Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Hidupkan Hatimu dengan Nasihat

1 Pendapat 05.0 / 5

Sebuah wasiat yang dinukil oleh para ahli hadis di dalam kitab-kitab mereka seperti Allamah Majlisi di dalam “Bihar al-Anwar” dan lainnya, dari Imam Ali kepada putranya, Sayidina Hasan (dalam riwayat lain –dengan sejumlah perbedaan teks- kepada Muhammad Hanafiah), bukan dalam arti khusus terkait kematian dan teruntuk putranya saja.

Poin penting lainnya yang dijelaskan oleh Allamah Syaikh Misbah Yazdi di dalam mukadimah bukunya, “Pand Jawid”, jilid I, ialah mengenai posisi pemberi wasiat dan penerimanya, yang notabene –menurut Syiah Imamiyah- dua imam ma’shum. Dirasa perlu menjelaskan poin ini, karena di sana terdapat pandangan yang mengatakan, wasiat tersebut berdasarkan sejumlah ungkapan di dalamnya tidak sesuai dengan posisi kemaksuman.

Selain bagi Imam Ali sendiri sebagai pemberi wasiat, juga tak patut bagi penerimanya, Imam Hasan, yang dalam riwayat itu disifati dengan “tâjir al-ghurûr” (yang terpedaya), “sharî’ asy-syahawât” (yang dikalahkan syahwat), misalnya. Kiranya, riwayat itu tidak qath’iy ash-shudûr (dipastikan berasal dari sumbernya), tetapi muatan-muatan ilahiah yang terkandung di dalamnya dan dinukil oleh ulama terkemuka, menyimpulkan zhan atau kemungkinan yang kuat berasal dari Imam.

Kiranya pula dalam wasiat itu keduanya di posisi sebagai seorang imam yang maksum berwasiat kepada seorang imam yang maksum pula, apa yang akan disampaikan di dalamnya sesuai tingkat kedudukan mereka yang tinggi, di luar potensi kita dan tak ada kaitannya dengan kita. Juga bukanlah sesuatu yang samar di antara keduanya yang sama-sama berilmu ghaib.

Yang benar, kendati dari Imam Ali kepada putranya yang maksum, wasiat tersebut juga ditujukan kepada umat dan agar dapat mereka petik muatan-muatannya. Beliau berwasiat sebagai seorang ayah yang sudah sepuh kepada setiap pengikut dan generasi penerusnya. Minal wâlidil fânilal waladil mu`ammal; “Dari seorang ayah yang memfana… kepada seorang putra yang diharapkan..”

 

Hakikat Manusia, Hatinya

Demikian bagian dari penjelasan Allamah terkait wasiat Imam Ali, setelah mengungkapkan posisinya dan posisi putranya, yang berlaku bagi umat Islam, beliau bertutur kepada putranya:

أحي قلبك بالموعظة وأمته بالزهد وقوه باليقين ونوره بالحكمة

“Putraku, hidupkan hatimu dengan nasihat; matikan ia dengan kezuhudan; perkuat ia dengan keyakinan dan sinari ia dengan hikmah..”

Di sini Imam mengawali pesan pentingnya tentang hati manusia. Karena hakikat manusia adalah hatinya. Jika manusia ingin memperbaiki diri, maka perbaikilah hatinya. Jika ingin dekat dengan Tuhan, maka berangkatlah dari hati untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan. Jika seseorang ingin membersihkan diri dari kenistaan, maka bersihkanlah hatinya. Dapat disimpulkan bahwa hati memainkan peran fundamental dalam kehidupan manusia.

Seperti halnya indera dan akal, hati juga melihat dan mendengar, mengetahui dan memahami sesuatu yang tak kasat. Tidaklah salah apa yang hati lihat; mâ kadzabal fu`âdu mâ ra`â (QS.An-Najm  11). Jika hati melihat Tuhan, diungkapkan oleh Imam Ali: “Tuhan tak terlihat oleh mata dengan penglihatan kasat ini, tetapi terlihat oleh hati dengan kebenaran iman.”

 

Dua Sisi Hati

Itulah pengetahuan hati, yang diistilahkan dengan ilmu hudhuri. Selain berpengetahuan, hati juga berperasaan; mencintai, membenci, gembira dan gundah.

Hati adalah entitas yang beraksi dan berkondisi. Jika berlaku sebagaimana mustinya, berarti hati itu sehat dan diinginkan. Jika tidak berlaku sebagaimana mustinya, berarti hati itu sakit dan tak diinginkan.

Hati dalam wasiat Imam tersebut ibarat dua sisi mata uang; yang satu harus hidup dan yang lain harus mati. Keduanya harus memiliki kecenderungan yang berlawanan, bahwa:

1-Sisi yang satu cenderung pada kesempurnaan dan kedekatan dengan Allah. Adalah keadaan hati yang diinginkan, harus hidup dan dihidupkan; harus kuat dan diperkuat. Keadaan sebaliknya, yakni kematiannya adalah hal yang tidak diinginkan.

2-Sisi yang lain cenderung pada kenistaan dan kerendahan haiwani dan syaitani. Adalah keadaan hati yang tak diinginkan, harus mati atau dimatikan; harus lemah dan dilemahkan.

 

Cara Menghidupkan Hati di Satu Sisi dan Mematikannya di Sisi Lain

Bagaimana caranya? Imam menjelaskan: “Hidupkan hatimu dengan nasihat!”. Yakni, dengarkan nasihat! Baca atau telaahlah bacaan yang memuat nasihat, terutama dari Alquran dan hadis Nabi saw serta Ahlulbaitnya.

Atau, nasihatilah diri sendiri! Bahwa, setiap orang menjadi penasihat bagi dirinya sendiri; mengajari dan mengingatkan dirinya sendiri. Misal ia menyadari dirinya hari kemaren malas, tak berhasrat untuk berbuat suatu kebaikan. Menunjukkan keadaan hatinya -yang cenderung pada kebaikan semestinya hidup- menjadi pasif. Setelah mendengar atau membaca nasihat, timbul hasrat untuk berbuat kebaikan.

Ada faktor-faktor fisiologis di sana, yang menimbulkan suatu hal pada diri seseorang. Misalnya, dia melihat atau mendengarkan hal-hal yang menguatkan kecenderungan haiwani dan menurunkan spirit belajar dan beramal. Keadaan hati yang demikian, harus dimatikan. Bagaimana mematikannya?

Imam berkata, “Wa amithu biz zuhdi; “Matikan hati dengan kezuhudan..”.

 

Referensi:

Pand Jawid (1)/Allamah M.Taqi Misbah Yazdi