Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Psikologi Kualitas Kepribadian Sayidah Zainab as Bag 1

2 Pendapat 05.0 / 5

Prolog

Sebuah keluarga memegang peranan penting dalam kehidupan karena setiap individu tentunya berangkat dari sebuah keluarga. Dapat dikatakan bahwa keluarga adalah tempat di mana pondasi nilai-nilai moral, etika, agama dan kemanusiaan diajarkan oleh kedua orang tua dan anggota keluarga lainnya kepada seorang anak. Seseorang menjadi sosok agung dan berkarakter mulia, pada tahapan awal itu tidak lepas dari peran keluarga.

Dalam hal ini kita akan mencoba menganalisa peran keluarga dalam pembentukan karakter dan kepribadian agung Sayidah Zainab as yang mana akan menjadi tuntunan bagi kita dalam mendidik generasi berkualitas. Kualitas kepribadian Sayidah Zainab as tidak dapat diragukan lagi, bahkan kualitas kepribadian agungnya dijelaskan Imam Ali as saat seorang pembesar melamar Sayidah Zainab as kepada Imam Ali as. Imam Ali as sangat murka mendengarnya dan mengatakan bahwa kualitas kepribadian Sayidah Zainab as tidak sepadan untuknya.

“Darimana engkau dapatkan keberanian untuk melawar Zainab dariku? Zainab mirip dengan Khadijah, hasil didikan dari orang yang suci, meminum ASI orang suci, engkau tidak memiliki kelayakan untuk menjadi pasangannya.”[1]

Struktur dan Faktor Pembentuk Kepribadian

Secara umum kepribadian dapat diartikan sebagai suatu sikap yang khas dan hakiki yang tercermin pada sikap seseorang. Dalam psikologi terdapat berbagai pandangan tentang struktur dan faktor kepribadian manusia. Tentang struktur kepribadian manusia terdapat pandangan psikologi perilaku, pandangan psikoanalisis dan pandangan psikologi humanistik. Pandangan humanistik seperti Max Scheler, menganggap kepribadian manusia merupakan satu unit yang terdiri dari tiga dimensi somatic, psikis dan spiritual. Yang dimaksud spiritual di sini bukan Ruh dalam artian agama, melainkan kemampuan transendensi penghayatan luhur yang khas manusiawi.[2] Sedangkan menurut Erich Fromm berpandangan bahwa corak kepribadian seseorang ditentukan oleh situasi kemanusiaan (the human situation) yang berlaku untuk seluruh umat manusia. Yang dimaksud situasi kemanusiaan adalah kekhususan-kekhususan yang hanya terjadi pada diri manusia dan dialami semata-mata dalam kehidupan taraf manusiawi, serta sekaligus merupakan karkteristik eksistensi manusia. Erich  menggambarkan kepribadian sebagai keseluruhan kualitas kejiwaan, baik yang diwarisi orang tua dan leluhur, maupun yang diperoleh dari pengalaman hidup, keduanya memberikan kekhususan dan keunikan yang membedakan seorang pribadi dari pribadi lainnya.

“Personality is the totality of inherited and acquired psychic qualitaties which are characteristic of one individual and which make the individual unique.”[3]

Terdapat beragam pendapat para psikolog berkaitan dengan faktor-faktor pembentuk kepribadian, namun dengan merujuk ayat dan riwayat dapat dikelompokkan pada beberapa faktor berikut:

    Faktor Genetik (Warisan)

Faktor pembentuk kepribadian yang diperoleh dari keturunan orang tua dan leluhur. Kita dapat menyaksikan bahwa terdapat sifat-sifat bahkan kebiasaan yang diturunkan oleh orang tua, atau leluhur lainnya kepada keturunannya. Hal ini dapat kita lihat dalam doa Nabi Nuh as, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas muka bumi ini. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal… mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.” (QS Nuh : 26-27)

Kepribadian orang tua kaum Nabi Nuh as akan mempengaruh kepribadian anak keturunan mereka.

Atau ucapan Imam Ali as yang disampaikan kepada Imam Hasan as, “Hati anak itu seperti tanah yang kosong, apapun yang kalian lempar padanya maka akan tumbuh…”.[4]

Anak diibaratkan tanah kosong, dan tanah itu jenisnya beragam, ada yang subur dan ada yang gersang yang mengisyaratkan akan sifat bawaan anak dari orang tua atau leluhurnya.

    Faktor Lingkungan

Lingkungan di sini dapat mencakup lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan lingkungan masyarakat, baik yang sehat maupun tidak sehat, semua ini sedikit banyaknya dapat mempengaruhi dalam pembentukan kepribadian seseorang. Hadis berikut ini dapat mengisyaratkan faktor lingkungan juga pendidikan. Lingkungan dan pendidikan Yahudi, Nasrani dan Majusi akan berpengaruh terhadap kepribadian seseorang.

Rasul saw bersabda, “Tiap bayi lahir dalam keadaan suci, orang tuanyalah yang membuat ia Yahudi, Nasrani atau Majusi.”[5]

    Faktor Pendidikan

Banyak ayat dan riwayat yang menjelaskan tentang peran pendidikan dalam membentuk kepribadian seseorang. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Jakfar ash-Shodiq as telah berkata, “Ketika turun ayat, “Wahai orang-orang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka…!” Maka orang-orang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana kita menjaga diri dan keluarga kita dari api neraka?” Beliau bersabda, “Ajarilah mereka kebaikan dan ingatkanlah padanya, serta didiklah mereka untuk taat kepada Allah.”[6]

    Faktor Free Will (kebebasan berkehendak)

Meskipun faktor genetik, faktor lingkungan, dan faktor pendidikan berpengaruh dalam membentuk karakter seseorang, namun kehendak seseorang pun mempunyai peran penting. Mungkin saja genetik, lingkungan dan pendidikannya baik, namun tetap melakukan penyimpangan karena kehendak dan pilihannya. Allah dalam hal ini telah mengisyaratkan dalam firman-Nya.

“Seseungguhnya Allah tidak merobah keadaan suatu kaum kecuali mereka merobah keadaannya sendiri.” (QS. Ar-Ra’d : 11)

Faktor-faktor tersebut satu dengan yang lainnya dapat berperan dalam membentuk kepribadian seseorang. Bahkan, dalam pesannya kepada Imam Hasan as, Imam Ali as menjelaskan ketiga faktor  tersebut sekaligus, faktor genetik, faktor pendidikan, dan faktor lingkungan.

“Sesungguhnya hati anak itu seperti tanah yang kosong, apa pun yang dilempar padanya maka akan menerimanya. Maka aku bersegera mendidikmu  sebelum hatimu menjadi keras dan pikiranmu menjadi sibuk.” [7]

CATATAN:

[1] Syarh Ibnu Abil Hadid, jil. 2, hal. 279, dinukl dari ‘Khashaish Zainabiyah, 169.

[2] Victor Frankl, The Unconsious God, Simon and Schluster (New York, 1975) hal.29, dinukil dari ‘Psikologi Keluarga Islam’, hal.83, Dr. Hj. Mufidah, Ch., M.Ag

[3] Erich Fromm, Man For Himself (New York,Holt Rinebart and Winston, 1964). Hal. 26, dinukil dari ‘Psikologi Keluarga Islam’ hal.84, Dr. Hj. Mufidah, Ch., M.Ag

[4] Nahjul Balaghah, Surat ke-31

[5] HR. Bukhori

[6] Muntakhab Mizanul Hikmah, hal 16

[7] Sahifah Sajjadiyah, Surat ke-31