Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Filsafat Moral: Kebutuhan Jiwa pada Moral

1 Pendapat 05.0 / 5

Etika dan Moral

Jiwa manusia memiliki karakteristik yang unik, keunikan tersebut justru datang dari wilayah dimensionalnya yang kompleks. Apa yang kita kenal di dalam pembagian filsafat menjadi filsafat teoritis dan praktis, tiada lain sesungguhnya merupakan kompleksitas karakter kejiwaan manusia.

Pengetahuan adalah salah satu fenomena jiwa, dengan pengetahuan jiwa dapat mengenal realitas di luar dirinya. Demikian berarti, manusia dapat mengenal alam. Di samping itu, manusia juga memiliki sisi-sisi dimensi kejiwaan selain pengetahuan, seperti perasaan-perasaan sedih, marah, bahagia, sakit dan sebagainya yang lazim disebut sebagai masalah-masalah psikis. Ada pengetahuan dan ada pula perasaan. Dan tak lupa juga ada hal-hal dalam jiwa manusia yang menyebabkan tindakan lahir manusia menjadi mungkin, yakni kehendak, cita-cita, obsesi, harapan atau juga yang menjadikan manusia tak mau melakukan sesuatu yakni ketakmauan itu sendiri.

Dalam konteks hubungan kesadaran (jiwa) dan tindakan manusia, filsafat mengajukan suatu diskurusus yakni Etika dan Moral. Keduanya saling terkait meski tak sama, bahwa pembahasan tentang ajaran moral berkaitan dengan etika. Etika merupakan kajian filosofis atas moral sehingga juga disebut ‘filsafat moral’ yakni ia adalah salah satu bahasan dalam filsafat yang membahas tentang baik dan buruk yang bersifat norma (normatif). Di dalamnya dibahas tentang predikat-predikat kesusilaan, seperti baik, buruk, kebajikan, dan kejahatan (Kattsoff, 1989:80). Kalau etika atau filsafat moral dipandang sebagai teori tentang perbuatan baik dan tidak baik, maka moral adalah bentuk praktiknya dalam perilaku (M. Amin Abdullah, 2002:15).

Etika dan moral berbeda karena sudut tinjauannya, dan perbedaan keduanya masih pula menyangkut wilayah kecondongan jiwa manusia. Jika moral lebih kepada “sikap” jiwa yang menerima ajaran-ajaran kebaikan tertentu sehingga ia merasa harus melakukannya (praktik), sementara etika lebih bernada rasional yakni menganalisis makna-makna yang terkandung di dalam moral, seperti apa itu kebaikan? Dan mengapa ia  harus diikuti?

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Franz Magnis-Suseno etika adalah pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Sedangkan ajaran-ajaran moral adalah ajaran-ajaran, ketentuan-ketentuan, petunjuk-petunjuk, dan ketetapan-ketetapan tentang bagaimana manusia mesti hidup menjadi manusia yang baik. Dengan demikian, apabila ajaran-ajaran moral mengandung perintah untuk mengikuti dan melaksanakan ajaran-ajaran tertentu, maka etika hendak memahami mengapa manusia mesti mengikuti ajaran-ajaran yang diperintahkan untuk diikuti itu. Karena itu, etika dapat dipandang mengandung kekurangan karena tidak berwenang memerintah. Namun sekaligus mengandung kelebihan karena etika menjadikan manusia memahami mengapa ia mesti mengikuti perintah ajaran-ajaran tertentu (Franz Magnis-Suseno, 2006:14).

 

Kebutuhan Jiwa pada Moral

Salah satu ciri kemanusiaan manusia adalah moralitas. Yakni suatu keharusan bagi manusia untuk melakukan apa yang diyakininya harus dilakukan dan meninggalkan apa yang diyakininya harus ditinggalkan. Bayangkan bila manusia tak pernah mengerti mengapa ia harus melakukan sesuatu dan sebaliknya juga tidak mengerti kenapa ia harus meninggalkannya, maka sesungguhnya dalam kondisi yang sedemikian rupa manusia layaknya hewan dimana keharusan dan ketidakbolehannya untuk berbuat sesuatu bersifat instingtif alamiah belaka, tiada makna dan nilai.

Moral yang berpusat pada penerimaan jiwa manusia berupa kepercayaan atas kewajiban-kewajiban tertentu yang wajib dilakukannya mesti juga berpangkal pada kesadaran-diri mengenai mengapa jiwa manusia merasa harus melakukannya. Para filsuf muslim menengarai, tujuan utama mengapa suatu moral mesti diikuti oleh manusia lantaran hakikat jiwa yang ingin mengejar sebuah kebahagiaan. Etika atau filsafat moral dalam Islam merupakan keseluruhan usaha filosofis dalam rangka mencapai kebahagiaan atau berkaitan dengan proses tindakan ke arah tercapainya kebahagiaan.

Oleh karena jiwa adalah entitas non-material yang diyakini memiliki kemampuan untuk mengakses alam-alam transenden (Ibnu Sina: al ‘aqul mustafad) maka corak mistik (tasawuf) dalam membentuk pandangan etika para filsuf muslim begitu amat kental. Untuk itu, secara umum kecenderungan tasawuf merupakan aspek penting yang membedakan antara filsafat Islam dengan filsafat lainnya. Kita dapat melihat dengan mudah narasi-narasi sufistik pada pemikiran tentang etika atau filsafat moral yang dikembangkan para filsuf muslim, seperti al-Kindi, al Ghazali, al-Razi, al- Farabi, Ikhwan al-Shafa, dan Ibnu Miskawaih.

Maka kebahagiaan yang utuh dalam pandangan para filsuf muslim yang memiliki corak sufistiknya adalah sebuah pemahaman bahwa jiwa manusia merupakan manisfestasi Tuhan yang paling sempurna, dalam pengertian memiliki kualitas kosmik yang cukup tinggi, sehingga dikatakan bahwa saat manusia melakukan kebaikan maka ia lebih tinggi derajatnya dari Malaikat, sebaliknya jika ia melakukan keburukan atau bahkan kejahatan maka ia berada di bawah derajat hewan.

Makrifat dan Kebahagiaan

Untuk itu, sang Manifes ini (jiwa) dengan segala potensi yang dimilikinya tiada lain selalu mengalir dalam dirinya nama-nama da sifat ilahy, sehingga membuatnya selalu condong kepada kebaikan dan kesucian (Cak Nur: al hanafiyah as samhah), kecondongan jiwa inilah yang menjadikan manusia mesti melakukan sesuatu yang sesuai dengan kecondongan jiwanya. Maka moralitas memberi jalan dengan konsep baik dan buruknya agar jiwa manusia dapat memilah mana yang akan merusak jiwa (keburukan) dan mana yang menjadi kecondongan jiwanya (kebaikan). Artinya jiwa akan bahagian hanya dengan kebaikan.

Kebaikan secara lahir dapat kita temukan dalam kajian-kajian akhlak yang bahkan bersifat universal, seperti menolong mereka yang lemah, menghormati orang tua, menyayangi sesama manusia. Di samping itu juga ada hukum (syariat) yang menjadi perangkat-perangkat formal sebagai pra-kondisi lahiriah bagi terbentuknya batin yang bersih.

Sementara pada sisi batin, puncak dari kebaikan adalah makrifat, yaitu jiwa yang mengenal diri dan Tuhannya. Sehingga ajaran moral (akhlak), hukum (syariat) tiada lain untuk menghantarkan jiwa manusia untuk sampai kehadhiratNya, karena kembali padaNya adalah kebahagiaan tertinggi bagi jiwa.