Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Filsafat dan Karakter Kosmik Perempuan

0 Pendapat 00.0 / 5

Logika: Tashawwur – Tashdik

Filsafat sebagaimana dikembangkan oleh para filsuf muslim, menunjukkan pola berpikir yang bekerja dalam pendekatan induktif. Yakni para filsuf menerima segala informasi ilmiah (partikular) yang didapatkan oleh akses panca indra sebagaimana pendekatan kaum empiris pada umumnya. Meski demikian, para filsuf muslim tersebut tak berhenti hanya pada informasi (pengetahuan indrawi) belaka, namun mereka menegaskan ada pengetahuan yang sifatnya sekunder namun justru berfungsi menjelaskan pelbagai hal yang tidak terdapat dalam pengetahuan ilmiah, antara lain konsep logika dan filsafat sendiri.

Pendekatan induktif menganjurkan pada kita untuk menyerap sebanyak-banyaknya informasi dari manapun, tanpa pandang bulu, yang berarti mesti ada kesediaan menjadi pendengar, pembaca dan pengamat yang baik. Hal ini penting agar kita tak terjebak pada pengetahuan yang sepotong-sepotong dari sebuah informasi, narasi, atau wacana tertentu. Semakin banyak informasi kita serap semakin memudahkan kita menemukan karakter, ritme, dan pola dari informasi tersebut sebelum nantinya kita menilai kemungkinan obyektifnya (kebenarannya).

Proses penyerapan informasi melalui keseluruhan panca indera atau alat lain yang kita miliki kita sebut TASHAWWUR, yakni penggambaran atau deskripsi sesuatu dalam pemahaman kita. Dalam konsepsi Tashawwur ini yang menjadi penting ditelusuri adalah sumber utamanya: dari mana info, konsep, teori, narasi, dan wacana ini dan itu muncul? Lantas bagaimana tepatnya info tersebut? Sehingga dalam tashawwur yang penting diperhatikan adalah VALIDITAS.

Begitu informasi telah kita peroleh, maka berikutnya kita akan menilai kebenaran secara materiil, artinya menilai pada segi substansinya apakah ia mengandung kebenaran atau tidak. Pada tahap ini lazim dalam Filsafat Islam dikenal dengan istilah TASHDIK (asersi/afirmasi). Secara logis dapat kita katakan bahwa mustahil mentashdik/menilai atau mengafirmasi sesuatu, bila sesuatu tersebut tak ada dalam pengetahuan kita. Dengan kata lain: menilai sesuatu meniscayakan adanya pengetahuan atas sesuatu tersebut. Bahasa enaknya: “Tashawwur dulu bro, baru tashdik”, kita harus memiliki pengetahuan yang jelas tentang sesuatu sebelum menilainya. Mengapa Tashdik diperlukan? Dengan mudah bisa kita jawab, karena validitas sesuatu informasi, narasi ataupun wacana tak meniscayakan kebenaran substantifnya. Ibarat dalam dunia hukum, kebenaran formil tak berarti kebenaran materiil.

Hal ini penting disadari, karena kita seringkali mendapat informasi yang belum diuji validitasnya tiba-tiba kita pun ikut-ikutan menghakimi, menilai dan lebih-lebih menuduhnya. Atau terdapat bentuk penilaian oleh orang lain yang kita ikuti bahkan kita menfanatiki orang tersebut tanpa kita mengerti bagaimana orang tersebut mendapat kelengkapan informasi yang dinilainya. Di sinilah pentingnya kejujuran intelektual atau kritik konstruktif dengan mencoba menghindari hegemoni akademik atas pembagian stratifikasi kelas sosial ataupun akademik. Karena dalam diskursus ilmu pengetahuan manusia mesti didudukkan sebagai subyek yang berhak untuk diperhatikan analisa dan pendapatnya. Bukanlah obyek tempat kita lampiaskan subyektivisme serta superioritas individu satu atas lainnya.

Tashawwur dengan karakternya sebagai PENERIMA (informasi, pengetahuan) dan Tashdik dengan karakternya MEMBERI (penilaian), adalah dua bentuk keseimbangan di alam. Pola ini mesti terjadi pada segala hal di dunia ini bila kita menginginkan keseimbangan. Dalam tataran komunikasi misalnya, kita tak boleh selalu merasa sebagai orang yang selalu berhak ngomong, suatu ketika kita harus menjadi pendengar yang baik. Banyak orang lain selain kita yang juga butuh didengarkan suaranya. Inilah kosmologi: keseimbangan, keteraturan.

 

Integrasi Jiwa dan Feminitas Perempuan

Melihat sistem Filsafat Islam yang memberi landasan integratif kesatuan semesta, mengindikasikan bahwa Tuhan, Alam, dan Manusia terikat dalam satu hubungan eksistensial (tasykikul wujud-gradasi wujud) di mana Tuhan berhubungan dengan alam melalui Jiwa manusia. Karena manusia diberikan amanah kekhalifahan atas dunia. Adalah Jiwa yang feminin yang menerima dengan tunduk dan ikhlas atas segala titah Tuhan (Taslim, Islam), Jiwa yang feminin adalah jiwa yang menyaksikan Tuhannya. Jiwa yang feminin mendapati tubuh yang juga feminin: demikianlah PEREMPUAN hadir di dunia ini. Dirinya adalah cermin keindahan Tuhan. Cara Tuhan mewakilkan keindahan diriNya. Tuhan begitu berkuasa, maskulin—dalam kitab suci disebut “Huwa”, (dia-maskulin) seperti “huwallahu”, “huwalladzi la ilaha illahu”, dan redaksi “huwa” lainnya—dan jiwa siap menerima lamaran kuasa dan maskulinitas Tuhan. Jiwa menjadi indah karena keindahan Tuhan (yang bertajalli). Keindahannya (jiwa) adalah manisfestasi dari keindahanNya (Tuhan). Keindahan ini harus dijaga kesuciannya, karena ia pusat keseimbangan alam. Ada Tuhan di alam melalui jiwa Manusia.

Jiwa manusia yang feminin mesti hanya merindukan tuannya, Tuhan. Namun, kerinduan tersebut tak serta merta dapat kembali sebagaimana awal penciptaannya. Maka jiwa harus menemui tuannya di alam, tapi bukankah alam adalah keterpilahan, dan Tuhan adalah Satu? Bukankah alam bersifat temporer dan Tuhan kekal-abadi? Maka persepsi akal-rasional adalah cara jiwa menemukan Tuhan melalui alam, dan menemukan keterkaitan alam dengan Tuhannya. Tanpa menemukan kaitan tersebut, maka sistem keseimbangan tak mungkin dapat kita pahami.

Sistem keseimbangan alam ini berfungsi untuk menjadi panduan manusia untuk bertindak dalam kehidupan baik antar sesamanya dan alam sekitarnya. Jiwa Feminin menerima keindahan Tuhan (fitrah), dan jiwa maskulin mengaktualisasikan nilai-nilai dalam kehidupan nyata (akhlak). Dengan demikian memutus pertalian kosmik jiwa dan Tubuh, hanya akan menjebak kemanusiaan pada tubuh belaka, tak puas dengan satu tubuh berpindah pada tubuh yang lain. Eksploitasi alam atas kepentingan tubuh.

Sebagaimana pada perempuan, lelakipun memiliki feminitas tersebut, itu sebabnya lelaki selalu merindukan “realitas jiwanya”, dan itu ada pada sosok perempuan. Lelaki mencari perempuan sebagaimana Adam mencari Hawa untuk kembali (menemukan kembali keindahan Tuhan), begitu pula perempuan ia ingin terjaga jiwanya, terjaga cintanya, maka ia membutuhkan maskulinitas guna melindungi kesuciannya, dan itu ada pada sosok lelaki. Keduanya saling merindu oleh karena Jiwa yang Ruh Tuhan bersemedi di dalamnya. Perkawinan antara dua anak manusia bernilai kosmik di hadapan Tuhan, sehingga dalam satu tubuh hadir sakinah, mawaddah dan Rahmat. Kosmik bernilai abadi, maka ikatan cinta dengan pertalian kosmik akan bersifat abadi pula. Namun tubuh bernilai temporal, dan cinta yang hanya diikat pada nafsu jasadi tak akan menunggu lama untuk hancur.

Inilah Kosmologi Perempuan, pusat keseimbangan alam, pembawa Cinta Ilahi. Keagungan dan keindahan Ilahi tersirat pada dirinya.