Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Syaikh Abu Ja‘far Ath-Thusi, Pendiri Hauzah Najaf (385 – 460 H.)

0 Pendapat 00.0 / 5

Kelahiran

Ia adalah seorang faqih besar, muhaddis kenamaan, dan ilmuwan tersohor. Ia mendapat julukan Syaikhut Tha’ifah (Pembesar Mazhab Syi‘ah). Nama lengkapnya adalah Abu Ja‘far Muhammad bin Hasan bin Ali Ath-Thusi. Ia dilahirkan pada bulan Ramadhan 385 H. di kota Thus, Khurasan, salah satu kota besar di Iran.

Karier Ilmiah

Ia berhasil menamatkan tingkat permulaan pendidikan di tempat kelahirannya sendiri. Pada tahun 408 Hijriah, ketika usianya masih dua puluh delapan tahun, ia berhijrah ke Baghdad dan berdomisili di Irak hingga ia tutup usia. Setelah gurunya, Sayid Murtadha Alamulhuda meninggal dunia, tampuk kepemimpinan ilmiah dan fatwa mazhab Syi‘ah berpindah ke tangannya.

Ketenaran ilmu pengetahuan, kezuhudan, takwa Syaikh Thusi melampaui garis perbatasan Irak dan sampai ke seluruh penjuru dunia kala itu. Bahkan, ketenaran ini mampu menembus tembok-tembok kokoh istana kekhalifahan dinasti Bani Abbasiah. Hal ini menyebabkan Al-Qa’im bi Amrillah, salah seorang khalifah dari dinasti Bani Abbasiah—bekerja sama dengan dinasti Al Buyeh—sepenuhnya menyerahkan kursi pengajaran ilmu Teologi kepadanya. Pengajaran ilmu teologi ini—biasanya—dilaksanakan di pusat kekhalifahan pada masa itu.

Mereka sangat mengagungkan kursi yang satu ini, dan menyerahkan kursi tersebut kepada seorang ilmuwan negara yang paling agung dan tersohor. Penyerahan kursi tersebut kepada Syaikh Thusi mengindikasikan bahwa tidak ada ilmuwan lagi di seluruh penjuru Baghdad dan negara Islam yang memiliki kelayakan untuk mendudukinya.

Para Guru

Selama lima tahun, Syaikh Thusi menimba ilmu dari Syaikh Mufid. Karena kecerdasannya yang luar biasa, ia mendapatkan perhatian yang luar biasa dari gurunya itu. Atas dasar ini, ia selalu hidup bersamanya sehingga Syaikh Mufid meninggal dunia pada tahun 413 Hijriah.

Setelah Syaikh Mufid meninggal dunia, Sayid Murtadha, salah seorang murid kenamaannya betanggung jawab atas pendidikan Syaikh Thusi dan Syaikh Thusi pun menimba ilmu darinya selama waktu yang amat panjang. Karena Sayid Murtadha melihat kecerdasan dan kelayakan yang sempurna pada dirinya, ia memberikan perhatian yang sangat istimewa kepadanya dan memaksanya untuk memberikan kuliah di Baghdad. Sebagai imbalan, Sayid Murtadha memberikan tunjangan 12 Dinar per bulan, sebuah angka yang cukup besar pada masa itu. Setelah dua puluh tiga tahun Syaikh Mufid hidup bersama Sayid Murtadha, Sayid Murtadha harus berpisah dengannya lantaran ia wafat pada bulan Rabiulawal 436 H. di usia delapan puluh satu tahun.

Pada masa itu juga, Syaikh Mufid juga pernah menimba ilmu dari beberapa ulama besar, seperti Husain bin ‘Ubaidillah Al-Ghadha’iri, Ibn Junaid Al-Iskafi, dan Ahmad bin Musa yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Shalt Al-Ahwazi.

Para Murid

Seperti telah disinggung di atas, setelah Sayid Murtadha meninggal dunia, kepemimpinan mazhab Syi‘ah berpindah ke tangan Syaikh Thusi. Dengan demikian, rumahnya yang terletak di daerah Karkh, Baghdad menjadi tempat menimba ilmu pengetahuan dan selalu didatangi oleh ulama dan ilmuwan yang berdatangan dari berbagai penjuru dunia Islam pada masa itu.

Para murid Syaikh Thusi berjumlah tiga ratus orang, dan ratusan ulama dari pengikut mazhab Ahlusunah juga pernah menimba ilmu darinya.

Masa Kehidupan

Setelah dinasti Al Buyeh runtuh dan dinasti Saljuqi memerintah, kondisi kehidupan sosial masyarakat berubah secara drastis. Gangguan dan pembunuhan massal terhadap para pengikut mazhab Syi‘ah dimulai kembali. Karena tuntutan kondisi ini dan demi menjaga jiwa dan mazhab, mereka terpaksa harus menjalani kehidupan sehari-hari dengan bertaqiyah. Dengan penyerangan yang dilakukan oleh kaum fanatik terhadap kerajaan dan pemuda-pemuda brandalan terhadap barisan pengikut Syi‘ah yang sedang mengadakan acara aza’ atas syahadah Imam Husain as, pengadaan acara aza’ yang biasanya dilakukan oleh mereka berhenti total.

Dalam sebuah penyerangan yang terjadi di bawah komando Menteri Abdul Malik, sangat banyak pengikut mazhab Syi‘ah yang terbantai dan tidak sedikit rumah penduduk, toko, pusat-pusat kajian ilmiah, dan perpustakaan-perpustakaan Syi‘ah yang dibakar dan—akhirnya—dirampok.

Syaikh Thusi pun tidak aman dari penggarongan dan pembakaran tersebut. Karena—seperti telah disebutkan di atas, Syaikh Thusi telah diserahi kursi pengajaran ilmu Teologi, dan sebagian ulama yang menamakan dirinya sebagai pengikut mazhab Ahlusunah merasa iri dengan kedudukan tersebut. Mereka sudah beberapa kali berusaha untuk menggulingkan Syaikh dari kursi tersebut. Tetapi, mereka tidak behasil. Kedengkian ini—pada akhirnya—berhasil mencapai tujuannya, dan beberapa orang brandalan menyerang rumah kediaman Syaikh dan merampok segala isi yang ada di dalamnya. Kursi pengajaran ilmu Teologi itu juga dibakar. Tidak ketinggalan pula, perpustakaan pribadi yang dimiliki oleh Syaikh ikut termakan oleh jilatan si jago merah. Padahal, perpustakaan itu adalah sebuah perpustakaan yang terbesar dan terkemuka pada masa itu dan memuat berbagai buku asli hasil tulisan tangan para ulama dan naskah Al-Qur’an yang telah ditulis dengan tinta emas murni.

Setelah pembakaran perpustakaan tersebut, orang-orang brandalan itu memasuki rumah Sayikh Thusi dengan tujuan untuk membunuhnya. Akan tetapi, karena mereka tidak berhasil menemukannya, seluruh buku dan bendera-bendera yang biasa digunakan dalam acara-acara aza’ yang masih tersisa dibawa ke tengah-tengah pasar dan—kemudian—dibakar di hadapan khalayak ramai.

Setelah peristiwa menyakitkan ini terjadi, Syaikh Thusi melarikan diri dari Baghdad dan menuju ke Najaf Asyraf secara sembunyi-sembunyi. Pada masa itu, Najaf Asyraf adalah sebuah kota yang hanya didiami oleh beberapa gelintir orang yang sangat mencintai Amirul Mukminin Ali as. Setelah amarah para penyerang itu mulai reda, Syaikh mendirikan sebuah hauzah ilmiah di Najaf Asyraf, dan setelah itu, hauzah ini menjadi sebuah hauzah terbesar di kalangan para pengikut mazhab Syi‘ah.

Karya Tulis

Syaikh Thusi memiliki banyak karya tulis. Di antaranya adalah sebagai berikut:

1. An-Nihâyah.

2. Al-Mabsûth.

3. Al-Kilâf.

4. Al-Mufshih fî Al-Imâmah.

5. Lâ Yasa‘ Al-Mukallaf Al-Ikhlâl bihi (dalam bidang ilmu Ushul Fiqih).

6. ‘Uddah Al-Ushûl (dalam bidang ilmu Ushul Fiqih).

7. Ar-Rijâl.

8. Al-Fihrist.

9. Muqaddimah fî ‘Ilm Al-Kalâm.

10. I^jâz fî Farâ’idh Ar-Risâlah.

11. Mas’alah fî ‘Amal bi Khabar Al-Wâhid.

12. Risâlah Mâ Yu‘mal wa Mâ Lâ Yu‘mal.

13. Riyâdh Al-‘Uqûl.

14. Tamhîd Al-Ushûl.

15. At-Tibyân fî Tafsir Al-Qur’an.

16. Risâlah fî Tahrîm al-Fuqâ‘.

17. Al-Masâ’il Ad-Dimasyqiyah.

18. Al-Masâ’il Al-Halabiyah.

19. Al-Masâ’il Al-Hâ’iriyah.

20. Al-Masâ’il Al-Yâsiyah.

21. Al-Masâ’il Al-Jîlâniyah.

22. Masâ’il fî Al-Farq baina An-Nabi wa Al-Imam.

23. Risâlah Naqdh Ibn Syadzan.

24. Risâlah Al-Mukhtashar.

25.Risâlah Masâ’il Ibn Al-Barraj.

26. Mukhtashar Mishbâh Al-Mutahajjid.

27. Uns At-Tauhid.

28. Al-Iqtishâr fîmâ Yajibu ‘alâ Al-‘Ibâd.

29. Mukhtashar Al-Mishbâh.

30. Akhbâr Mukhtar bin Abi ‘Ubaidah Ats-Tsaqafi.

31. Maqtal Al-Husain as.

32. Ikhtiyâr Rijâl Al-Kasyi.

33. Majâlis (dalam bidang hadis dan riwayat).

34. Hidâyah Al-Mustarsyid wa Bashîrah Al-Muta‘abbid.

35. Sebuah buku dalam bidang ilmu Ushul Fiqih, Akidah, dan Kalam.

36. Masâ’il Râziyah fî Al-Wa‘îd.

37. Al-Masâ’il Al-Fârisiyah.

38. Al-Ghaibah.

Komentar Para Ulama

Najasyi, seorang ulama yang hidup sezaman dengan Syaikh Thusi berkomentar, “Abu Ja‘far Muhammad bin Hasan bin Ali Ath-Thusi adalah salah seorang ulama yang agung, tsiqah, dan murid guru kami, Abu Abdillah Al-Mufid yang tersohor.”

Allamah Sayid Bahrul ‘Ulûm, salah seorang tokoh mazhab Ja‘fariyah dan seorang ulama yang paling bertakwa di dunia Islam berkata, “Muhammad bin Hasan Ath-Thusi adalah tokoh mazhab Imamiah yang tersohor, pemegang bendera syariat Islam, dan imam mazhab Syi‘ah setelah periode para imam ma‘shum as. Berkenaan dengan segala pengetahuan yang berhubungan dengan masalah agama, ia adalah orang yang dapat dipercaya. Ia adalah ahli yang ulung dalam bidang Ushuluddin dan Furu‘uddin dan peneliti yang handal dalam bidang ilmu rasional dan tekstual. Lebih dari itu, ia adalah Syaikhut Tha’ifah kita dan pemimpin mazhab Syi‘ah secara mutlak.”

Keistimewaan-keistimewaan

Di antara keistimewaan-keistimewaan yang pernah dimiliki oleh Syaikh Thusi adalah selama kurun waktu yang cukup panjang, seluruh fuqaha mazhab Syi‘ah berada dalam pengaruh keagungannya sehingga tak seorang pun dari mereka yang “berani” untuk mengutarakan teori-teori fiqih yang berhasil mereka pecahkan di hadapan teori fiqih yang diutarakan olehnya. Sebagai konsekuensinya, kondisi ini menyebabkan ilmu Fiqih mazhab Syi‘ah mengalami stagnansi dan kemandegan. Akan tetapi, dengan munculnya beberapa orang faqih yang berasal dari keturunan faqih besar ini dan membawa teori-teori fiqih baru, tembok penghalang ini berhasil dipecahkan dan teori-teori fiqih baru berhasil menembus kehidupan muslimin.

Peristiwa historis ini menggambarkan kepada kita seberapa agungnya kedudukan Syaikh Thusi di mata masyarakat Syi‘ah sehingga tak seorang pun dari para ulama yang pernah hidup semasa dengannya mampu mempengaruhi kedudukan tinggi Syaikh di mata masyarakat. Hingga kemunculan dua tokoh tersohor mazhab Syi‘ah yang muncul setelah masa Syaikh Thusi; yaitu Khwajah Nashiruddin Ath-Thusi dan Allamah Hasan bin Yusuf bin Muthahhar Al-Hilli, tak seorang ulama pun yang mampu menandingi teori teologis Syaikh Thusi dalam bidang ilmu kalam, filsafat, rasional, dan tekstual.

Dalam bidang ilmu tafsir Al-Qur’an, hingga masa periode Tafsir Majma‘ Al-Bayân, tak ada satu buku tafsir pun yang dapat menandingi buku tafsir At-Tibyân. Majma‘ Al-Bayân sendiri—seperti ditegaskan oleh penulisnya, Syaikh Aminul Islam Ath-Thabarsî—adalah sebuah derivasi dari buku tafsir At-Tibyân tersebut.

Dalam bidang ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, seluruh fuqaha yang hidup setelah periode Syaikh hanya menukil fatwa-fatwanya dan—lantaran menghormati keilmuannya—mereka tidak pernah melontarkan pendapat mereka sendiri. Kondisi ini berlanjut hingga seorang ulama Syi‘ah baru muncul. Ia adalah Muhammad bin Idris Al-Hilli. Ia berhasil mencairkan kondisi stagnan yang sedang menimpa dunia Fiqih mazhab Syi‘ah kala itu dan memberi kehidupan baru kepadanya.

Wafat

Syaikh Thusi meninggal dunia pada malam Senin, 22 Muharam 460 Hijriah dan dikuburkan di Najaf Asyraf di rumahnya sendiri.