Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Gerakan Sosial untuk Mewujudkan Keadilan

1 Pendapat 05.0 / 5

Keadilan, bukanlah semata sebuah konsepsi yang bersifat teoritis-diskursif, melainkan bahwa ia adalah sebuah cita-cita (praktis-ideologis). Pada level teoritis, keadilan merupakan suatu kondisi dimana sejumlah hal terpenuhi di dalamnya. Misalnya seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, fiat jutitia bereat mundus. Dengan perspektif teoritis tersebut maka: jika suatu kondisi sosial terdapat pemenuhan hak-hak, maka kondisi tersebut dinyatakan adil. Namun begitu kita berkehendak untuk mewujudkannya, yakni mewujudkan suatu sistem dimana hak-hak tersebut dapat dipenuhi satu sama lain, maka ia telah menjadi konsep praktis.

Sebuah upaya kolektif atas dasar kesadaran bersama yang kemudian melahirkan suatu gerakan bersama baik terorganisir maupun tidak lazim dalam teori sosial disebut sebagai gerakan sosial. Sehingga gerakan sosial mempersyaratkan adanya kesadaran kolektif itu sendiri. Kesadaran memiliki intensi pada keadaan sosial yang kemudian direfleksikan ke dalam diri tiap subyek, dimana dalam refleksi tersebut terdapat upaya untuk melihat keterkaitan antara sistem sosial yang terbangun dengan keadaan-keadaan tiap-tiap individu. Jika tiap-tiap individu makin jauh dari pemenuhan hak-haknya dalam suatu sistem sosial, maka tentu sistem tersebut menyimpan persoalan kemanusiaan.

Narasi Keadilan sebagai Refleksi Kritis atas Dunia yang Tidak Adil

Sebagai contoh, secara fakual, saat ini tengah dihantui oleh soal-soal kemiskinan terutama di negara-negara dunia ketiga.  Pada bulan April 2020, Program Pangan Dunia menyebut bahwa di tahun 2020 ini jumlah orang kelaparan di dunia makin tinggi, bahkan nyaris berlipat ganda. Jumlahnya diperkirakan mencapai total 265 juta orang, atau dengan rasio lebih dari 3 orang dari tiap 100 orang di muka bumi ini mengalami kelaparan dan gizi buruk. Data ini makin diperkuat oleh Douglas L. O’Brien seorang Vice President Programs at The Global FoodBanking Network, dengan mengatakan bahwa pandemi saat ini menyebabkan peningkatan signifikansi teradap permitaan makanan, bahkan iya mensinyalir bahwa pandemi berpotensi besar menyebabkan krisis kelaparan global. Sekitar 690 juta orang kini menghadapi kelaparan kronis dan mungkin akan bertambah 130 juta orang, atau satu dari emat orang di planet ini rentan terhadap kelaparan.

Dijelaskan bahwa sebagian besar mereka yang menderita rawan pangan akut tinggal di negara-negara yang sarat konflik, perubahan iklim yang drastis, juga krisis ekonomi. Sejumlah negara yang mengalami krisis pangan terpuruk tahun lalu yaitu; Yaman, Repubik Demokratik Kongo, Afghanistan, Venezuela, Ethiopia, Sudan Selatan, Suriah, Sudan, Nigeria dan Haiti.

Kemiskinan bukanlah soal sebab kondisi alam belaka, faktanya masih juga berjubal orang-orang kaya di dunia yang menikmati kekayaan di tengah-tengah kondisi kemiskinan dunia. Apa yang terang menderang di sini adalah persoalan sistem dalam tatanan dunia global. Dimana globalisme merupakan rancang bangun dari suatu konsepsi mengenai “pembangunan”. Namun pembangunan dalam nalar globalisme bukanlah semata sekedar pembangunan fisik, tapi ia suatu proyek ideologis: kapitalisme.

Revolusi Islam Iran bisa dinyatakan sebagai upaya transformasi sosial yang ingin memutus hubungan dengan gelombang kapitalisme global dengan strategi dan sistem penciptaan hubungan ekonomi, politik,  kultural dan lingkungan yang secara mendasar baru dan lebih baik. Dalam hal ini transformasi sosial dianggap sebagai salah satu model atau bentuk alternatif tentang perubahan sosial yang merupakan tujuan utama dari gerakan sosial. Dalam konteks Dunia Ketiga, studi tentang gerakan sosial dan transformasi sosial tidak bisa dipisahkan dari masalah pembangunan (Bonner, 1990).

Sebagaimana terurai di atas, bahwa gerakan sosial berangkat dari refleksi kritis atas keadaan, namun di samping itu juga terdapat asumsi filosofis mengenai sejatinya kehidupan manusia (filsafat manusia) dimana hak-hak kemanusiaan merupakan nilai-nilai ontologis yang melekat dalam diri setiap manusia. Manusia harus bergerak berikhtiar untuk mengubah diri dan lingkungannya untuk mencapai keadaan yang lebih baik (berkeadilan). Sehingga gerakan sosial untuk sebuah transformasi sosial merupakan ekspresi jiwa (fitrah) yang selalu menghendaki kebaikan dan keadilan.

Agama dan Keadilan

Dalam tataran yang lebih abstrak, jiwa selalu ingin menemui realitasnya yakni kebaikan sebagaimana jiwa adalah iluminasi wujud ilahi yang Maha Adil, yang termanifestasi dalam inti kemaujudan jiwa manusia. Sehingga logis belaka jika kitab suci menegaskan bahwa berbuat adil merupakan ekspresi ketaqwaan seseorang.

Namun, problem yang kadangkala terjadi adalah isu-isu pembangunan yang kapitalistik seringkali juga didukung oleh teks-teks keagamaan dimana dinyatakan bahwa kemiskinan merupakan soal ketakmampuan seorang individu dalam mengakses kemajuan suatu sistem, sehingga problemnya bukan pada sistem tapi individu yang bersangkutan, sebagaimana gaung filsafat liberal. Maka bagi mereka yang harus dirubah bukan sistemnya melainkan cara pandang individu terhadap sistem tersebut.

Cara pandang ini cukup bermasalah, bagaimana pun sistem sosial (ekonomi-politik) bukanlah sebuah sistem yang netral dari nilai-nilai, justru ia adalah proyek sebuah nilai-nilai (ideologi), ia adalah proyek sebuah cara pandang yang melihat manusia sebagai seonggok komoditas untuk dieksploitasi sehingga menghasilkan apa yang disebutnya sebagai kemajuan dengan sejumlah derivasi makna di belakangnya; pertumbuhan ekonomi, pasar terbuka, kebebasan dan sebagainya.

Oleh karena itu, gerakan sosial kritis juga mesti diandaikan sebagai sebuah proyek ideologis dengan cara pandang yang kontra terhadap praktik reifikasi kemanusiaan ala pembangunan. Manusia harus dilihat sebagai entitas riil yang memiliki nilai-nilai eksitensial yang karenanya ia adalah subyek yang sama dan setara dalam mendapatkan hak-hak kehidupannya yang lebih baik.

Dalam teks al Quran, manusia disebut sebagai insan dan dalam istilah lain juga nafsun, dimana teks ini merupakan sisi tertinggi kualitas kemanusiaan yakni keutuhannya sebagai wujud (baik materi/tubuh dan non-materi/jiwa). Dengan ini, agama hendak menunjukkan bahwa apapun proyek ideologis manusia jika ia hanya berobsesi pada pemenuhan material segelintir orang sementara menyisihkan yang lain maka yang terjadi adalah ketimpangan, dan ketimpangan tersebut akan melahirkan suatu anti-tesisnya yakni gerakan keadilan yang secara historis adalah merupakan peran-peran kenabian.