Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Sudah ada Sains dan Filsafat, Untuk apa Agama? (Bag.1)

1 Pendapat 05.0 / 5

Terjadi diskusi cukup menarik belakangan ini di media sosial (Facebook), yang dipicu oleh perselisihan pendapat dua penulis populer di tanah air, Goenawan Mohamad dan A.S. Laksana. Tulisan demi tulisan kemudian bergulir sedemikian rupa, saling tanggap menanggapi, kritik, konstruksi dan sebagainya yang disajikan oleh sejumlah penulis berkaliber. Meski telah cukup lama berlangsung, tapi gairah perselisihan ini cukup memberi angin positif bagi hadirnya suatu diskursus akademik yang analitis, sekurangnya sebagai penghibur dari pengap dan membosankannya perbincangan politik kaum politisi yang hanya itu-itu saja, juga dinamika keagamaan yang makin menyusut pada kubang politik identitas dan kiat menciutkan sistem intelektual dari diskursus keagamaan itu sendiri.

Perselisihan berputar di sekitar tema, sains, filsafat dan agama. Konteks pemicunya adalah soal pandemi Covid-19. Namun tulisan ini tidak akan secara spesifik menanggapi tulisan yang sudah terbukukan itu. Apa yang penting dari tema ini adalah, bahwa pandemi yang kita hadapi saat ini, adalah suatu peristiwa yang mengguncang kemanusiaan secara umum, menyusutnya pendapatan (ekonomi), kekhawatiran massal, dan lebih-lebih suara-suara ‘relijius’ yang berkata ini adalah bala’, adzab, yang Tuhan kirimkan karena kemaksiatan yang telah banyak dilakukan oleh manusia.

Pandemi ini juga disinyalir sebagai momen penting dimana para pengagum, bahkan fanatik sains menunjukkan tajinya. Bahwa pandemi tidak selesai dengan banyaknya doa yang dipanjatkan, atau dengan renungan filosofis yang menaik tinggi hingga ke langit ketujuh. Tapi ia akan selesai dengan perilaku sains (cuci tangan, pakai masker, dan hindari kerumunan) atau solusi saintifik (uji laboratorium guna menemukan vaksin) dan sebagainya.

Perilaku sains dan solusinya, mungkin tidak perlu kita bantah demi keselamatan kita sendiri. Bagaimana pun yang menjadi kesadaran kita, bahwa virus corona ini tak mengenal agama orang tertentu, warna kulit, atau ras dan suku tertentu. Namun sikap saintisme yang sepenuhnya menegaskan bahwa alam kehidupan ini semata hanya utuh dalam bacaan sains, amat berlebihan dan cenderung reduktif. Terlebih apalagi jika dikatakan agama tak berfungsi apa-apa.

Perdebatan sains, filsafat dan agama, bukan barang baru. Ini adalah isu lama yang mungkin selalu baru untuk dibahas. Kali ini perbincangan tersebut menjadi hangat dengan pandemi sebagai pemicunya.


Cara Kerja Sains dan Filsafat

Cara kerja dapat dipahami terlebih mula dengan mengenali obyek pembahasan dari suatu disiplin ilmu. Sains dengan segala varianya (fisika, kimia, biologi, dsbg) berobjekkan benda fisik-materi. Fisika meninjau segi gerak suatu materi, kimia meninjau unsur-unsur materi, dan biologi pada anatomi dan kerja metabolisme tubuh-raga. Sains tak lagi bertanya, apakah materi itu ada? Justru sains mesti bermula sejauh materi itu ada. Maka soal bagaimana materi menjadi ada sebagai materi bukan menjadi wilayah sains. Jika demikian artinya, sains hanya dapat meneliti dan mengkaji sejauh sesuatu adalah ada dan bersifat material.

Namun akal manusia, tak mungkin hanya mengafirmasi materi belaka, lantas bagaimana dengan pikiran, jiwa, perasaan, yang tak memiliki karakteristik material. Tentu saja ia non-materi, problemnya bagaimana yang non-materi dipastikan adanya dan dengan cara berpikir yang seperti apa ia dapat dipahami? Dalam hal ini, maka filsafat mengajukan diri sebagai kerangka berpikir yang kapabel menerima non-materi sebagai obyeknya. Tapi inti obyektifikasi filsafat bukan sekedar yang non-materi tapi bahkan yang bersifat material.