Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Hati dan Cahaya Ilahi

1 Pendapat 05.0 / 5

Perbincangan soal manusia sebagai sebuah keutuhan spesies senantiasa tak bisa dilepaskan dari suatu substansi yang ada dalam dirinya yang memungkinkannya eksis sebagai makhluk yang berkesadaran secara mendalam. Substansi tersebut adalah jiwa.

Mulla Sadra mendefinisikan jiwa sebagai gambaran dari substansi yang secara zatnya non-materi, tetapi terikat dengan materi dalam aktivitasnya. Non-materialnya jiwa tak perlu lagi dibuktikan, saat berlangsung pelbagai hal aktivitas batin kita, berpikir, dan merasa, sudah barang pasti keberpikiran dan kemerasaan tersebut tak pernah memiliki dimensi material apapun.

Meski sebagai substansi, dimana wujudnya secara eksternal (eksis sebagai wujud riil) tak mengharuskannya bersandar pada yang lain, berbeda dengan hal-hal aksidental yang jiwa ia wujud secara riil mengharuskannya untuk bersandar pada wujud substantif, seperti warna, ukuran, relasi dan sebagainya.

Namun aktivitas jiwa terkait dengan materi, artinya tindakan jiwa sebagai aktualisasinya tetap memiliki kaitan dengan ihwal material. Dalam perspektif ini, dapat disadari bahwa tidak terdapat dualisme ekstrem antara jiwa dan raga, antara kesadaran dan materi. Semisal dalam konstruksi pengetahuan dalam epistemologi Islam, bahwa pengetahuan selalu memulai aktivitasnya dengan hubungan subyek yang mengetahui dengan obyek eksternal yang diketahui yang bersifat material.

Sekalipun dalam konsep hudhuri, ia sendiri sebagai wujud itu sendiri (dalam kesatuan subyek dan obyek) namun, ia pun memiliki keterkaitan dengan alam luar yang menyebabkan wujud-wujud batin mengaktual. Semisal, rasa takut yang disadari secara langsung wujudnya oleh jiwa, memang bukanlah obyek eksternal, namun bagiamana rasa tersebut bisa muncul tetap berkaitan dengan obyek-obyek eksternal. Karena tak mungkin rasa takut bisa tiba-tiba hadir tanpa ada hubungan dengan sesuatu di realitas yang membuat jiwa merasakan ketakutan.

Meski begitu, jiwa sebagai substansi material tidaklah berasal dari alam materi, sebagaimana materi secara dzat juga tidak berasal dari jiwa. Namun keduanya ada dalam satuan garis cahaya Tuhan. Sehingga sebagaimana tertuang dalam kitab suci, pada alam material (cakrawala kosmos) dan alam jiwa (mikro-kosmos) keduanya terdapat tanda-tanda kebesaranNya.

AsmaNya yang Tertanam dalam Jiwa

Sehingga, jiwa sebagai substansi bukanlah ruang kosong belaka, tapi ia menyimpan nama-nama ilahi dalam dirinya. Sehingga jiwa tak saja menerima (mengaktual) diri dalam bentuk pengetahuan-pengetahuan tapi menyimpan rahasia terdalam, asma ilahi. sebagaimana pengetahuan empirik yang pandangan subyek (persepsi indrawi) atas suatu obyek membutuhkan cahaya agar ia tersingkap, begitu juga jiwa akan mengenal rahasia terdalamnya tersebut juga membutuhkan cahaya untuk menyingkapnya.

Cahaya tersebut tentu bukan cahaya yang kita abstraksikan dari dunia material. Tapi ia adalah cahaya sejati, cahaya spritual yang hanya bisa dimengerti oleh kekuatan mata jiwa. Dalam pada itu, untuk menghadirkan cahaya tersebut, perlu tindakan jiwa sebagai dirinya, bukan jiwa yang dikonsepsi, tapi jiwa sebagai subyek yang aktif.

Bagi kaum sufi, cahaya tersebut adalah murni kuasa Tuhan, sang Sumber Cahaya. Maka untuk mendapatkan cahayaNya agar asmaNya dalam jiwa tersingkap oleh jiwa itu sendiri, mau tidak mau harus melakukan muroqobah kepadaNya. Jalan muroqobah tersebut bukan sembarang jalan, tapi jalan yang telah ditetapkan olehNya melalui wahyu agama kepada NabiNya.

Maka suluk ruhani, sebagai riyadhoh untuk mendatangkan cahaya guna menyingkap rahasia-rahasia jiwa secara eksistensial mesti bersambung kepada jiwa nubuwwah. Kesambungan tersebut tercipta melalui proses riyadhoh yang sebagaimana formatnya telah dicontohkan oleh Nabi.

Sementara ajaran kenabian sebagai ajaran keagamaan, terdiri dari dua segi yang harus menyatu secaya eksistensial dalam diri subyek, yang pertama adalah segi syariat, yang terkait hukum-hukum dan aturan syar’i, kedua adalah akhlak, baik lahir (etika) maupun batin (jiwa).

Jiwa yang Mencari Kebahagiaan Sejati

Sehingga seseorang yang hendak mencapai rahasia jiwanya sebagai upaya pencapaian kebahagiaan sejati, dia yang tunduk pada syariatNya, senantiasa berkhlak mulia, dan meneguhkan hatinya untuk senantiasa meletakkan Tuhan sebagai fokus tujuan hidupnya.

Cahaya Tuhan, adalah sebab kebahagiaan jiwa, karena kebahagiaan adalah ketercapaian sesuatu atas potensi terbaik yang dimiliki oleh sesuatu itu sendiri. Jiwa memiliki tingkatan potensialnya yang berbeda sesuai hubungannya dengan realitas yang berbeda-beda.

Kebahagiaan material tercapai bila kebutuhan fisik terpenuhi, kebahagian akal terpenuhi bila sampai pada kebenaran pengetahuan. Namun lebih dari itu semua, ada kebahagiaan yang dituntut oleh jiwa itu sendiri, yakni kebahagiaan yang abadi, yang meskipun dua kebahagiaan sebelumnya belum tercapai secara maksimal, manusia bisa hidup dalam keutuhan eksistensialnya.

Hal tersebut bisa terlihat dengan sejumlah fakta, betapa banyak mereka yang terpenuhi hajat materialnya tetap merasa kosong jiwanya, bahkan mereka yang telah melanglang buana dalam silang sengkarut pengetahuan juga tak jarang merasa gersang jiwanya. Jiwa yang gersang adalah tuntutan bahwa ia hendak menginginkan yang hakiki, asma ilahi.

Karena dengan asma ilahi inilah, jiwa akan melihat realitas sepenuhnya fana, bayangan, tak sejati, karena yang ia lihat adalah asma yang terbentang di segala ufuk. Jiwanya yang menyingkap asmaNya bukan lagi jiwa yang terdifferensiasi dari alam, tapi cahaya Tuhan lah yang membentangkan ayat-ayatNya yang terselubung di alam semesta ke hadapan jiwanya yang juga bersendikan ayat-ayat (asmaNya), ayat bertemu ayat, asma bertemu asma, cahaya Tuhan menyatukan semua.

Mengapa cahaya Tuhan dapat menyatukan semua? karena semua berada dalam garis cahayaNya sendiri. Tidak ada yang selain diriNya, kecuali ia adalah manifestasi DiriNya sendiri.

Alam (Makro-Mikro) bersama DiriNya, di dalam DiriNya, dari DiriNya dan kembali padaNya.

Tiada kebahagiaan tanpa cahayaNya, tiada kebahagiaan tanpa kesatuan bersama diriNya, tiada kebahagiaan kesadaran akan asmaNya.