Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

TRAGEDI KAMIS (Narasi Wafat Nabi Teragung) bagian1

1 Pendapat 05.0 / 5

Jelang hari-hari wafatnya, karena khawatir orang-orang munafik akan memanfaatkan peristiwa iini dan memanipulasi masyarakat, Nabi SAW mengumpulkan seluruh anggota masyarakat berceramah memperingatkan mereka tentang hasutan menentangnya, menganjurkan berpegang teguh dengan Itrah dan mematuhi, dengan suara bulat dan tidak membangkang dan melakukan penelikungan.

Dalam perjalanan pulang dari haji terakhir, dikenal dengan Haji Wada’ (Haji perpisahan), Nabi memberikan sinyal-sinyal perpisahan melalui khotbah dan serangkai pernyataan yang amat memilukan. Para sejarawan tidak hanya menyebut nama tempat upacara perpisahan yang terletak antara Mekah dan Madinah itu, namun merincikan jumlah peserta yang hadir saat itu.

Sesampainya di Madinah, Nabi yang mulai terlihat kurang sehat, masih harus memikirkan umat dan negara yang dibangunnya. Sepak terjang dan provokasi negeri jiran di sebelah selatan yang dipimpin oleh Heraclitus membuatnya harus mengabaikan rasa sakit dan penat. Lelaki yang bernama Ahmad di langit ini memberikan sebuah instruksi kepada setiap semua lelaki yang sehat jasmani agar bersiaga perang di bawah komando Usamah bin Zaid.

Dengan langkah lemah ia keluar dari rumah sembari mengenakan selimut dan berseru agar setiap orang keluar dari Madinah karena kerajaan Romawi telah mengerahkan brigade pasukan kavelri untuk melakukan pembersihan terhadap warga yang memeluk Islam dalam wilayah kekuasaannya, termasuk gubernur Syam, Farwah bin Amr al-Jazami.

Suara parau Nabi teragung itu bak gayung tak bersambut. Pasukan yang sudah bergerak meninggalkan Madinah tiba-tiba bubar. Isu tentang ‘kematian Nabi’ telah menjadi alasan aksi ‘mogok’ itu. Sampai-sampai, sang Komandan, Usamah bin Zaid, yang masih muda, juga ikut pulang ke Madinah.

Saat terbujur di atas ranjang, beliau meminta secarik kertas dan setangkai pena sebagai konfirmasi akhir atas pesan-pesan yang berulang telah disampaikannya terutama di Hajatul-wada’. Namun, apa hendak dikata, bising dan desak-desakan pengunjung yang membesuk di rumah kecil itu membuat suaranya seakan tertelan dan napasnya tersengal.

Sebuah mimpi telah mengejutkannya. Ia melihat Quran yang ada di kedua tangannya terbang membumbung tinggi ke langit. Fatmah melihat dirinya terbang di belakangnya. Dan al-Quran itu pun menyeru:

“Terbang mendekatlah padaku. Terbanglah ke langit. Dan Fathimah pun melihat ke belakangnya maka dia melihat bumi bercahaya terang benderang disambar petir dan kilat (halilintar).”

Ia pun mendatangi Nabi di biliknya dengan wajah tegang:. “Ayah, aku telah melihat Quran terlepas dari tanganku.”

Muhammad SAW menjawab dengan suara lemah seakan berbisik “Fathimah, setiap kali aku menyeru, niscaya dijawablah seruanku itu. Dan sungguh Jibril as telah membacakan al-Quran kepadaku dua kali dalam tahun ini.”

Meledaklah tangis Fatimah. Duka kepergian ayahnya telah meremas sukmanya dan menggoyahkan tubuhnya hingga roboh di pelukannya. Ia berusaha tersenyum menghibur Fathimah:. Jangalah bersedih. Bahagialah. Engkaulah Ahlul Bait pertamaku yang akan segera menyusulku..

Seketika paras Fatmah merona. Fathimah mengusap airmatanya dan memeluk tubuh ayahnya seraya berkata:

Aku mengeluh duka darimu, duhai hari Senin. Sungguh masa kejayaan Islam telah sirna, karena Ali telah mengimani (mempercayai) seorang pria yang dia telah mendidiknya segala intisari akhlah dan kedermawanan semenjak kecilnya dan mengajarinya intisari ilmu ketika dia beranjak dewasa dan membukakan (menyingkap) baginya pintu-pintu alam malakut yang penuh misteri itu. Dan Nabi pun memegangi erat-erat tangan sang pemuda perkasa pahlawan terbesar Islam sepanjang masa yang telah dengan mengorbankan dan menyerahkan ruh dan jiwa raganya hanya untuk Allah dan Rasul-Nya semata. Dan Allah-lah satu-satunya pengawas setiap rahasia yang terpendam.

Daur waktu bergulir cepat seiring serangan racun yang merasuk keras ke setiap sel tubuhnya. Muhammad rebah, menyimak kidung malaikat Rahmat menghibur di biliknya yang muram. Lalu suara paraunya meluncur memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.