Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Di Bawah Naungan Mentari Khorasan(1)

1 Pendapat 05.0 / 5

Hari ini Makam Suci Imam Ridha as di kota Mashhad, Iran, terang benderang penuh cahaya yang terpancar ke seluruh penjuru komplek makam.
Para pecinta Ahlul Bait as dari berbagai daerah di Iran datang ke kota Mashhad dengan membawa 250.000 tangkai bunga warna warni sebagai hadiah. Bersama ribuan tangkai bunga ini, mereka juga membawa ratusan niat, doa dan harapan yang akan disampaikan kepada Imam Ridha as untuk menghias halaman dan serambi-serambi Makamnya di Pekan Karamah, dan membuat gembira hati para peziarah.
 
Sebagian besar bunga ini sejak hari pertama ditanam, sudah diniatkan wakaf untuk Imam Ridha as sehingga menjadi bunga-bunga nazar dan hadiah perayaan kelahiran Imam Kasih Sayang yang akan dibawa ke kota Mashhad. Sungguh indah, bunga-bunga segar berada di Belahan Surga ini, begitu menarik hati wangi dari semua tekad dan budi pekerti terhadap Imam Ridha as ini.
 
Imam-imam Ilahi adalah fondasi kukuh yang menjamin keberlanjutan masyarakat. Keberadaan para Imam Maksum layaknya cahaya dan pembimbing yang di bawah cahayanya karavan-karavan bergerak di tengah gulita malam.
 
Keberadaan Imam Ridha as juga seperti mentari yang cahayanya menyelimuti dunia. Beliau dilahirkan di kota suci Madinah pada 11 Dzulqadah 148 Hijriah Qamariah, di dekat Makam Suci Nabi Muhammad Saw. Cahaya wujud Imam Ali bin Musa Al Ridha as bersinar di sebuah rumah milik seorang ayah yang merupakan hamba terbaik Allah Swt, yaitu Imam Musa Al Kadzim as, dan seorang ibu suci dan cerdas bernama Najma, keturunan suci dari Maroko.
 
Di hari itu dunia tenggelam dalam kegembiraan, dan kebahagiaan menyambut kelahiran bayi penuh berkah. Seorang anak yang setelah lahir segera mendapatkan dekapan dan kecupan sang ayah yaitu Imam Musa Kadzim as. Imam Kadzim as berkata, “Begitu harum dan indah sekali engkau, segera setelah ini keutamaan dirimu akan tampak bagi semua orang.”
 
Nama Imam Ridha as adalah Ali, dan nama panggilan atau kuniyah beliau Abu Al Hassan. Beliau menghabiskan 35 tahun usia di sisi ayahnya Imam Musa Kadzim as dalam membela bendera Tauhid dan kebenaran, setelah kesyahidan sang ayah, beliau memegang tugas kepemimpinan Ilahi untuk memimpin umat Islam. Sejak saat itu untuk waktu 20 tahun, Imam Ridha as membimbing masyarakat.

Di masa kepemimpinannya, Imam Ridha as lebih banyak menggunakan waktunya untuk menyebarluaskan agama Islam, dan menjaga fondasinya. Beliau menaruh perhatian yang sangat besar pada nilai-nilai agama.
 
Syeikh Sadouq, ulama besar Islam mengutip Jabir bin Abi Al Dhahak yang hidup di masa Imam Ridha as yang mengatakan, “Aku bersumpah kepada Tuhan, aku tidak pernah melihat seorang lelaki seperti Imam Ridha dalam ketakwaaan dan ketakutan pada Allah Swt, di malam hari ia sibuk beribadah, dan siang hari ia berpuasa, makan bersama para budak dan pembantu, dan di tengah kegelapan malam mendatangi rumah fakir miskin membawakan roti dan dirham untuk mereka. Tidak pernah memanggil siapa pun dengan suara tinggi, dan tidak pernah memotong perkataan siapa pun.”
 
Dari sisi kesabaran, kedermawanan dan ilmu pengetahuan, tidak ada yang bisa menyamai Imam Ridha as. Di masa-masa sulit dan krisis politik serta sosial, beliau bersandar pada ketakwaan dan ilmu pengetahuannya yang luas, dan melaksanakan tugasnya. Keutamaan Imam Ridha as sedemikian tinggi sampai Khalifah Makmun yang menyimpan simpati di dalam hatinya, mengakui keagungan beliau. Makmun berkata, “Imam Ridha as adalah orang paling berilmu, paling bertakwa, dan hamba Tuhan yang paling layak.”
 
Imam Ali bin Musa Al Ridha as menyeru Syiah dan pecintanya untuk saling menolong, mengajarkan sikap berkasih sayang dan persahabatan kepada mereka, lebih banyak melalui tindakan dan kerja nyata daripada ucapan dan perkataan. Salah seorang penduduk Khorasan berkata, “Suatu hari saya bertamu ke rumah Imam Ridha as, saat tiba waktu makan siang, beliau menggelar sufrah, dan meletakkan makanan di atasnya. Saya menyaksikan sendiri, Imam Ridha as mengajak semua orang yang ada di dalam rumah untuk makan bersama termasuk para pelayan.”
 
Ia menambahkan, “Hal lain yang menyedot perhatian kami, Imam Ridha as meminta wadah besar dan memasukkan sebagian makanan terbaik dari yang tersedia di atas sufrah ke dalam wadah tersebut. Orang yang duduk di sebelah saya mengetahui keheranan saya lalu berkata, ‘Sahabat, mengapa engkau begitu tampak keheranan seperti itu ?’ Saya menjawab, ‘Saya ingin tahu apa yang sedang Imam Ridha as lakukan.' Ia berkata, ‘Imam setiap kali duduk di hadapan makanan, pertama akan memenuhi wadah besar dengan beragam makanan untuk diberikan kepada fakir miskin, setelah itu baru beliau akan memakan makanannya. Saya sangat menikmati cara yang dilakukan Imam, dan harus saya katakan hari ketika saya menjadi tamu di rumah Imam Ridha as bagi saya menjadi pelajaran berharga.”