Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Sesaat di Alam Lain

1 Pendapat 05.0 / 5

“Masihkah ingat, ketika itu, kamu sedang mencari air di tengah hutan belantara, dan begitu kamu menemukan air, kamu merasa keberatan. Lalu, untuk mengurangi beban berat itu, maka kamu membuangnya di pohon kecil yang baru saja tumbuh, dan perbuatanmu itu membuahkan catatan amal baik bagimu?” Tanya seseorang yang berada di belakang meja itu.

***

Hari ini, tim dokter memutuskan untuk melakukan operasi demi mengangkat suatu penyakit yang berada di bagian tubuhku. Kuiyakan rencana mereka. Syukur-syukur penyakit yang kurasakan selama ini bisa sembuh berkat operasi ini. Kusaksikan, tim dokter sudah berkumpul. Dan aku dibawa ke ruang operasi. Segenap keluargaku berada di luar ruangan. Aku percaya, mereka merapalkan doa demi kesembuhanku.

Alat-alat medis mengelilingi tubuhku. Perlahan-lahan, semburat cahaya ruangan yang sedari tadi menusuk mataku, mulai menghilang. Dan kurasakan, ruhku seperti terpisah dari tubuhku. Dari atas, aku menyaksikan para dokter  itu—lengkap dengan pakaian khusus dan masker yang menutupi wajah mereka dengan menyisakkan kedua matanya—tengah  mengerumuni tubuhku yang terbaring di sana. Mereka sibuk melakukan operasi  pada bagian tubuhku.

Entah di mana, aku dibawa seorang lalaki tampan yang berada di sisi kananku  itu di sebuah tempat asing. Tempat ini  amat berbanding terbalik dengan dunia.  Aku sempat bergumam, jangan-jangan ia adalah malaikat Izrail. Entahlah. Lalu, ia mengajakku ke arah seseorang yang berada di belakang meja yang di atasnya ada sebuah buku catatan.

Aku sempat terkaget-kaget di saat melihat catatan perbuatanku yang disodorkan  seseorang itu padaku. Di awal halaman, kudapati, ada catatan baik tentang diriku. Dan aku bahagia akan hal itu, sebab perbutan yang kulakukan selama hidupku, ternyata berbuah baik dalam catatan amal baikku. Tapi, aku masih bingung, apa yang kulakukan, sehingga aku berhak memiliki catatan baik itu.

“Masihkah ingat, ketika itu, kamu sedang mencari air di tengah hutan belantara, dan begitu kamu menemukan  air, kamu merasa keberatan membawanya. Lalu, untuk mengurangi beban berat itu, maka kamu membuangnya di pohon kecil yang baru saja tumbuh itu. Dari  perbuatanmu itulah  membuahkan catatan amal baik bagimu?” Tanya seseorang yang berada di belakang meja itu.

Nyaris hilang ingatanku tentang kilasan-kilasan tentang hari itu. Hari di mana, aku menghentikan mobil yang kunaiki demi mencari air. Setapak demi setapak, kuayunkan langkahku di tengah rimabanya pepohonan yang menjulang tinggi. Kubiarkan mobilku menyendiri di pinggir jalan. Sementara aku sibuk mencari air yang kubutuhkan selama perjalananku kala itu. Dan aku benar-benar tak menyangka, ternyata perbuatan itu, yang sama sekali tak terselip sedikit pun niat  baik, justru menghasilkan amal baik dalam catatanku.

“Semua itu karena keikhlasanmu, sebab telah menyiram pohon itu, sehingga itu membuahkan catatan amal baik bagimu,” ucap seseorang itu kepadaku.

Kubuka lagi lembar berikutnya. Dan kudapati catatan amal baikku. Tentu saja aku bangga. Namun, tiba-tiba catatan amal baikku itu terhapus dengan sendirinya. Dengan perasaan yang cukup kesal, kutanyakan hal itu pada orang itu.

“Di mana catatan amal baikku? Kenapa tiba-tiba menghilang begitu saja?”ucapku agak jengkel.

“Apakah kamu ingat, selama kamu hidup di dunia, dan tiap kali hendak pergi ke masjid atau ke majelis-majelis,  kamu  selalu riya’ dan agar selalu diperhatikan oleh orang lain? Itulah sebabnya, kenapa amal-amal baikmu terhapus di lembaran itu,” jelas orang itu.

Aku terdiam. Dan kuingat masa-masa itu, dan benar saja, aku memang pernah melakukan itu: berbuat baik demi mencari perhatian orang lain, bukan karena Allah Swt.

Kulanjutkan, dan kubuka lagi halaman berikutnya. Kudapati lagi catatan amal baikku. Tertulis di dalamnya bahwa aku pernah membantu keluarga miskin. Membaca itu, aku kembali berpikir, dan bertanya-tanya pada diri sendiri, pernahkah aku membantu keluarga miskin? Setahuku, aku memang pernah berniat membantu keluarga miskin, namun itu urung kulakukan, karena waktu itu aku tak punya harta untuk membantunya.

Akhirnya, kuputuskan untuk menanyakan hal itu kepada orang yang berada di belakang meja itu.

“Iya, benar, selama hidup, kamu memang tidak pernah membantu keluarga miskin, tetapi kamu pernah berniat membantunya, sekalipun  niatmu itu tidak pernah menjadi kenyataan. Tapi, ketahuilah, bahwa sebuah niat baik itu akan membuahkan  catatan baik bagi dirimu,” Jelas seorang penjaga catatatan amal manusia itu. Betapa bahagia, ternyata niat baik itu mengasilkan catatan amal baik bagiku.

Di dalam sebuah hadis dikatakan, “Rasulullah bersabda, ‘Allah berfirman, ketika hambaku memiliki niat baik, dan ia belum sempat mewujudkan niat itu, maka tercatat sebagai perbuatan baik baginya.’” (Nahjul Fashahah, Hal. 593).

Rasa penasaranku makin membuncah, kubuka lagi halaman berikutnya. Dan lagi-lagi kutemui catatan amal baikku di halaman itu. Tertulis, bahwa aku sering salat di awal waktu dan salat berjamaah. Jujur, tak dapat kusembunyikan rasa bahagia ini. Sebab, ibadah yang kulakukan semasa hidupku tercatat sebagai amal baikku.

Namun, lagi dan lagi catatan amal baikku itu kembali terhapus dengan sendirinya. Dan kutanyakan pada seseorang itu, “Kenapa lagi-lagi amal baikku terhapus?”

“Apakah kamu lupa, suatu hari kamu pernah menggibah salah satu temanmu. Dan akabit dari gibah yang kamu lakukan itu, mengakibatkan terhapusnya catatan amal baikmu?” Ujarnya sambil mengingatkanku.

“Nabi pernah bersabda,” katanya, lalu melanjutkan, “Barang siapa yang menggibah seorang muslim, baik laki-laki maupun perempuan, maka salat dan puasanya tidak diterima oleh Allah selama empat puluh hari siang dan malam, kecuali si pelaku ghibah itu  dimaafkan oleh seseorang yang digibah,” katanya. (Biharul Anwar, Juz 72, Hal. 258).

Malam semakin larut, tiba-tiba aku terbangun. Kini aku tak lagi di ruang operasi.  Kubuang pandanganku di sekitarku, dan kudapati keluargaku  sedang mengelilingku. Bulir-bulir air mata membelah kedua pipi mereka. Dalam hati aku bergumam, “Kenapa mereka menangis?”

“Bukankah dokter sudah menyatakan bahwa nyawamu sudah tidak bisa diselamatkan lagi?” tanya salah satu dari mereka, dan aku terperanjat.