Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Pandangan Dunia Islam Perspektif Murtadha Muthahhari

1 Pendapat 05.0 / 5

Abad Ideologi

Abad ke-19 hingga 20an merupakan suatu tonggak sejarah yang amat menentukan. Dimana narasi-narasi besar dunia mengemuka. Narasi yang terlahir dari ragam elemen-elemen pemikiran ilmiah-empirik-rasional saling berkontestasi mengukuhkan sistem sosial dunia. Tidak hanya soal sains yang telah lebih dulu menemukan titik awal revolusinya. Tapi konsepsi tentang manusia, sejarah dan masyarakat.

Gagasan ekonomi-politik mengenai hubungan ekonomi dalam relasi kekuasaan menjadi arus besar perubahan kehidupan manusia. Pada gilirannya gagasan ini kelak akan menciptakan sistem sosial yang akan mengikat pola kerja dan aktivitas manusia. Dan lambat laun akan menjadi tradisi yang menubuh dalam sistem kebudayaan masyarakat.

Dalam sains manusia menemukan alam yang bergerak, planet-planet yang saling mengitari dan sebuah struktur perputaran alam yang bergerak dinamik dan harmonis. Manusia menemukan hukum-hukum alam yang menakjubkan, hukum tarik-menarik (gravitasi), hukum relativitas, hukum gerak, dan sebagainya. Pelan tapi pasti, sejarah penemuan sains baik klasik maupun modern makin hari kian menguak hukum-hukum alam yang tersembunyi sebelumnya.

Dalam filsafat, manusia menerobos sekat-sekat realitas yang tak tersentuh oleh alat-alat sains. Kala sains berpikir tentang pola-pola fenomena alam, filsafat berpikir tentang sesuatu yang berbeda, ia bertanya “apakah alam ini memiliki awal mula?” jika “iya”, “apakah dan bagaimanakah awal mulanya?” suatu pertanyaan yang mustahil terdeteksi oleh sains.

Pertanyaan mengenai alam, tak mungkin pernah bisa terlepas dari pikiran manusia. Karena manusia menjalani kehidupannya di alam dan membutuhkannya untuk keberlangsungan hidupanya. Tanpa mengetahui hukum-hukum alam maka sudah pasti ia tak akan bisa memanfaatkan apa-apa yang terjandung di dalamnya.

Dengan pola dan karakeristik berpikirnya, Manusia tampil sebagai makhluk hidup dengan sistem nilai yang teramat canggih. Tidak sekedar kemampuannya menguak hukum-hukum dari fenomena-fenomena alam, tapi juga mengenai hakikat soal kebermulaan dan keberakhiran alam. Juga hakikat daripada kehidupan itu sendiri yang kini dijalaninya.

Karakter berpikir filosofis memproduksi sistem pengetahuan pada manusia yang akan dijadikannya suatu sistem ideologis yang menjadi dasar dari nilai-nilai di setiap tindakan praktisnya. Sistem nilai, merupakan kekhasan hidup manusia yang terkait antara sistem berpikir, bertindak dan berkarya. Itulah juga, manusia lazim disebut sebagai makhluk yang berbudaya.

Sistem nilai yang cukup canggih itu adalah konstruksi berpikir mengenai hakikat realitas dan termasuk diri manusia sendiri sebagai realitas yang tak terbantahkan. Manusia memiliki kesamaan dengan alam material lainnya, ia bertubuh dan memiliki hukum-hukum ragawi secara biologis. Namun ia makhluk dengan fenomena ruh-batin yang tak mudah diungkap namun dapat dirasakan langsung setiap individu.

Manusia tak hanya merasakan sakit tubuhnya, namun kadangkala sakit hatinya. Di saat yang lain ia merasakan kebahagiaan. Ia memiliki harapan dan ketakutan, memiliki cita-cita maupun obsesi. Dua fenomena dalam satu kesatuan sistem.

Seperti tersebut di muka, dunia tidak berjalan datar-datar saja. Tapi ragam pandangan dunia dan ideologi hadir menghiasi perjalanan sejarahnya. Dan tak bisa dipungkiri, manusia adalah aktor penting dalam sejarahnya sendiri. Ia bertarung memperjuangkan apa yang diyakininya benar atau apa yang diinginkannya secara sepihak atau bersama-sama.

Pertarungan-pertarungan ideologi-ideologis besar dunia, seperti Kapitalisme dan Komunisme tak hanya berkisar di wilayah pemikiran, namun melenggang pada pertempuran senjata yang dilakoni oleh negara-negara yang menganut pandangan ideologi sosial ekonomi-politik tertentu.

Muthahhari dan Pandangan Dunia Agama

Tepat di titik turbulensi inilah, sosok Murtadha Muthhari muncul. Ulama dan Filsuf yang turut mengarsiteki revolusi Islam Iran 1979 ini, hadir dengan wacana keislamannya yang tidak sekedar berhenti di titik ortodoksinya. Justru ia membawa semangat perubahan pemikiran Islam yang diangkat dalam sistem berpikir Pandangan Dunia dan Ideologi.

Pandangan Dunia—sebagaimana dijelaskannya—merupakan pandangan-pandangan manusia mengenai hakikat realitas dengan beragam variasi dan karakteristiknya. Dan dua pandangan di atas: ilmiah-saintifik dan filosofis merupakan dua pandangan mendasar yang dinilainya memiliki pengaruh besar dalam munculnya ideolog-ideologi dunia.

Untuk itu, Muthahhari amat sangat serius merespon pemikiran-pemikiran (worldview) besar dunia dengan kerangka yang amat ilmiah dan filosofis. Dan menariknya, dengan kacamata ilmiah-filosofis inilah ia meletakkan prinsip-prinsip agama (teologis) yang menjadi tawaran pemikiran dunia yang lebih komprehensif.

Baginya, sains hanya menghasilkan pengetahuan mengenai hukum-hukum atas fenomena-fenomena alam, dan berguna secara praktis-teknis untuk pengembangan kehidupan material-teknologis manusia. Sementara Filsafat lebih jauh membawa alam pikir manusia meneropong realitas-realitas non-material yang dicernanya berdasar hukum-hukum berpikir rasional.

Namun keduanya tetap saja tak memberikan kepastian, apa sesungguhnya hakikat realitas sungguh-sungguhnya menjelma pada kenyataan. Filsafat menghantarkan kita pada konsepsi akan keharusan suatu wujud utama (tunggal) atas alam ini, namun bagaimana dan apakah wujud tunggal itu sendiri? Filsafat membimbing manusia untuk mengerti keharusan berakhirnya alam melalui hukum-hukum kesempurnaan, namun apa yang sesungguhnya kelak terjadi pasca berakhirnya alam ini? Dan terutama, bagaimana seharusnya manusia menjalani hidup berdasar semua konstruksi berpikir filosofis di atas?

Dalam pertanyaan-pertanyaan itulah, Muthahhari menampilkan sebuah kerangka berpikir religius sebagai jalan kesempurnaan kehidupan manusia. Prinsip tauhid yang dielaborasinya mengemukakan bahwa sejatinya alam semesta adalah satu kesatuan wujud. Artinya, meski Tuhan dan Alam adalah esensi yang berbeda, namun tak terdapat batas antara keduanya. Maka dimanapun dan kapanpun adalah Tuhan maha Wujud.

Agama hadir menyampaikan satu risalah bahwa alam ini adalah ayat (tanda) bagi keesaan dan kemahakuasaan Tuhan. Dalam keyakinan ini, manusia tak sekedar menjalani hidup dengan rutinitas tiada arti, namun ia menjalaninya dengan suatu keyakinan yang solid. Suatu keyakinan bahwa kehidupannya memiliki arti yang harus diperjuangkan. Dalam agama, Tuhan adalah maha awal, al awwal (yang tak berawal) dan maha akhir, al akhir (dan tak berakhir).

Dalam konstruksi berpikir hubungan manusia dan Tuhan, Muthahhari mengintrodusir konsep fitrah, yakni manusia memiliki fitrah, satu keadaan jiwa yang berpotensi menerima kebenaran ilahi. Dan fitrah inilah yang kelak membawa manusia akan kehendak untuk kembali kepada keharibaanNya. “Kembali ke Tuhan” tak saja dalam pengertiannya yang ontologis (wujud), namun pada sisi aksiologis pula: kehendak berbuat baik dan benar, kehendak mencintai keindahan dan kebenaran, kehendak saling menyayangi dan menjauhi kebencian.

Dan agama, menurut Muthahhari hadir untuk mengaktualkan nilai-nilai fitrah manusia yang luhur agar menjadi sistem ideologis yang menjamin keselamatan manusia hidup di dunia dan akhirat.