Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Life is a Choice!

1 Pendapat 05.0 / 5

Muslimin(1) dibanding dengan para pemeluk agama selain Islam, menurut Syekh Ibrahim Amini dalam bukunya “Azadi, Aql wa Iman”, memiliki sejarah yang lebih baik dalam hal kebebasan berkeyakinan. Sedangkan kaum nasrani, dalam pengakuan Jhon Dion, tidak ada di tempat lain peperangan atas nama agama yang paling mengerikan selain di tengah mereka ini, yang berkelanjutan selama berabad-abad.

Ia pun mengakui bahwa jutaan orang Afrika dan Asia memeluk Islam atas keinginan mereka, bukan atas paksaan. Ungkapan ini tak diingkari oleh Gustov Lobon, dan dia sangat menyayangkan kaum kristen (yang dipahami penulis, secara historis eksistensi agama mereka lebih dulu dari agama Islam), harus belajar tentang toleransi keagamaan kepada muslimin. Menurutnya, hal menghormati agama lain dan tidak memaksa orang untuk menerima agama mereka, adalah bagian dari undang-undang dunia (seluruh bangsa).

life is a choiceYa, muslimin telah mengindahkan pesan Nabi saw, yang pernah beliau sampaikan kepada yang ditugaskan di Yaman: “Jika kaum Yahudi dan Nasrani menghendaki tetap dalam ajaran mereka, biarkan dan jangan kalian paksa mereka menerima Islam. Dengan membayar pajak, lindungi mereka di bawah naungan pemerintahan Islam.”(2)

Tiada Paksaan dalam Agama

Poin yang disebutkan dalam Alquran (QS: Al-Baqarah 256) ini diumumkan oleh Rasulullah saw kepada penduduk Yaman, bahwa kaum Yahudi dan Nasrani tidak boleh ditekan dalam menjalankan agama mereka. Juga bahwa siapa yang masuk Islam niscaya membawa hak dan tugas seorang muslim.

Kebebasan beragama ini pun terdapat di dalam perjanjian Hudaibiyah antara Rasulullah saw dan kaum Quraisy: “Tak seorangpun dalam keagamaan dipaksa dan diganggu..”. Beliau katakan kepada para tokoh agama Nasrani Najran, bahwa tempat-tempat sentra keagamaan mereka, termasuk kepemimpinan mereka menjadi urusan mereka. Para pemuka dan pengikut mereka mendapatkan keamanan.

Ajaran (toleransi) yang demikian sepeninggal Nabi saw melekat dalam diri muslimin, dan mereka mengikuti jejak beliau ini. Tak terkecuali khalifah kedua, Umar bin Khatab, setelah penaklukan Palestina ketika penduduknya memohon agar ia menanda tangani sebuah perjanjian dengan mereka, menegaskan bahwa: mereka tidak dipaksa atas agama mereka. Dengan demikian, kaum Nasrani dibebaskan dalam menentukan agama bagi diri mereka, menjadi orang Islam atau tetap sebagai Nasrani.
Kata Mereka: Lebih Baik Hidup dalam Otoritas Islam

Tetapi dunia menyaksikan bagaimana balasan dari kaum masehi, ketika mereka memasuki Baitul Maqdis, muslimin dibunuh mereka secara masal.(3) Entah bangsa Eropa itu sudah lupa atau memang tidak mengetahui, bagaimana sikap muslimin terhadap mereka, bahwa pribadi orang-orang Islam masa itu dapat hidup dengan para pemeluk agama lain, dan toleran terhadap mereka.

Sedemikian tolerannya muslimin terhadap para pemeluk agama-agama yang lain, sampai kaum Yahudi lebih memilih hidup dalam otoritas Islam ketimbang dalam otoritas kristen. Bagi kaum Nasrani Timur, mereka merasa jauh lebih nyaman di bawah naungan Islam daripada Romawi. Juga bagi kaum Majusi, pajak yang harus mereka bayar kepada muslimin lebih ringan, daripada upeti perorangan yang harus mereka serahkan kepada pemerintahan Sasani sebelumnya.

Oleh karena itu kaum non muslim, khususnya orang-orang Nasrani (masa kejayaan Islam kala itu) dalam ketertindasan di tangan gereja, mereka mencari perlindungan kepada otoritas Islam.


Intoleransi Malah Terhadap yang Seagama

Sisi lain bagi sejarah toleransi muslimin terhadap kaum non muslim tersebut, adalah sikap sebaliknya terhadap yang seagama. Yaitu Intoleransi terhadap yang “satu tubuh” dengan mereka. Kepentingan politik salah satu sebabnya, yang memalingkan diri mereka dari ajaran-ajaran fundamental dan pada cara-cara yang tercela.

Dalam sejarah Abbasiyah, masa puncak perselisihan teologis, terlihat prilaku-prilaku tersebut dari orang-orang Abbasiyah yang berkuasa. Masalah-masalah seperti kehaditsan (kebaruan) dan keqadiman (kemaha dahuluan) firman Tuhan, menjadi sangat urgen sampai para pakar hadis dan fikih mengkajinya sedemikian rupa. Ahmad bin Hanbal dicambuk sampai pingsan dan dijebloskan dalam penjara oleh Mu’tashim Abbasi, setelah ia menolak perintahnya untuk menghentikan pengkajian tentang masalah terkait.(4)

Pada periode berikutnya, diungkapkan oleh Syekh Ibrahim Amini bahwa di sudut masyarakat dunia Islam (dalam sejarah), didapati kaum yang cenderung pada tasawuf atau filsafat menjadi sasaran takfiri, hingga nyawa mereka terancam. Penindasan yang terjadi di sana melampaui segala macam siksaan yang dilakukan oleh para pemuka gereja.

Kemudian para filosof Islam seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Suhrawardi, Khajeh Nashiruddin Thusi, Mulla Shadra, Faidh Kasyani dan lainnya dikafirkan oleh sekelompok pandir. Ibnu Rusyd difitnah oleh para penentangnya, yang membuat dia diasingkan dan kitab-kitabnya dibakar.

Kesimpulan dan Renungan

Setiap kaum memiliki sejarah dan membaca di dalamnya pengalaman para pendahulu mereka, tak terkecuali muslimin. Orang-orang Islam di tengah masyarakat ketika dalam tindakan, ucapan dan perbuatan mereka membawa agama, maka yang mereka lahirkan adalah menjadi satu di antara dua kemungkinan: kebanggaan bagi setiap generasi mereka berkat Islam, atau kekecewaan karena telah mengatas namakan agama.

Apakah mereka sebagaimana yang Allah firmankan: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Seandainya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”(5)? Ataukah sama dengan kaum-kaum dahulu yang telah tercoreng di mata agama dan dunia?

Referensi:

1. Artikel ini sebagian besarnya dari buku “Azadi, ‘Aql wa Iman”/Ayatollah Syekh Ibrahim Amini.

2. Makatib ar-Rasul 2/543.
    
3. Merujuk pada Tamaddune Islam wa Arab/Gustov Lobon, hal 158.
    
4. Khandane Nubakhti, hal 46.
    
5. QS: Al Imran 110