Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Keadilan Tuhan dan Manusia

1 Pendapat 05.0 / 5

Dalam kehidupan sosial, keadilan selalu menjadi episentrum persoalan, karena adanya hak yang diyakini ada pada setiap individu sekaligus kewajiban yang mesti ditunaikan sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat. Karenanya, keadilan dalam pengertiannya yang sederhana adalah kesetaraan antara hak dan kewajiban. Maka tidak ada keadilan tanpa sebelumnya didahului oleh konsepsi mengenai hak dan keadilan.

Problem berikutnya adalah, bagaimana hak tersebut mungkin adanya? Sehingga ia diakui, dan implikasinya, hak tersebut harus dijaga dan diberikan kebebasan untuk mengaktualisasikannya. Sehingga hak dalam kontek aktualisasinya secara niscaya membutuhkan ruang kebebasan.

Lantas apa yang menjadikan hak tersebut mungkin? Landasan ontologis kemungkinan bagi adanya hak pada manusia, adalah keberadaan dan kehidupannya. Lantaran manusia hidup dan membutuhkan sejumlah hal untuk menopang kehidupannya, maka ia berhak hidup dengan kebebasan atas segala hal yang memungkinkannya untuk terus berlangsung hidupnya.

Namun, di pihak lain, perspektif etis yang muncul dalam kesadaran diri manusia menjadikan manusia menyadari akan adanya hak itu sendiri, sekaligus juga menjadi dasar untuk memahami apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya.

Maka, dalam tatanan sosial, manusia membutuhkan keadilan demi terutama untuk keberlangsungan hidupnya. Manusia harus berlaku adil karena masing-masing memiliki hak untuk dijaga, dan karena hak itu berkenaan dengan keberlangsungan hidupnya. Maka keadilan bagi manusia muncul oleh pertimbangan akan adanya kebutuhan akan eksistensinya dalam hidup.

Keadilan Tuhan

Terkait hubungannya dengan Tuhan, apakah subyek ‘keadilan’ mesti juga berlaku padaNya? Apakah ia adalah pihak yang juga wajib menegakkan keadilan? Dan juga pihak yang berhak mendapat keadilan?

Jika Tuhan harus berlaku adil, apakah itu bermakna bahwa apa yang dilakukanNya harus tunduk pada konsepsi keadilan? Jika secara filosofis Dia diandaikan sebagai Realitas Mutlak, atau Prima Kausa, maka tiada apapun yang ada sebelum keberadaanNya, tidak hanya itu, konstruksi ‘waktu’ dalam makna ‘sebelum keberadaanNya’ pun tidak lagi bermakna. Artinya PerbuatanNya adalah sumber segala yang ada, termasuk konsepsi keadilan, sehingga tak mungkin Dia bersikap dengan suatu tuntutan tertentu—termasuk tuntutan untuk berbuat adil—karena justru adanya perihal keadilan karena perbuatanNya sendiri.

Keadilan Tuhan bersifat niscaya, dan dengan segala kekuasaanNya, dia mesti diposisikan sebagai sumber dari segalanya: sumber kebaikan, keindahan dan kebenaran. Artinya perbuatanNya adalah sebuah keadilan sebelum konsepsi keadilan itu sendiri ada. Sebagaimana Dia ada sebelum kata ‘ada’ itu ada. Tuhan pun tak membutuhkan keadilan, karena jelas bahwa ia bukan wujud yang membutuhkan apapun untuk keberlangsungkan eksistensi kemaujudanNya.

Namun, muncul soal: apakah perbuatan manusia juga merupakan perbuatanNya, atau manusia memiliki kebebasan atas perbuatannya sendiri? Pertanyaan ini kelak juga akan menjadi problem konsepsi untuk menilai keadilan perbuatan Tuhan. Hal ini misalnya, jika perbuatan manusia adalah perbuatanNya, maka saat manusia berdosa pun itu akan menjadi perbuatanNya? Lalu jika begitu, mengapa manusia harus menerima dosa dan siksa atas apa yang bukan perbuatanNya sendiri?

Sementara sebaliknya, jika perbuatan manusia merupakan kebebasannya sendiri, maka Tuhan tak terikat dengan perbuatannya sehingga kesalahan manusia adalah karena kesalahannya sendiri.

Tentu saja, jika apapun yang diperbuat manusia adalah semata perbuatan Tuhan, maka siksa dan dosa atas manusia nampak sebagai sebuah ketidakadilan. Namun, jika manusia memiliki kebebasan sepenuhnya untuk berbuat, apakah itu bukti bahwa Tuhan di luar kuasa perbuatan manusia?

Tapi yang pasti, sejauh kita memahami diri kita, kita berbuat sesuatu atas dasar kehendak kita sendiri. Sekalipun yang kita perbuat adalah karena perintah agama, namun kita melakukannya karena kehendak kita sendiri lantaran kita menerima adanya perintah agama tersebut untuk dilaksanakan.

Maka perbuatan kita selalu terikat oleh kehendak kita sendiri, yang juga terkait dengan problem pandangan dunia, selera, nafsu dan sebagainya. Dalam konteks ini, setiap manusia memiliki fitrah-fitrah insani yang menjadikannya berkehendak atas sesuatu. Misal, seorang Ibu yang selalu ingin menyayangi anaknya, atau manusia pada umumnya yang selalu ingin tahu atas sesuatu yang ingin diketahuinya. Dan terutama sifat fitrah manusia adalah kehendaknya untuk menyempurna dalam pelbagai level.

Tuhan tidak secara langsung terlibat dalam perbuatan praktis manusia, namun Tuhan telah menyelipkan nilai-nilai dalam diri manusia sehingga ia cenderung untuk berbuat sesuatu. Tuhan memang memberi nafsu pada diri manusia tapi Dia juga menghadirkan kesadaran, sehingga dengan kesadaran tersebut mana perbuatan yang hanya karena nafsu atau perbuatan yang benar-benar diniati sebagai perbuatan baik. Maka untuk itu misalnya, hukum-hukum agama tidak berlaku bagi mereka yang belum mencapai kematangan kesadaran (‘aqil baligh) atau mereka yang tak memiliki kesadaran yang normal.

Ikhtiar Manusia di antara Kuasa Tuhan

Sehingga perbuatan manusia adalah perbuatannya sendiri, meskipun untuk itu ia memiliki bekal untuk menopang perbuatannya yaitu nafsu dan juga kesadaran akan mana yang baik dan yang buruk yang mana keduanya tersebut bersumber dari Tuhan.

Di sisi lain, dalam aktualitas perbuatannya, manusia pun memiliki sejumlah batasan-batasan tertentu atas kemampuannya. Misal, seseorang yang memiliki kesadaran berupaya meminta maaf atas kesalahannya pada orang lain, tapi dalam praktiknya bisa saja tak kesampaian lantaran orang yang hendak dimintai maaf telah meninggal dunia, dan dia tak bisa berkomunikasi dengan orang yang meninggal dunia tersebut. Atau seseorang yang dengan segala nafsu angkaranya hendak membunuh seseorang, tapi bisa saja Tuhan melindungi orang yang hendak dibunuhnya dengan menghambat perjalanan bagi pembunuhnya tersebut.

Tegasnya, manusia memiliki fitrah yang ditiupkan oleh Tuhan dalam jiwanya sebagai bekal untuk berbuat sesuatu di dunia. Namun bahkan dalam aktualitasnya pun, perbuatan manusia tidak lepas dari sejumlah ketentuan-ketentuan dan kehendakNya meskipun Tuhan tak secara langsung mengintervensi perbuatan kita.