Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Konsep Keadilan (1): Adilkah Memaafkan Orang yang Bersalah?

1 Pendapat 05.0 / 5

Apakah adil itu?
Salah satu sifat kesempurnaan bagi Allah yang diyakini kaum yang beriman ini, bahwa Allah Maha adil, menjadi tema yang menarik berbagai macam persoalan, pembahasan dan kritikan terkait dengannya. Dari mereka antar agama samawi maupun antar mazhab, juga dari kalangan para filosof dalam kajian tentang hikmah dan nizham ahsan (tatanan terbaik).
Keadilan ilahi bagi sebagian ulama muslimin merupakan konsep yang sangat mendasar dan menjadi salah satu prinsip mazhab mereka. Dalam teologi mereka dikenal dengan kaum ‘Adliyah, yang menganut teori “al-husnu wal qubhu al-‘aqliyan” (baik dan buruk dalam penilaian akal).
Kata ‘adl dalam bahasa memiliki sejumlah makna, salah satunya ialah pemenuhan hak. Misalnya, kita punya persediaan air untuk dua orang saja. Namun di sana ada enam orang yang memerlukannya dengan kadar keperluan yang berbeda, tapi dua orang dari mereka dalam darurat tertimpa kehausan. Jelaslah air itu harus diberikan kepada siapa yang paling membutuhkan di antara mereka, bukan membagikannya secara rata untuk semua, enam orang itu.

Pengertian ‘Adl
Mengenai pengertian ‘adl diterangkan sebagai berikut:
Pertama, adalah keseimbangan dan keharmonisan bagian-bagian sekumpulan dalam mencapai suatu tujuan. Sekumpulan ini bisa merupakan:
a) Sebuah kumpulan hakiki seperti pesawat, handphone dan benda-benda lainnya.
b) Sebuah kumpulan non hakiki (i’tibari; konseptual), seperti masyarakat atau golongan-golongan dan kelas-kelas di dalamnya seperti golongan pendidik, pelajar, pejabat, pengusaha dan sebagainya.
Dikatakan adil pada suatu kumpulan, tolok ukurnya ialah terwujudnya keharmonisan antara seluruh bagian-bagiannya demi mencapai apa yang menjadi tujuannya. Misal, tiap-tiap bagian pesawat terletak pada tempatnya masing-masing dan memainkan perannya dengan baik, maka keseluruhannya disifati dengan keseimbangan. Tidak disifati demikian bila terjadi kerusakan pada bagian-bagiannya.
Manusia dalam dimensi jasmani maupun dimensi ruhaninya dengan sifat-sifat kesempurnaan adalah sosok dalam keseimbangan. Adil juga dikatakan, jika sesuatu menempati tempatnya. Dikatakan pula, jika hak-hak itu terpelihara.
Kedua, jika adil diartikan dengan kesamaan tanpa peduli sisi keberhakan, makna ini tak sesuai dengan muatan keadilan.
Ketiga, adil adalah pemenuhan hak. Bahwa, semua individu yang beragam memiliki hak-hak yang musti diperhatikan. Misal, hak hidup, hak bebas, hak bertempat tinggal, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan hak-hak kebebasannya lainnya seperti hak politik, sosial, sipil, yang patut dihormati. Apabila hak kebebasan ini dibatasi tanpa pembenaran, maka hak ini dalam ketertindasan.
Jika aniaya terjadi pada perampasan hak orang lain, berarti adil adalah apabila terwujud pemenuhan hak. Misalnya, pembagian laba dalam saham sesuai modal. Jika dibagi secara rata tanpa menurut besarnya modal dari masing-masing pemodal, hal menimbulkan ketidak adilan terhadap pemilik modal yang lebih banyak dari yang lainnya.

Adilkah Memaafkan Orang yang Bersalah?
Adil dalam pengertian ini kemudian dipersoalkan, bahwa terkadang mengabaikannya tidak niscaya berbuat aniaya dan keburukan. Misalnya, menghukum pelaku kejahatan –di dunia ataupun di akhirat- merupakan keadilan. Tetapi di dalam teks-teks keagamaan terdapat ungkapan bahwa: hukuman dari Tuhan itu adil, sedangkan maaf atau ampunan dari-Nya adalah karunia. Jadi, memaafkan dari Allah atau dari si korban kelaliman adalah perbuatan terpuji, dan tidak dikatakan aniaya atau buruk.
Seumpama menyiram tanaman tidak secara rata, tetapi menurut kadar kebutuhannya. Bahwa sebagian tanaman perlu disiram lebih banyak, dan sebagian lainnya disiram sedikit saja. Demikian halnya dengan soal memaafkan pelaku kesalahan, ialah menurut keberhakan dia dan seberapa besar taubatnya.
Jawaban atas soal tersebut, telah disinggung di atas bahwa perwujudan makna adil terletak pada hak yang sudah ada (sebelumnya). Bahwa adil terwujud dengan memelihara hak itu, dan lalim dengan merampasnya. Kecuali si pemilik hak memaafkan, atau merelakan haknya demi kepentingan orang lain, atau memindahkannya ke tempat lain. Misalnya pemilik saham dalam serikat perniagaan menegaskan kerelaannya bahwa haknya kepada yang lain.
Dalam contoh tersebut pelimpahan hak bukan sebuah kelaliman, justru adalah pemenuhan haknya karena (ia pun berhak) merelakan haknya demi kepentingan orang lain. Karena itu tindakan yang demikian juga merupakan pemeliharaan hak dan kemauannya.
Adapun mengenai memaafkan, dapat dikatakan bahwa hukuman/balasan atas kesalahan adalah adil dan merupakan hak bagi orang yang dianiaya. Di sisi lain, ada hak lainnya bahwa hukuman musti sesuai dengan kadar pelanggaran. Aniaya terjadi apabila hukuman lebih berat atau lebih ringan dari pelanggaran.

Referensi:
Ajwibatu asy-Syubhat al-Kalamiah (2)