Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Ahlul Bait adalah Cahaya Petunjuk

2 Pendapat 05.0 / 5

Saat ini, gonjang-ganjing sosial politik tengah melanda hampir seluruh wilayah negeri yang kita cintai ini. Sejatinya, masalah itu berada di sebagian wilayah di Indonesia, misalnya Jakarta. Akan tetapi, gaungnya menggema ke seluruh kawasan Nusantara. Di kalangan pengikut madzhab Ahlul Bait, kekisruhan ini telah menimbulkan banyak spekulasi; bisa menguntungkan dan bisa merugikan.

Sebenarnya, apapun juga yang terjadi, kita punya pegangan yang pasti. Bagi para pengikut madzhab Ahlul Bait, Rasulullah SAW dan keluarganya adalah anugerah yang sangat besar. Mereka adalah cahaya yang menyinari akal pikiran dan hati nurani. Melalui bimbingan mereka, umat manusia dapat memahami makna kehidupan yang benar dan mengetahui jalan yang dapat mengantarkan pada kehidupan itu.

cahaya Apa yang saat ini menimpa bangsa Indonesia sebenarnya adalah bagian dari sunnatullah yang menyatakan bahwa manusia sepanjang hidupnya selalu saja dihadapkan kepada beragam persoalan. Persoalan itu meliputi masalah individual maupun sosial. Kegagalan menuntaskan beragam persoalan itu akan menimbulkan malapetaka. Satu-satunya cara agar terhindar dari malapetaka itu adalah dengan tetap berada dalam pancaran cahaya Ahlul Bait a.s. dan berada di atas bahtera mereka. Sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad SAW, mereka adalah pelita kebenaran dan bahtera keselamatan (Misbâh al Hudâ wa Safînah al Najât).

Ajaran-ajaran Ahlul Bait yang disampaikan melalui ucapan dan sikap mereka penuh dengan nilai-nilai yang dapat mengisi semua sisi kehidupan umat manusia; pribadi dengan segala aspeknya, keluarga, pendidikan, politik, ekonomi, budaya, hukum dan masalah-masalah sosial lainnya. Mereka hadir sebagai anugerah dari Allah SWT, untuk dinikmati dan disyukuri oleh umat manusia. Menikmati dan mensyukuri anugerah yang besar ini akan mendatangkan kebahagiaan dalam kehidupan di dunia dan keselamatan dalam kehidupan di akhirat.

Sebagaimana dalam menyikapi sebuah kenikmatan, pada umumnya umat manusia tidak pandai menikmati dan mensyukuri kehadiran Ahlul Bait. Mereka justru mengabaikannya bahkan sebagian manusia memusuhinya. Karena itu, mereka hidup dalam kegelisahan, keraguan, kebencian, persaingan dan permusuhan sehingga kebahagiaan jauh dari genggaman jiwa dan hati mereka.

Salah satu anugerah dari ajaran Ahlul Bait adalah petunjuk terkait dengan sikap yang tepat untuk kita ambil pada situasi yang penuh dengan fitnah dan kegaduhan sosial ini. Perhatikan bagaimana saat ini situasi sedang tidak menentu dan penuh dengan permainan yang kotor. Tidak jelas mana lawan dan mana musuh. Dalam situasi seperti ini, kita dituntut untuk mengambil sikap yang hati-hati agar tidak mempersulit kita, baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang.

Sehubungan dengan keadaan seperti di atas, kita perlu sejenak merenungkan ucapan Imam Ali bin Abi Thalib a.s. yang berbunyi: “Jadilah kamu seperti anak unta, yang belum memiliki punggung (yang kuat) untuk dapat dinaiki dan belum punya susu  untuk dapat diperah.” Artinya, kita jangan sampai menjadi pihak yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tengah bertempur dalam merebut kepentingan-kepentingan. Ucapan beliau ini, hemat penulis, sangat tepat untuk dijadikan pijakan kita dalam bersikap pada saat sekarang ini. Memihak pada satu kelompok dan membenci kelompok yang lain belum tentu memberikan manfaat kepada kita, atau malah menjadi malapetaka bagi kita. Toh, yang sedang dipertarungkan oleh mereka bukan masalah ideologi, yang akan menentukan nasib kita di akhirat kelak. Yang mereka pertengkarkan, kalau mau ditelisik dengan seksama, ujung-ujungnya adalah masalah politik, meskipun beririsan sedikit dengan ideologi.

Situasi yang mirip dengan ini dihadapi pula oleh Imam Hasan Al-Mujtaba a.s. Karena menyaksikan kondisi umat Islam waktu itu yang gamang dan ragu dalam melihat kebenaran sebagai kebenaran yang harus diikuti, beliau menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah. Beliau tidak ingin mempertahankan kekuasaan atau melawan pesaing politiknya dengan para pengikut yang gamang dan ragu. Beliau memilih untuk mengalah namun pasti daripada maju namun kegamangan dan keraguan telah menguasai hati para pengikutnya.

Dua ajaran di atas sebagai contoh dari sekian banyak ajaran Ahlul Bait as. yang disampaikan melalui ucapan dan sikap mereka. Kalau kita perhatikan sejarah kehidupan mereka, maka akan kita dapatkan sikap mereka yang berbeda-beda. Perbedaan itu muncul dikarenakan perbedaan situasi dan kondisi. Karena itu, sesungguhnya kita mempunyai referensi yang kaya untuk dijadikan pegangan dalam bersikap terhadap segala situasi dan kondisi. Tinggal bagaimana kita menentukan sikap yang tepat dan benar dalam segala situasi dan kondisi yang berbeda-beda itu dengan kembali pada ajaran Ahlul Bait as.

Ada sebuah cara yang cukup membantu kita untuk menentukan sikap yang benar dan tepat setelah mempelajari ajaran-ajaran Ahlul Bait secara seksama, yaitu melakukan musyawarah yang intens dan memohon petunjuk dari Allah SWT dengan melakukan istikharah. Dua cara ini diajarkan juga oleh Ahlul Bait a.s. Mereka menyatakan, “Tidaklah rugi orang yang ber-istikharah dan tidaklah menyesal orang yang bermusyawarah.”

Sikap bisa berbeda karena adanya perbedaan situasi dan kondisi. Tapi ada yang tidak berubah dan berbeda dari Ahlul Bait as., yaitu mereka tetap secara konsisten dan komitmen menjaga kemurnian agama Islam dari segala bentuk penyimpangan dan penyelewengan. Cara dan sikap bisa berubah dan berbeda, namun mempertahankan kebenaran tidak akan pernah berubah dalam semua situasi dan kondisi.

Kembali kepada masalah gonjang-ganjing sosial politik di negeri ini, kita memang perlu kembali ke referensi yang benar, yaitu ajaran Ahlul Bait a.s. Kemudian, agar kita bisa memilih, sikap imam yang mana yang harus kita ambil, kita harus secara intens melakukan musyawarah. Jangan bertindak secara egoistis berdasarkan pendapat sendiri saja. Dan terakhir, barangkali ada baiknya kita memohon petunjuk dari Allah dengan cara ber-istikharah. Apapun hasilnya dari kajian, musyawarah, serta istikharah itu, semuanya kita jalankan sembari berserah diri kepada Allah SWT.

Fa idza ‘azamta fa tawakkal ‘ala Allah.[*]