Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Bedah Konsep Manusia Bersama Muthhahhari, Analisa Konsep Fitrah: Sebuah Pengantar

1 Pendapat 05.0 / 5

Subyek Misteris

Manusia adalah makhluk misterius. Demikian kata yang dapat kita lontarkan guna menggambarkan begitu rumitnya memahami obyek yang bernama manusia. Deretan pemikir berjibaku memberikan sejumlah interpretasi menyangkut eksistensi dan segala aneka macam yang berkaitan dengan diri dan sosok manusia.

Saat kita berbincang soal cara manusia melihat dunia, kita dapat mengerti bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki wawasan yakni sejumlah pengetahuan mengenai apapun, juga memiliki sebuah perspektif yakni sudut pandang atau paradigma melihat sesuatu sebagaimana yang diketahuinya. “Wawasan” terkait dengan kekayaan pengetahuannya sementara “perspektif” terkait dengan cara ia menginterpretasi realitas melalui yang diketahuinya.

Dalam konteks wawasan dan perspektif ini, menunjukkan kuasa manusia sebagai “subyek” dimana Dunia adalah “obyek”nya. “subyek”-tifitas manusia terutama terkait kesadarannya atas alam. Yakni manusialah entitas alam ini yang memiliki kesadaran akan realitasnya. Sementara makhluk yang lain, selain manusia, meski memiliki kesamaan dengan manusia sebagai realitas alam ini, tak memiliki kesadaran sebagai realitas yang kelak berpotensi memiliki pemikiran dalam menguak hakikat realitas itu sendiri.

Demikian, membuat manusia makin rumit lantaran sifat esensial pada dirinya yang memiliki fitur-fitur tertentu yang tak mungkin bisa disingkap selain oleh dirinya sendiri. Satu-satunya yang bisa mengkaji tentang manusia adalah dirinya sendiri, manusia bisa memahami alam, tapi alam tak akan bisa memahami manusia maupun “diri” alam sendiri. Sehingga segala macam bentuk “kesadaran” hanya terpusat pada sosok manusia.

Siapa itu Manusia?

Sebuah pertanyaan purba yang mungkin cukup membosankan, namun tak pernah kehilangan urgensinya karena manusia hidup sebagai dirinya sebagai manusia.

Dalam konteks ini, Agama turut memberi kontribusi pemikiran—sebagai Pandangan Dunia Agama—dengan mengajukan konsepsi “Fitrah”, yang tak disematkannya kecuali hanya kepada manusia.

Dalam hal ini pula, Syahid Murtadha Muthahhari menegaskan tiadanya istilah dengan bentukan kata“fitrah” (dengan gramatika arab yang mengikuti wazan fi’lah) yang muncul sebelum turunnya al Quran. Muthahhari demikian mengungkapkan konsepsi orisinal agama (baca: al-Quran) yang mengemukakan konsepsi fitrah dalam hubungan penciptaan manusia.

Apa makna fitrah itu sendiri?

Muthahhari menyitir sejumlah ayat al-Quran, diantaranya; QS. Ar-Rum: 30, QS. al-Anbiya’: 56, QS. al-An’am: 79, QS. al-Infithar: 1, QS. al-Muzammil: 19. Dalam sejumlah ayat-ayat di atas, istilah Fitrah dengan pelbagai derivasinya, mengandung makna “al-khalq” atau “al-ibda’” yang berarti sesuatu yang diciptakan tanpa contoh sebelumnya. Menurut segi bentuk katanya, Fitrah juga memiliki arti “keadaan tertentu” dalam segi penciptaannya, yang berarti kekhususan keadaan tersebut yang menjadi fitrahnya.

Agama dan Fitrah

Terkait apa kekhususan tersebut, hal ini dapat dijelaskan bahwa jika penciptaan manusia tak memiliki contoh sebelumnya, atau tak berasal dari sesuatu yang lain sebelumnya, maka dengan pasti dapat dikatakan bahwa penciptaan manusia semata berasal dari hakikat ketuhanan itu sendiri. Secara logis dapat dikatakan bahwa sejak semula, manusia adalah makhluk yang beragama, dalam pengertian memiliki nilai-nilai ilahiyah dalam dirinya sebagai fitrahnya. Atau agama (dalam pengertian nilai-nilai atau hakikat ilahiyah) adalah kontruksi awal penciptaan manusia.

Sebagai bukti, banyak hadist Nabi yang mengkukuhkan pandangan ini, dimana salah satunya dikutip oleh Muthahhari dari riwayat yang dikemukan oleh Ibnu Atsir “Barang siapa yang melakukan dosa dan mati tidak dalam Fitrah Muhammad………………..” Ibnu Atsir menjelaskan bahwa lafal Fitrah tersebut bermakna agama, yakni agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.

Dengan demikian pula, Muthahhari memberi penegasan, bahwa dengan fitrah itulah manusia akan memiliki kesiapan untuk menerima agama sebagai syariat karena telah ada dalam dirinya agama sebagai fitrah yang mencerminkan nilai-nilai transenden ilahiyah. Maka semestisnya agama adalah suatu kewajaran dan keintiman bagi manusia, bukan suatu yang asing yang menjadikan manusia dapat teralienasi dari dirinya sebagaimana dugaan kaum materialis maupun ateis.

Beberapa istilah al-Quran dikemukakan oleh Muthahhari dalam kaitan Fitrah dan agama: al-Fitrah, as-Sibghah dan al-Hanif. Menurutnya ketiga istilah tersebut memiliki makna agama atau ihwal keberagamaan.

Seperti kata sibghah yang terkutip dalam QS. al-Baqarah: 136; “Sibghah Allah, dan siapakah yang lebih baik sibghahnya dari sibghah Allah….” Sibghah yang secara bahasa berarti “celupan” yang memberi warna pertama kali pada sesuatu. Berarti celupan warna Tuhanlah yang pertama kali mengenai manusia yakni warna agama (nilai-nilai ilahiyah), dan itulah celupan terbaik. Hal ini sebagai respon konsepsi pembaptisan yang dilakukan oleh orang-orang berkepercayaan nasrani.

Terkait konsep al-Hanif, termaktub dalam QS. Ali Imran: 67, “Ibrahim bukanlah seorang Yahudi, bukan pula seorang Nasrani, melainkan ia adalah seorang yang Hanif dan berserah diri”. Dengan ayat ini juga ditegaskan bahwa hanif adalah agama atau ajaran tentang keberserahan diri seorang hamba kepada Tuhannya, paralel dengan konsep ‘islam’ sebagai agama kepasrahan kepada Tuhan.

Ayat di atas, tegas Muthahhari, menunjukkan bahwa ajaran kenabian adalah ajaran yang satu, yakni Tauhid, mulai Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Yang berarti ajaran Islam sebagai ajaran Tauhid adalah agama semua Nabi. Maka tidak seorang Nabipun yang mengajarkan selain ajaran Islam, ajaran Tauhid.

Maka Tauhid, sebagai inti ajaran Islam, ajaran agama semua nabi, adalah fitrah kemanusiaan belaka, sehingga risalah kenabian, adalah risalah kemanusiaan, karena setiap manusia tercipta atas fitrahnya, dan fitrah utama manusia adalah warna (sibghah) ilahiyah, hanifiyah (kecenderungan pada kebenaran), dan Islam (keberserahan total pada Tuhan).