Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Penerimaan dan Penolakan Kultural Peringatan Asyura

0 Pendapat 00.0 / 5

Berbagai bukti sejarah menunjukkan bahwa peringatan Asyura pernah diterima secara kultural oleh kaum Muslimin di banyak tempat di Nusantara. Upacara Mahoyak Tabuik di Sumatera, demikian juga tarian-tarian tepuk dada (Tari Saman) di Aceh yang sampai sekarang masih lestari, menunjukkan bahwa Asyura memang pernah diperingati dengan cara yang sangat massal di Bumi Nusantara.

Di Jawa, kata ‘Suro’ yang dipastikan merupakan kependekan dari kata Asyura, merupakan kata yang secara tradisional bermakna sakral. Bulan Muharram lebih dikenal dengan nama Bulan Suro, sehingga tahun baru hijriah juga lebih dikenal jatuh pada tanggal 1 Suro ketimbang tanggal 1 Muharram. Artinya, di saat menetapkan nama tahun baru bagi kerajaan Mataram, Sultan Agung menjadikan apa yang terjadi di tanggal 10 Muharram (‘Asyura artinya hari kesepuluh) sebagai peristiwa paling menonjol di bulan itu.

Apa yang terjadi di tanggal 10 Muharram? Memang, sebagian riwayat menunjukkan kesakralan tanggal 10 Muharram dari sisi yang positif, misalnya sebagai hari penciptaan bumi, peristiwa hijrah, dan lain-lain, sehingga disunnahkan bagi kaum Muslimin untuk berpuasa di hari itu. Akan tetapi, riwayat-riwayat tersebut bisa dikatakan tetap saja kalah pamor dibandingkan dengan versi lain tentang apa yang terjadi di tanggal 10 Muharram.

Berbagai tradisi lisan, tarian-tarian, makanan yang dihidangkan, upacara adat, dan juga manuskrip-manuskrip kuno yang tersebar di Nusantara menunjukkan bahwa Asyura lebih dikenal sebagai hari duka. Pada hari itu, terjadi tragedi sangat dahsyat, di mana Husein bin Ali, cucu Rasulullah SAW terbunuh dalam sebuah peperangan yang sangat tidak berimbang. Kepala Husein dipenggal dan ditancapkan di atas tombak. Sisa keluarga Rasulullah juga dibantai.

Peristiwa duka pembantaian terhadap keluarga Rasulullah di tanggal 10 Muharram adalah fakta sejarah yang tak disangkal oleh sejarawan manapun. Hanya saja, kemudian muncul perbedaan dalam analisis terkait dengan apa yang menjadi penyebab peristiwa, siapa pelakunya, siapa tokoh intelektualnya, serta pelajaran apa yang bisa diambil dari peristiwa itu. Perbedaan tafsiran itulah yang kemudian memunculkan resistensi terhadap peringatan Asyura dari sekelompok orang.

Bagi kelompok ini, Asyura adalah adalah sebuah ‘kecelakaan sejarah’ yang tak semestinya diungkit-ungkit. Ada kecurigaan bahwa di saat Asyura diperingati, muncul kritikan terhadap para sahabat yang menjadi simbol kemuliaan Ahlu Sunnah. Jadi, menurut kelompok ini, ketimbang memantik luka lama yang berpotensi menciptakan perpecahan, lebih baik tak perlu ada peringatan atas peritiwa itu.

Logika yang dipakai mungkin agak mirip dengan apa yang dipakai oleh sebagian generasi masa kini bangsa Indonesia ketika dihadapkan kepada ingatan sejarah soal isu PKI di tahun 1965.  Itu adalah peristiwa kelam sejarah yang diliputi oleh banyak kabut misteri. Mengungkitnya lagi hanya akan menciptakan situasi saling tuduh dan saling tuntut.

Cara berpikir semacam ini tetap saja menyisakan pertanyaan: kenapa peringatan Asyura pernah hidup dan diterima secara kultural oleh kaum Muslimin Indonesia? Mengapa di saat itu tak muncul perpecahan dan pertengkaran sebagaimana yang dikhawatirkan?  Mengapa pula di beberapa kawasan dunia di mana kaum Syiah menjadi mayoritas, peringatan Asyura tidak sampai memantik protes dari kelompok minoritas?

Sebagian orang mengajukan tesis bahwa penerimaan secara kutural peringatan Asyura menunjukkan bahwa di saat itu, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam Syiah. Jika memang benar demikian, tentu dengan sangat mudah difahami kenapa Asyura diterima secara kultural.

Sebagian yang lain menyatakan bahwa di saat itu, isu Sunni dan Syiah tidak begitu banyak mengemuka. Orang dengan sangat mudah menerima keberadaan Muslim lain yang berbeda mazhab. Bukankah empat imam mazhab di Sunni juga saling berguru satu sama lain? Bukankah Imam Malik berteman baik dengan Imam Ja’far Shadiq? Bukankah Imam Abu Hanifah juga pernah berguru selama dua tahun di Madinah kepada Imam Ja’far Shadiq?

Lalu, bagaimana dengan isu adanya penistaan terhadap Sahabat Nabi dalam peringatan-peringatan Asyura? Jika kita kembali kepada jejak-jejak sejarah, baik berupa budaya ataupun manuskrip, kita tak akan mendapati isu penistaan tersebut. Dan sampai sekarang pun isi dari maqtal (kisah keterbunuhan) yang dibacakan di momen-momen Asyura tidak menyentuh kehormatan para sahabat besar.

Ada juga tesis lain yang dikemukakan bahwa penolakan terhadap peringatan Asyura datangnya dari kelompok di dalam Islam yang pada dasarnya memang mengharamkan segala bentuk peringatan kematian. Mereka inilah yang dikenal dengan kelompok Salafi-Wahabi. Di Indonesia, peringatan wafatnya seorang tokoh besar adalah hal yang sangat biasa dilakukan dikukan oleh kalangan NU. Karenanya, penolakan terhadap Asyura bisa dikatakan tidak begitu menonjol di kalangan NU.

Ada tesis terakhir yang perlu dibuktikan lebih lanjut secara ilmiah. Akan tetapi, karena indikatornya sangat kuat, hal ini perlu diteliti lebih jauh. Tesis dimaksud menyatakan bahwa penolakan tehadap Asyura melulu urusan politik. Sebagaimana yang sudah dibuktikan oleh berbagai penelitian, hidupnya peringatan Asyura menjadi fondasi kuat keberhasilan Revolusi Islam Iran dalam menumbangkan rezim monarki Shah Pahlevi. Kisah epik Imam Husein menjadi insirasi kuat mereka yang berjuang hingga titik darah penghabisan. Jadi, untuk mengantisipasi munculnya revolusi-revolusi lain di berbagai kawasan, digelarlah berbagai gerakan anti Asyura dengan mengemukakan isu perselisihan mazhab.

Jika tesis ini benar, semestinya kaum Musimlin Indonesia tak peru khawatir dengan peringatan Asyura. Karena spirit perjuangan Asyura tak pernah menempatkan penguasa Indonesia (siapapun presidennya) sebagai rezim yang harus ditumbangkan. Asyura malah menawarkan sebuah konsep perjuangan kepada bangsa Indonesia untuk bangkit melawan eksploitator dan imperium Dunia yang terus menerus mengeruk kekayaan bangsa ini secara semena-mena. Asyura menawarkan sebiuah konsep perjuangan bagi siapapun yang menganggap bahwa masih banyak cita-cita kemerdekaan yang belum terwujud.