Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Tujuan Diutusnya Para Nabi dan Mukjizat Mereka

1 Pendapat 05.0 / 5

Diriwayatkan melalui rantai perawi yang bisa dipercaya bahwa seorang ateis menemui Imam Jafar Shadiq untuk mengajukan beberapa pertanyaan. Salah satunya tentang alasan diutusnya para nabi.
Imam menjawab, “Setelah kita sepakat tentang keberadaan Sang Pencipta, yang lebih tinggi dari seluruh makhluk-Nya dan yang tidak bisa dilihat, disentuh, atau diajak bicara oleh makhluk-Nya, juga bahwa Sang Pencipta itu Maha Bijaksana, bahwa Dia hanya melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi makhluk-Nya, maka niscayalah bagi-Nya mengutus para nabi dan rasul yang menyampaikan segala hukum yang ditetapkan-Nya kepada umat manusia. Para nabi dan rasul itulah yang akan memandu umat manusia ke jalan yang bermantaat dan mencegah mereka dari segala sesuatu yang mengakibatkan penderitaan abadi.
“Konsekuensinya, haruslah ada sekelompok insan tertentu, yang akan menyampaikan pesan-Nya kepada manusia. Merekalah orang-orang yang dipilih oleh Allah dan para nabi-Nya. Mereka adalah insan yang bijaksana dan cerdas. Yang Mahakuasa telah mengaruniakan hikmah dan pengetahuan, dan menunjuk mereka sebagai utusan-Nya.
“Kondisi dan karakteristik mereka berbeda dari manusia pada umumnya. Namun, dari segi penciptaan dan metodenya, mereka tiada berbeda dengan manusia lainnya. Mereka diutus oleh Allah, yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui, dengan pengetahuan, hikmah, kebijaksanaan, hujah, syahadah, dan mukjizat sehingga mereka bisa membuktikan keabsahan klaim mereka.
“Di antaranya adalah membangkitkan orang mati, juga menyembuhkan tuna netra dan penderita lepra. Mereka melaksanakan sejumlah tugas yang mustahil dikerjakan orang biasa. Hal yang sama berlangsung pada setiap zaman. Dunia tidak pernah kosong dari bukti Ilahiah (hujah), yang menyimpan pengetahuan dan memiliki mukjizat untuk membuktikan keautentikan klaimnya dan (ia meneguhkan) pesan yang disampaikan nabi sebelumnya.”
Dalam sebuah hadis yang bisa dipercaya, Imam Jafar Shadiq berkata, “Allah yang Mahakuasa, dengan zat-Nya yang bercahaya dan sifat-sifat ketuhanan-Nya, tersembunyi dari sekalian makhluk-Nya. Karena itulah Dia mengutus sejumlah nabi untuk mengabarkan berita baik berupa keselamatan dan peringatan tentang hukuman-Nya sehingga mereka yang tenggelam dalam pelanggaran harus disadarkan atas kesalahan mereka dan segala hujah harus ditampakkan kepada mereka.
Akan halnya orang-orang yang selamat, pastilah meraihnya dengan pengetahuan, iman, dan hujah. Mereka akan meraih kehidupan abadi supaya orang-orang bisa mengenal hal-hal yang belum mereka ketahui tentang Tuhan mereka. Mereka harus mengenal Allah sebagai Pemberi Karunia dan mereka mengakui Keesaan-Nya.”
Riwayat terpercaya lainnya menyebutkan bahwa Fadhl ibn Shadlan bertanya kepada Imam Jafar Shadiq, “Kapankah manusia diwajibkan patuh kepada nabi, mengapa mereka harus mengenal para nabi, dan mengakui kebenarannya?”
Imam menjawab, “Alasannya adalah makhluk tidak memiliki kemampuan untuk memahami hikmah mereka secara sempurna. Sang Maha Pencipta terlampau agung untuk bisa dipersepsi dengan penglihatan. Ketidakmampuan memahami zat Ilahiah begitu nyata. Tidak ada pilihan lain kecuali menunjuk sejumlah nabi untuk menjembatani antara manusia dcngan Allah. Nabi yang maksum ini menyampaikan perintah dan larangan Allah kepada umat manusia. Beliau juga harus menegaskan perkara-perkara yang mcnguntungkan dan mcrugikan kepada umatnya. Karena akal saja tidaklah mampu memutuskan hal-hal yang menguntungkan dan yang membahayakan bagi manusia. Seandainya pengakuan dan kepatuhan terhadap para nabi tidak diwajibkan, maka tindakan mengutus para nabi akan menjadi sia-sia belaka. Dan Dia yang Mahabijaksana, Yang telah menciptakan segalanya dengan hikmah, pastilah suci dari tindakan sia-sia.”
Diriwayatkan melalui rantai perawi yang terpercaya bahwa Abu Basir bertanya kepada Imam Jafar Shadiq mengenai alasan Allah menganugerahkan mukjizat kepada para nabi dan Imam. Imam menjawab, “Supaya kebenaran klaim mereka menjadi teguh. Karena mukjizat berasal dari Allah yang Mahakuasa. Dia menaganugerahkannya kepada para nabi, rasul, dan hujjatullah sehingga kebenaran orang-orang yang benar dan kepalsuan para pendusta menjadi tampak.”
Hadis lainnya menyebutkan bahwa Husein Al-Sahhaf bertanya kepada Imam Ja’far tentang kemungkinan Allah mengubah hati mukmin dari beriman menjadi ingkar, sekalipun keyakinan orang itu sebelumnya telah dikukuhkan. Imam menjawab, “Allah itu Mahaadil. Dia mengutus rasul untuk menyerukan umat manusia kepada keimanan. Allah tidak pernah menyeru siapa pun kepada keingkaran.”
Kemudian, ia bertanya lagi tentang kemungkinan Allah mengubah hati seorang yang benar-benar kafir menjadi beriman. Imam menjawab, “Allah menciptakan manusia dengan kapasitas untuk beriman. Mereka laksana piring kosong yang tidak berisi keyakinan atau pun kekafiran kepada syariat mana pun. Kemudian Allah mengutus para nabi supaya mereka memperoleh bimbingkan ke arah-Nya. Dengan jalan inilah argumen bisa ditampakkan kepada manusia. Dengan demikian, sebagian memperoleh panduan (keimanan) dengan taufik Allah dan sebagain tidak memperoleh petunjuk.”
Disampaikan dalam riwayat yang autentik bahwa Ibn Al-Sikkit bertanya kepada Imam Ridha atau Imam Ali An-Naqi tentang alasan Allah mengaruniai Nabi Musa dengan tangan yang bersinar, tongkat, dan hal-hal lainnya untuk menangkal sihir, kepada Nabi Isa dengan mukjizat yang menyerupai penyembuhan medis, dan kepada Muhammad Al-Musthafa dengan kefasihan dan dialog intelektual.
Imam menjawab, “Pada zaman Nabi Musa, ilmu yang dominan adalah sihir. Musa membawa mukjizat yang menyerupai sihir, tetapi jauh lebih dahsyat. Musa mengalahkan sihir mereka dengan mukjizatnya dan mengerahkan argumen kepada mereka. Pada zaman Nabi Isa, merebaklah penyakit dan wabah. Isa membawa mukjizat yang tidak bisa ditandingi dokter pada masa itu dan memperlihatkan keahlian yang membuat masyarakat terheran-heran. Misalnya menghidupkan orang mati dan menyembuhkan lepra.
“Isa menyempurnakan hujahnya dengan mukjizat-mukjizat ini. Sekalipun ilmu penyembuhannya sudah tinggi, manusia gagal mengungkapkan rahasia Isa. Muhammad Al-Musthafa diutus pada era kemajuan sastra dan perkembangan puisi. Manusia pada masa itu membanggakan kecakapan mereka berpidato dan berpuisi. Rasulullah membawa kitab Allah yang berisi ajaran dan hukum agama. Melalui kitab ini, Rasul menundukkan kata-kata mereka. Tidak ada yang mampu menandingi mukjizat Rasulullah. Dengan cara inilah argumen diperlihatkan kepada mereka.”
Ibn Al-Sikkit berkata, “Aku tidak pernah mendengar ujaran yang sedemikian bermakna.” Kemudian ia bertanya lagi, “Siapakah hujjatullah kepada umat manusia pada masa ini.” Imam menjawab, “Allah telah mengaruniaimu akal. Kau bisa membedakan orang yang memegang kebenaran dan orang yang mendustakan-Nya.” Ibn Al-Sikkit bcrkata, “Demi Allah! Ucapanmu benar.”