugikan.
Hal itu diakui seorang penulis Barat di dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam Persia, “Ce Midanim”, yang mengatakan: “Kita harus bisa memanej kekuatan (masa muda) ini dan memanfaatkannya dengan sempurna..” Di penjelasan lainnya, dua poin yang dapat diangkat di sini:
1-Mengingkari atau mengabaikan nilai masa balig (masa muda) menyebabkan kehilangannya.
2-Mengagungkanya juga adalah salah besar, berakibat pada penyimpangan-penyimpangan.
Jadi, apa yang harus diperbuat ialah pemanfaatannya seperti sebuah daya motivator, model yang hidup dan program praktis, dengan sebaik mungkin.
Almarhum Syaikh Taqi Falsafi di dalam kitabnya, “asy-Syabab baina al-‘Aql wa al-‘Athifah”, menerangkan: “Nilai sejati masa muda dan peduli keadaannya –kebaikan dan keburukannya- adalah dua syarat mendasar bagi kebahagiaan anak muda, dan adalah jalan selamat untuk mengendalikan dayanya yang aktif..”
Menurut beliau, apa yang harus dilakukan seorang pendidik di tengah masyarakat ialah:
Pertama, sikap bijaksana atas rasa peduli terhadap anak muda, dan mengatasi kemampuan mereka dengan sebaik mungkin.
Kedua, memberikan perhatian terhadapnya dalam mengatasi kekurangan alami yang ada pada dirinya, dan menuntunnya ke arah peningkatan melalui bimbingan dan program yang positif, yang dapat mengatasi kecenderungan-kecenderungan serta sifat-sifat yang radikal di dalam dirinya.
Satu poin penting yang ingin beliau sampaikan setelah penjelasan tersebut, ialah bahwa ajaran Tuhan, syariat-Nya dan bimbingan bijak para pemuka Islam,  harus kita jadikan sebagai tolok ukur bagi semua keputusan dan penilaian kita. Dengan demikian agar kita:
-Tidak salah dalam menempatkan anak muda di posisi yang semestinya.
-Dalam memberikan keputusan, jauh dari ifrath-tafrith (hal melampaui batas dan penyimpangan).
-Kita tidak menjadi faktor dalam penyimpangan pada diri anak muda dan masyarakat terkait masalah anak muda.