Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Siapkan Hadiah dan Lebihkan Nafkah, Cara Suami ‘Ngalap Berkah’ di Ultah Pernikahan Agung Imam Ali dan Sayidah Fatimah

1 Pendapat 05.0 / 5

Kaum Muslimin mengenal “Hari Pernikahan Agung” Imam Ali a.s. dan Sayidah Fatimah a.s. sebagai “pernikahan dua cahaya”. Sebab keduanya adalah insan pilihan Rasulullah Saw yang Allah perintahkan Nabi Saw agar menikahkan mereka. Peristiwa ini terjadi pada 1 Zulhijah tahun kedua hijriah.

Pada momen 1 Zulhijah seyogianya seorang suami memberikan hadiah untuk istrinya sebagai bentuk rasa syukurnya kepada Allah Swt sekaligus demi “ngalap berkah” (mengambil berkah) hari agung ini. Bahkan, akan sangat terpuji bila setiap suami juga meningkatkan jatah nafkah untuk istri dan keluarganya.

Ketahuilah bahwa seorang suami Mukmin memiliki hak yang wajib dan hak yang dianjurkan untuk ditunaikan terhadap istrinya.

Di antara hak yang wajib itu ialah memberikan nafkah sebagaimana diperintahkan Allah Swt,

وَمَن قُدِرَعَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ

dan bagi orang yang terbatas rezekinya, hendaklah dia memberi nafkah dari harta yang dianugerahkan Allah kepadanya. (Q.S. at-Thalaq [65]:7)

Batasan nafkah wajib ini menurut para Imam Ahlulbait a.s. ialah sekadar dapat membuat tegak punggung sang istri, mengenyangkannya dan memberikan pakaian baginya.

Baca: Fikih Quest 74: Pernikahan Beda Mazhab

Imam Ja’far as-Sadiq a.s. menafsirkan firman Allah Swt, Surah at-Thalaq ayat 7 di atas dengan berkata, “Menafkahkannya ialah dengan hal-hal yang dapat menegakkan punggungnya dan pakaian. Jika tidak, pisahkanlah keduanya.”

Imam Ja’far as-Sadiq a.s. saat ditanya tentang ukuran nafkah wajib seorang suami atas istrinya, Beliau a.s. menjawab, “Teratasi rasa laparnya, tertutupi auratnya, dan tidak membuat malu wajahnya. Jika semua itu dilakukan, berarti dia (suami) telah menunaikan haknya.”

Sementara itu ada sejumlah anjuran yang selayaknya dipenuhi seorang suami untuk istrinya. Di antaranya ialah anjuran untuk memperbaiki kualitas nafkah bagi keluarganya jika dia memperoleh keluasan rezeki. Anjuran ini dapat kita temukan dalam sejumlah riwayat Nabi Saw dan Ahlulbaitnya:

Rasulullah Saw bersabda, “Keluarga seseorang itu ialah tawanannya dan seorang hamba yang paling dicintai Allah ialah yang terbaik perlakuannya terhadap tawanannya.”

Abul Hasan a.s. berkata, “Sepatutnya seorang suami memperbaiki kualitas nafkah untuk keluarganya agar mereka tidak berputus asa.” Lalu beliau membacakan ayat, Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan. (Q.S. al-Insan [76]:8)
Beliau kemudian berkata, ‘Tawanan ialah keluarga seorang suami. Jika dia mendapat tambahan nikmat, sepatutnya dia menambahkan keluasan bagi mereka.'”

Imam Ali as-Sajjad a.s. berkata, “Orang paling disenangi Allah itu seorang yang paling meluaskan rezeki atas keluarganya.”

Imam Ali ar-Ridha a.s. berkata, “Orang yang mendapat karunia wajib atasnya meluaskan rezeki atas keluarganya.”

Imam Ja’far as-Sadiq a.s. berkata, “Seorang Mukmin menghiasi dirinya dengan pekerti Allah saat meluaskan rezeki untuk keluarganya bila mendapat keluasan dan menyembunyikannya bila ditahan.”

Abul Hasan a.s. berkata, “Keluarga seseorang itu tawanan baginya. Sebab itu, siapa yang memperoleh nikmat dari Allah, luaskanlah rezekinya atas tawanannya. Jika dia tidak melakukannya, aku khawatir nikmat itu lenyap.”

Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa suami yang sukses itu seorang yang saat diluaskan rezekinya tidak pelit terhadap istri dan anak-anaknya. Semoga kita dapat melaksanakan pesan-pesan tersebut dalam rangka meneladani Imam Ali a.s. dan Sayidah Fatimah a.s.