Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Kosmologi dan Manusia sebagai “Makrokosmos”

1 Pendapat 05.0 / 5

Sejak kehadirannya di alam ini, manusia tak menampik bahwa ia hidup dengan kehidupan di alam yang konkret. Matahari yang ia saksikan dan rasakan panasnya, lautan yang terhampar luas, bumi yang membentang dan planet-planet luar angkasa yang bertebaran tanpa jumlah yang pasti, semua jelas-jelas diakui keberadaannya oleh manusia, yakni ia saksikan alam ini ada. Kesemuanya, langit dan bumi beserta seiisinya lantas kita sebut “alam”.

Alam terkait dengan konsepsi mengenai Ruang dan Waktu. Yakni segala jenis fenomena yang muncul, terjadi dalam ruang dan waktu, artinya terbatas. Jika kemarin sore kita sedang membaca buku, maka tindakan tersebut tak akan mungkin terulang lagi, karena waktu membatasi kita. Kemarin adalah kemarin, esok adalah esok, dan sekarang adalah sekarang.

Dalam lingkup keberadaan alam ini, maka segala jenis maujud yang ada di dalamnya, mesti pula terikat dalam batas-batas ruang dan waktu. Dalam ruang dan waktu, terjadi perubahan, pergeseran, pergerakan, yang menunjukkan adanya keterbatasan, titik awal dari akhir yang sebelumnya, dan titik akhir bagi awal yang setelahnya.

Dalam ruang dan waktu, maka hukum-hukum yang menyertai segala eksistensi pada alam ini pun terbatas. Artinya, setiap benda materi di alam ini memiliki keterbatasan pada sistem yang mensituasikannya. Justru dengan keterbatasan inilah alam ini bekerja secara teratur, yakni tiap entitas alam ini bergerak berdasar tatanan sistem yang harmoni dan teratur. Oleh keteraturannya, alam ini disebut cosmos. Lawannya ialah “khaos”, yang berarti “kacau balau”.

Maka kosmologi dengan ‘logos” yang berarti “asas rasional” menjadi semacam telaah ilmiah mengenai fenomena alam sebagai “sistem yang teratur”.

Namun bagaimana alam bisa bekerja teratur? Apakah ia dapat saling berkoordinasi satu sama lain secara independen? Atau ada pusat koordinasi keteraturannya? Dan tentu saja, pertanyaan fundamental dapat muncul, apakah alam ini ada dengan sendirinya sehingga dapat menciptakan sistem pada dirinya sendiri, atau ia memiliki pencipta?

Kosmologi telah cukup lama menjadi obyek kajian pemikiran manusia, baik secara ilmiah-saintifik maupun filosofis-spekulatif, bahkan agama juga terlibat dalam wacana soal ini. Kita dapat mengulang ingatan kita soal dogma Gereja Abad Tengah, soal apakah Matahari atau Bumi yang menjadi pusat Tata Surya. Bagaimanapun kosmologi terkait dengan konsepsi mengenai alam, yang kelak akan bersinggungan dengan ajaran atau kepercayaan mengenai hakikat alam ini.

Paradigma sains, mencoba menyimpulkan bagaimana alam ini berserakan, terpisah satu dzat dengan dzat yang lain, menyingkap watak alamiah (hukum alam) pada setiap materi. Namun, adakah “ruang” sebelum dimensi ruang di alam ini, adakah waktu sebelum dimensi waktu alam ini? Tentu hal ini bukan wilayah sains. Tegasnya, jika alam ini terbatas pada ruang dan waktu, apakah ada yang tak terbatas pada ruang dan waktu? Karena bagaimanapun, secara rasional, konsepsi keterbatasan mengindikasikan adanya eksistensi lain yang juga dibatasi, meskipun jika demikian, kelak nantinya batasan demi batasan akan makin tak terhingga.

Faktanya, manusia hanya sanggup mengalami alamnya yang terbatas, meski pikirannya dapat melambung tinggi menyusuri kemungkinan-kemungkinan realitas yang justru tak akan pernah sanggup dipahaminya.

Seorang filsuf besar Yunani Kuno, Plato, meyakini akan sifat mortalitas alam material, dan melihat alam ini hanya sebagai bayangan dari Alam yang sesungguhnya. Karena alam ini hanya bayangan, maka ia tak akan pernah mandiri bahkan abadi, ia hanya akan selalu bersandar pada hakikatnya, yakni Alam Idea. Alam Idea inilah yang akan selalu abadi, tiada batas ruang dan waktu, dan karenanya ia sempurna. Jiwa manusia, menurut Plato, berasal dari alam ini, sehingga jiwa manusia memiliki potensi untuk menyempurna dengan pengetahuan-pengetahuan universal sebagaiamana universalitas alam Idea.

“Alam” adalah sebuah istilah dalam bahasa arab, yang berdekatan maknanya dengan “alamatun”, yakni tanda, petunjuk akan sesuatu. Dan Islam pun ikut memperkenalkan alam sebagai ayat-ayat Tuhan. Maka Alam dinamakan Alam karena eksistensinya yang tidak hakiki pada dirinya, karena ia hanya petunjuk akan adanya Dzat lain yang hakiki. Hal ini pula yang berkembang dari tradisi pemikiran sufisme Islam, yakni Alam adalah lokus manifestasi Tuhan. Alam bukanlah Tuhan (Tanzih), namun Alam bukan yang lain sama sekali dari Tuhan (Tasybih).

Hukum alam dengan segala kompleksitasnya, ditemukan berdasar analisa saintifik, hingga dengan ekstrimnya ia menjadi paradigma mendasar yang kita saksikan pada konstruksi kaum positivis yang melakukan reifikasi “pembendaan” atas segala hal. Namun, apa yang musykil pada kaum positivis adalah diri mereka sebagai manusia yang memiliki “kecanggihan” nalar, dimana gerak pikiran tentu akan berbeda dengan gerak mekanik alam material.

Gerak mekanik alam material tak memiliki nilai sejauh sebagai dirinya sebagai substansi material. Ia memiliki arti sejauh dirinya menunjukkan suatu wujud yang jauh lebih tinggi nilai derajat kemaujudannya. Karena substansi materi secara praktis berguna bagi sisi lahir kehidupan manusia. Namun, bagaimana sisi batin? yang memiliki dinamika dan otentitsitas pengalaman lebih mendalam.

 

Manusia Sebagai Makrokosmos

Kosmologi dalam tradisi intelektual Islam lebih banyak menekankah pada telaah filosofis, yakni mengenai apakah alam ini bersifat azali atau qodim, atau bersifat baru (hadsit) seperti pada pemikiran kaum peripatetik hingga memuncak dalam debat dua pemikir besar al Ghazali dan Ibn Rusyd. Juga yang tak kalah menarik adalah khazanah yang diinisiasi kaum sufi yang melahirkan sejumlah karya, dengan titik tumpu pemikiran pada konsepsi alam sebagai wajah Tuhan, sehingga alam adalah cara Tuhan menghadirkan diriNya.

Meski alam ini umumnya disebut makrokosmos, sementara alam diri manusia disebut mikrokosmos, namun pada nilai keluasan makna justru alam diri batin manusia yang layak disebut sebagai makrokosmos, karena alam pengetahuan dan penghayatan yang dimiliki manusia dapat menampung pemikiran mengenai alam semesta material, bahkan ia dapat menangkap keniscayaan akan adanya dzat yang menguasai alam ini.

Alam jiwa batin manusia, yang mengenali bahwa kehadiran alam ini bukanlah sekedar sebagai serakan benda-benda material, namun semua maujud adalah wujudNya. Maka semua maujud adalah manifestasi akan sifat-sifatNya. Dan manusia dengan derajat nilai kosmik yang tinggi (sebagai “makrokosmos”) adalah entitas wujud yang mampung menampung sifat-sifat Tuhan. Bahkan hingga pada satu titik imajinasi yang sangat liar tak terbendung, manusia masih sanggup merasa sebagai Tuhan!, suatu imajinasi yang tak akan dimiliki makhluk lain, sekalipun syetan, makhluk durjana.