Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Telaah atas hadis dari Imam Ja’far Shadiq AS Seputar Nikmat

1 Pendapat 05.0 / 5

Dalam keseharian nikmat sering kita gunakan dalam memaknai berbagai anugrah dari Allah, berupa makanan, kesehatan, panjang umur dan semacamnya.

Suatu Ketika Imam Ja’far Shadiq bertemu dengan Imam Abu Hanifah, pada kesempatan itu Imam mereview pendapat Imam Abu Hanifah dalam menjelaskan makna dari salah satu ayat dalam surat At Takatsur.

Abu Hanifah menjelaskan bahwa makna dari na’im dalam ayat itu adalah nikmat makanan-makanan sedap dan minuman yang menyegarkan.

Demikian kutipan dialog antara Imam Shadiq AS dengan Imam Abu Hanifah.

Imam Shadiq AS mengarah ke Abu Hanifah dan berkata

“Saya dengar anda telah menafsirkan ayat yang berbunyi

Tsumma latus alunna yaumaidzin anin naim

Jelas bahwa di hari kiamat akan dipertanyakan nikmat yang sudah diberikan (kepada manusia)[1]

Anda menafsirkan demikian bahwa Allah akan menanyakan nikmat berupa makanan-makanan nikmat dan air-air yang segar pada hari qiamat nanti.

Abu Hanifah berkata:

“Memang benar, ayat itu aku tafsirkan seperti itu”

Imam Shadiq AS berkata:

“Jika seseorang mengundang anda untuk makan, lalu dia menjamu anda dengan makanan yang enak dan minuman yang menyegarkan, lalu dikemudian hari orang itu mengungkit-ungkit pemberian ini, bagaimana anda menghukumi orang yang seperti ini?”

Abu Hanifah berkata:

“Lalu apa makna dari nikmat-nikmat yang tertera dalam quran yang kelak akan dipertanyakan?”

Imam Shadiq berkata

“Maksud dari nikmat itu adalah nikmat wilayah kami Ahlul Bait (Alaihimu salam), kelak di hari kiamat akan ditanyakan terkait wilayah kami Ahlul Bait AS”.[2]

Kata yang bersandingdekat dengan nikmat adalah kata syukur, ketika manusia mendapatkan karunia berupa nikmat maka dia wajib bersyukur atas nikmat itu. Bersyukur dengan menggunakan nikmat itu secara proporsional tidak berlebih lebihan sehingga tidak menjadi musyrifin, orang-orang yang isyraf, bahkan dengan sikap proporsional itulah mengapa mereka mampu berbagi dengan orang lain, wa minma razaqnaahum yunfiquun. Dan mereka menginfakkan sebagian dari nikmat yang kami rizkikan kepada mereka [3]

Quran cukup sering menggunakan kosakata nikmat, bahkan di surat pertama, surat Al Fatihah kita juga mendapati kata nikmat sebagai kata kunci, penjelas siapa saja orang yang layak diikuti agar bisa berada di shirathal mustaqim, jalan yang lurus, karena mereka adalah orang-orang yang dijamin kebenarannya, sehingga jika bertanya dan merujuk kepada orang-orang ini maka orang tidak perlu merasa ragu dan khawatir, bertanya kepada orang yang sudah mendapatkan nikmat ini adalah sebuah jalan pasti menuju jalan yang benar, yang diridhai Allah SWT.

Ayat Ihdinash shirathal mustaqim, shirathal lazina anamta alaihim, tunjukkanlah kami jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat. Menjadi pelengkap dari penjelasan Imam Shadiq diatas, bahwa nikmat yang kelak akan dipertanyakan pada hari kiamat adalah nikmat keberadaan Ahlul Bait di tengah-tengah masyarakat, Ahlul Bait sebagai imam yang paling tepat dan proporsional dalam memimpin umat manusia menuju rido Allah SWT. Ahlul Bait sebagai rujukan dalam bertanya berbagai hal dalam menyelesaikan permasalahan duniawi dan ukhrawi. Ahlul Bait yang sudah memberikan suri tauladan terbaik dalam berbagai bentuk kondisi yang berbeda-beda antara satu imam dengan imam yang lain, sehingga umat manusia tidak kebingungan dalam mencari prototipe figur kehidupan. Mereka yang telah menjadi utusan Allah menjelaskan Quran sebagai buku petunjuk hingga akhir zaman, mereka yang telah membukakan kunci-kunci dasar keilmuan yang bisa dikembangkan menjadi berbagai hal dan teknologi kekinian yang digunakan untuk mempermudah dan membantu kehidupan manusia. Mereka telah memberikan khidmat terbaik kepada manusia. Memberikan konsep paling utama bagi manusia.

Kita melihat beberapa contoh saja maka kita akan menyimpulkan bahwa Ahlul Bait benar-benar nikmat besar karunia-Nya, Imam Ali AS yang satu dari serangkaian nasihatnya kepada Malik Al Asytar “Yang bukan saudaramu seiman, adalah saudara dalam kemanusiaan.” Kalimat yang dikukuhkan di dewan keamanan PBB, semua manusia sepakat dengan kebenaran ucapan ini, sebuah kenyataan yang kadang tidak disadari sebagian manusia.

Ahlul Bait AS adalah manusia-manusia universal, mereka adalah satu hanya saja hidup pada jaman yang berbeda-beda, mereka adalah manusia 250 tahun.[4]

Ketika Imam Shadiq AS menyebutkan bahwa keberadaan Ahlul Bait AS adalah sebuah nikmat yang akan dipertanyakan, hal ini harus digarisbawahi sehingga umat manusia berusaha keras untuk mengenal mereka, kemudian menjalankan berbagai nasihat yang mereka berikan. Menjalankan nasihat dari Ahlul Bait sebagaimana meyakini dan menjalankan kalimat Imam Ali AS, “Yang bukan saudaramu seiman, adalah saudara dalam kemanusiaan.”

Kalimat yang mengajarkan untuk saling menghormati, saling menghargai, saling menyayangi, dengan konsep ini semua manusia akan hidup damai, tidak akan ada ketimpangan sosial, jurang pemisah antara si miskin dan si kaya tidak akan sangat lebar dan curam, tidak akan ada lagi orang yang tidak mampu makan, semua saling menolong dan mendukung sebagai sesama saudara.

Keadilan akan merata meliputi bumi. Sangat disayangkan jika ada manusia yang tidak mengenal Ahlul Bait sehingga tidak bisa belajar dan mengambil hikmah dari mereka. Khususnya bagi kalangan umat Islam yang menjadikan Quran sebagai sandaran dan pedoman, karena Ahlul Bait adalah satu-satunya sandaran dan rujukan terbaik untuk mengetahui penjelasan rinci dan jelas dari AlQuran serta dapat dipertanggungjawabkan.

Tsumma latus alunna yaumaidzin anin naim

Jelas bahwa di hari kiamat akan dipertanyakan nikmat yang sudah diberikan (kepada manusia)[5]

Semoga dihari kebangkitan kita bangkit sebagai orang yang telah mensyukuri nikmat keberadaan Ahlul Bait AS.

CATATAN:

[1] QS At Takatsur: 08.

[2] Mustadrak Al Wasail, Juz 16, Hal 247.

[3] QS Al Baqarah: 03.

[4] Ucapan Rahbar Sayid Ali Khamenei.

[5] QS At Takatsur: 08.