Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Doktrin Imamah, Studi Komperatif Sunnah-Syi'ah (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

Oleh: Ibnu Jakfari

Kepemimpinan Dalam Perspektif Syi'ah dan Sunnah

Untuk mengetahui konsep Islam tentang Imamah/Khilafah, perlu kiranya kita menganalisa poin-poin penting seputar kepemimpinan (Imamah Kubra).Definisi Imamah:

Sebelum memasuki kajian inti Imamah, perlu bagi kita mengetahui pandangan Al qur'an tentangnya, juga pandangan para teolog Islam, baik Syi'ah maupun Ahlusunnah, agar tidak terjadi kerancuan dalam mengalisa permasalahan.


Imamah Dalam Pandangan Al qur'an

Dari ayat-ayat Al qur'yang berbicara tentang Imamah, kita dapat menyimpulkan adanya tugas-tugas yang menggambarkan hakikat Imamah itu sendiri.
Tugas-tugas tersebut ialah:

Pertama: Seorang Imam adalah panutan dan contoh praktis yang sejati yang akan memperagakan ajaran-ajaran agama, baik dalam sisi akidah, akhlak dan praktik amaliah.

Kedua: Seorang Imam adalah tempat berujuk dalam segala urusan dan masalah keagamaan. Seluruh masalah agama harus diambil darinya. Sebagaimana seluruh arahannya harus ditaati, tidak boleh dibantah dan dilanggar, sebab ia ma'shum.

Ketiga: Seorang Imam memiliki kewenangan dalam memimpin umat dalam sekala sosial, politik dan membimbing ke arah yang serasi dengan kesempurnaan kehidupan ukhrawi-nya di sisi Allah.

Keempat: Imamah ialah kewenangan dan kemampuan untuk berbuat dan memberi pengaruh pada sistem alam dengan izin Allah.


Imamah Dalam Kajian Para Teolog Islam

Untuk mngetahui sejauh mana kesesuaian pendefinisian Imamah oleh para teolog Islam dengan pandangan Al qur'an tentang Imamah, marilah kita simak pernyataan-pernyataan mereka:

Imamah Dalam Pandangan Ahlusunnah

Dalam pandangan Ahlusunnah, Imamah hanyalah lembaga kewenangan dalam sekala sosial politik.
Seorang Imam adalah pemimpin politik/kepala negara yang bertanggung jawab dalam mengurus umat. Oleh karenanya ia adalah urusan keduniaan dan urusan umat. Dan fungsi posisi khilafah, sebagaimana layaknya dalam masyarakat-masyarakat non Islami, adalah pengaturan politis, tidak ada kaitannya dengan fungsi tasyri'iy, pemeliharaan, penafsiran dan penjabaran ajaran agama.

Dan dari sini, datang kesapakatan mereka tentang tidak disyaratkan adanya nash (penunjukan), tidak disyaratkannya kema'shuman, dan hanya cukup dengan syarat ijtihad (jika terpenuhi), dan digugurkannya syarat ini dalam menentukan legelitas syar'iy jika tidak terpenuhi, tidak disyaratkannya afdlaliyah (yang paling mulia) pada sang khalifah bahkan tetap abash kekhilafahan seorang yang mafdluul (tidak mulia) kendati ada yang lebih afdlaf… Dan demikian pula kesepakatan mereka bahwa jika ditetapkan kekhilafahan bagi seseorang kemudian muncul seorang yang lebih afdhah, maka kekhilafahannya tetap syah dan tidak dibenarkan berpindah mengangkat yang lebih afdhal itu… Kesepakan mereka bahwa seorang khalifah tidak gugur kekhilafahannya dengan kefasikan… Kesepakatan mereka bahwa kekhilafahan yang diperoleh dengan jalan kekerasan (memberontak) itu syah, dan begitu pula, jika ada yang memberontak lagi dan ia menang maka ia syah sebagai khalifah dan gugurlah kekhilafan khalifah sebelumnya.

Dan lain sebagainya, berupa pondasi fiqhiyah dan kalamiyah, yang kesemuanya tidak mungkin difahami kecuali atas dasar anggapan bahwa khilafah adalah lembaga yang tidak terkait dengan pembentukan umat atas dasar Islam akan tetapi terkait dengan Negara, masyarakat politis dan kebutuhan politis, pengaturan bagi masyarakat politis.

Dan karenanya, ia adalah posisi eksekutif murni, tidak terkait dengan Islam sebagai gerakan perkembangan yang dinamis dalam bidang tasyri', tafsir, penjabaran dan pemeliharaan agama serta pengisian areal tasyri'iy netral yang dimunculkan oleh dinamika kehidupan dan adanya masalah-masalah baru yang dihadapi seorang Muslim dan masyarakat Islam dalam kehidupan.

Satu-satunya kaitan khilafah dengan Islam hanyalah bahwa Islam adalah dasar penetapannya dan ia memimpin masyarakat yang meyakini Islam sebagai agama dan ia harus memimpin berdasarkan akidah dan hukum Islam.

Sesungguhnya khilafah terkait dengan urgensi politis pengaturan dan lahir darinya, ia tidak terkait dengan ediologi dan perkembangan dinamika syari'at di tengah-tengah umat dan dunia kecuali secara sekunder atau bahkan sama sekali tidak terkait.
Dan dari sini disimpulkan bahwa legalitas dan peran seorang Khalifah lahir karena ia memegang tampuk kekuasaan, dan jika hal itu hilang darinya maka hilanglah legalitas Syar'inya.
Ibnu Khaldum berkata, "Imamah adalah posisi mengganti/mewakili Nabi dalam memelihara agama dan mengatur urusan dunia/keduniaan."[1][2]


Imamah Dalam Pandangan Mazhab Syi'ah

Dalam pandangan Syi'ah, imamah tidak hanya diyakini sebagai sekedar kekuasaan/kepemimpinan sosial politik seperti dalam keyakinan Ahlusunnah. Mereka meyakini bahwa kepemimpinan politik adalah salah satu dari dimensi imamah, atau justru sebagai konsekuensi logis imamah itu sendiri.
Imamah menurut mereka ialah: mencakup kepemimpinan keagamaan (Marja'iyah Diniyah) dan kepemimpinan politis (Za'amah Siyasiyah), bahkan lebih dalam lagi mereka meyakini bahwa imamah adalah kewenangan dalam memberikan pengaruh dalam terjadinya fenomena-fenomena alam tertentu (dimensi Takwiniyah).

Imamah adalah Ahdullah (Janji Allah), oleh karenanya harus disandang oleh pribadi yang ma'sum dan harus melalui nash (penunjukan) dari Allah SWT.
Imamah dalam pandanga Syi'ah Imamiyah adalah jabatan keagamaan murni, dan melaluinya akan berlanjut fungsi kenabian dalam bidang tasyri', pengawalan akidah dan syariat dari penyelewengan, pencemaran dalam penjabaran, penafsiran kaidah-kaidah dasar syari'at dan firman-firman mujmal, global.
Ia adalah jabatan yang menyamai kenabian dalam segala keistimewaan dan fungsinya kecuali dalam keistimewaan menerima wahyu.
Ia adalah jabatan yang -pada dasar dan esensinya- tidak meniscayakan adanya masyarat politis dan insan politis, akan tetapi ia meniscayakan adanya Islam itu sendiri sebagai agama dan meniscayakan adanya umat sebagai eksestensi manusiawi idiologis yang membentuk kehidupannya sesuai dengan Islam dan bukan sebagai masyarakat politis.

Fungsi Imamah Ma'shumah terkait secara mendasar dengan bidang tasyri', bukan dengan kondisi penataan politis bagi masyarakat politis.
Oleh karenanya, fungsi Imam ma'shum secara mendasar bukanlah fungsi politis, pengaturan kedinastian.
Dan bahkan hal ini bukan merupakan esensi Imamah dan fungsinya, akan tetapi secara mendasar esensi dan fungsinya adalah ediologis tasri'iyah, dan secara sekunder adalah politis pengaturan.

Dan dari sini disyaratkannya ishmah (kemaksuman) dan afdlaliyah, seperti akan dijelaskan nanti.
Dan oleh karenanya, seorang imam ketika ia kehilangan posisi politis (sebagai kepala negara), ia tidak bererti kehilangan fungsi imamahnya dan tidak juga posisinya secara umum tergoyahkan sebab esensi imamahnya tidak ditentukan oleh kekuasaan dan ruang lingkup fungsinya juga bukan masyarakat politis dan pembuktian fungsinya tidak bergantung kepada kekuasaanya dalam memimpin negara. Akan tetapi fungsi imamahnya ditentukan oleh peran agamis tasyri'iy dan obyek fungsinya adalah umat serta pembuktiannya adalah kepemimpinannya atas umat dalam bidang tabligh dan tasyri'.

Dan dari keterangan di atas dapat dimengerti adanya perbedaan yang mendasar dan bukan hanya pada beberapa syarat saja, dalam pendangan antara Syi'ah dan Ahlusunnah, oleh kerenanya Syahid Muthahari berkata, "Kita harus tidak boleh mencampur adukkan antara masalah Imamah dan masalah kekuasaan (hukumah), lalu kita mengatakan, 'Apa pendapat Ahlusunnah? dan apa pendapat kita (Syiah)? Akan tetapi masalah Imamah adalah masalah lain, pengertiannya menyerupai pengertian kenabian dengan kedudukan tinggi yang disandangnya. Oleh karenanya, kita kaum Syi'ah meyakini imamah sedangkan kaum Ahlusunnah tidak meyakininya sama sekali. Dan tidak dikatakan bahwa mereka meyakininya hanya saja mereka mensyaratkan syarat-syarat lain (selain yang kita syaratkan)."[3]

Maka dengan demikian mengenal pendefinisian masing-masing madzab dalam hal ini adalah sebuah keniscayaan dan hal penting yang akan menghindarkan kita dari kerancuan dalam berdialog dan menentukan kesimpulan-kesimpulan yang tepat.
Dan hal inilah yang sepertinya kurang mendapat perhatian yang proporsional dari para teolog klasik yang terlibat dalam polemik dan perdebatan berkepanjangan tentang Imamah di sepanjang zaman.

Misalnya, seorang teolog syi'ah langsung terjun mengkounter pandangan Sunni yang mengatakan bahwa Imamah dapat ditegakkan lewat sistem syura, dengan sejumlah argumen bahwa Imamah harus dengan nash, tanpa terlebih dahulu menemukan kata sepaham tentang definisi Imamah itu sendiri, akhirnya diskusi itu jadi rancu dan mandul.

Yang harus kita mengerti sekarang ialah bahwa Imamah yang diyakini kaum Sunni berbeda dengan Imamah yang diyakini kaum Syi'ah, baik dalam definisi, syarat-syarat maupun tugasnya.

(Bersambung)
_________________
[1] Mukaddimah:191.
[3]Bidâyah al Ma'ârif :110 menukil dari Imamat Wa Rahbari .