Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Meneladani Imam Husein as dalam Mendidik Anak

1 Pendapat 05.0 / 5

Bulan Muharram telah tiba kembali. 1 Muharram dikenal dengan awal dari pergantian tahun di tahun Hijriyyah. Banyak orang memaknai kata ‘hijrah’ dengan berbagai perspektif dan pendekatan, tapi tidak banyak yang mengaitkan hijrah dengan sosok cucu Nabi yang menorehkan sejarah besar dalam mempertahankan agama yang dibawa datuknya di tanah Karbala. Sekalipun ada yang menghubungkan keduanya, hanya terkesan mengulang-ulang. Tentu bukan hal buruk mengulangi hikmah yang didapat dari hijrahnya al-Husein dari tanah kelahirannya menuju Kufah. Namun yang terpenting untuk digarisbawahi bahwa setiap tangisan pada al-Husein harus membuat gerakan yang mengubah bukan saja diri kita sendiri tetapi juga masyarakat yang bergerak menuju pada keadilan.

Sebuah masyarakat adalah kumpulan dari individu-individu dan pendidikan masyarakat dimulai dari pendidikan subsistem terkecil sosialnya yaitu, keluarga. Maka, penting sekali melihat korelasi atau hubungan antara sosok al-Husein dengan bagaimana prinsip pendidikan anak, sehingga kemudian hijrah dimaknai dengan hijrah diri kita yang memerankan peran sentral dalam melahirkan anggota masyarakat nantinya.

Sebagai penerus titah kepemimpinan ayah bahkan datuknya, imam Husein as selalu bertindak dan berucap yang telah disampaikan oleh terdahulunya. Ia penerus apa yang sudah didakwahkan kakeknya dan dipertahankan oleh ayahnya, Ali bin Abi Thalib. Salah satu hal yang ia ikuti dari datuknya ialah, cara mendidik anak-anaknya. Anak-anak al Husein di antaranya, Ali as Sajjad, Ali al Akbar, Ali al-Asghar, Ja’far, Abdullah, Sukainah dan Fatimah

Dalam meneladani sosok al-Husein sebagai pendidik, kita bisa mempelajari beberapa prinsip mendidik anak yang ia praktikan. Pertama, prinsip yang diajarkan oleh Imam Husein adalah menampakkan atau mengekspresikan kasih sayang kita sebagai orangtua kepada anak- anak kita. Karena kasih sayang dalam bentuk tindakan sangat membekas pada anak-anak. Hal ini dilakukan oleh Imam Husein as. Abdullah bin Utbah mengatakan, “saat itu aku berada di sisi al-Husein dan aku melihatnya memanggil Ali as Sajad dan al-Husein dengan penuh kasih sayang memeluk dan mencium keningnya sambal berkata “Demi ayahku, betapa harum dan tampannya dirimu”

Kedua, mengapresiasi anak-anak karena telah mengerjakan hal-hal terpuji. Ali as Sajjad mengatakan, suatu hari aku jatuh sakit dan ayah datang ke sisiku berkata: “apakah ada yang Engkau inginkan?”, aku menjawab “saya ingin menjadi orang yang tidak bertanya apa yang telah Tuhan rencanakan untukku?” ayahku memuji dan berkata, “Engkau seperti Nabi Ibrahim; ketika ia tertangkap dan Jibril mendatanginya dan bertanya “apa pertolongan yang ia kehendaki dari kami?” Ibrahim menjawab “Saya tidak ingin bertanya pada Tuhan. Bagiku cukup Tuhan dan Dia adalah sebaik-baiknya wakil.”. dari cerita tersebut kita bisa melihat bagaimana al-Husein as memberikan apresiasi pada anaknya.

Ketiga, menjadi teladan bagi anak-anak. Kita ketahui bahwa hal terpenting dalam mendidik anak ialah, menjadi contoh terbaik untuk mereka. Hal ini juga dilakukan oleh al- Husein as. Syu’aib bin Abdurrahman Khazai mengatakan, ketika imam Husein as syahid di karbala, di punggungnya ia melihat sebuah tanda dan kemudia ia bertanya pada Imam Ali as Sajad tentang tanda itu. Imam Ali as Sajjad menangis dan mengatakan bahwa “Tanda itu adalah bekas dari makanan yang ia panggul untuk dibagikan ke rumah mustadh’afin.” Imam Ali as Sajad selalu menyaksikan ini dan iapun mengikutinya. Hal ini diperkuat dari imam Baqir yang mengatakan: “Ayahku (Ali as Sajad) setiap malam ia memanggul karung yang berisi roti di punggungnya untuk disedekahkan pada kaum mustadh’afin.”

Keempat, menjadi sahabat dialektika anak. Anak-anak di saat mereka mulai mengenal dan mengetahui banyak hal, mereka akan menghujani orangtua dengan pertanyaan. Maka, sebagai orangtua, kita harus siap menjadi sahabat bagi anak-anak kita bukan sekedar memberikan jawaban, tetapi menstimulus mereka dan memberikan mereka ruang untuk bertanya. Hal ini seperti yang terjadi ketika al-Husein bercerita tentang malam Asyura dan menggambarkan peristwia hari Asyura dan kesyahidan para karib dan kerabatnya. Qasim bin Hasan bertanya pada al-Husein as tentang kesyahidan, kemudian al-Husein as menjawab dengan penuh kasih sayang, “Anakku, bagaimana pandanganmu tentang kematian?”, Qasim menjawab, “Pamanku, kematian bagiku lebih manis daripada madu”. Setelah al-Husein as membangun kemampuan pemahaman Qasim tentang kesyahidan dan mendengar jawaban darinya, al-Husein as berkata: “Semoga kelak Paman berkorban untukmu! Demi Allah! Engkau adalah bagian dari orang yang telah melewati banyak cobaan dan akan syahid bersamaku.”

Kelima, peran kebebasan dan memilih dalam pendidikan anak. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan merdeka dan diberikannya kemampuan untuk berkehendak dan memilih hingga mereka memilih jalan yang benar. Al-Husein as sangat menjunjung tinggi

kehendak bebas manusia dalam memilih. Tidak hanya dalam hal mendidik anak, bahkan di medan perang sekalipun di saat ia betul-betul membutuhkan bala bantuan, ia tetap memberikan pilihan bagi sanak saudara, famili, karib-kerabat untuk memilih tinggal dan berperang atau memilih untuk pergi dari barisannya. Ali bin al-Husein mengatakan bahwa pada malam Asyura, ayahku mengumpulkan keluarganya dan para sahabat dan mengajak mereka bicara: “Wahai keluargaku, anak-anakku dan para pengikutku, manfaatkanlah kesempatan mala mini dan selamatkanlah diri kalian. Aku merdekakan kalian dari bai’at yang kalian ikat padaku.

Kesimpulan

 Dari lima prinsip yang dipaparkan mengenai apa saja yang telah dilakukan secara langsung oleh al-Husein as, kita bisa meneladani dan mempraktekkan dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai pendidik anak-anak kita sendiri. Semoga tahun ini, dengan kita mengenal al-Husein as, kita bisa mendapatkan makna baru dari hijrah al-Husein ke Kufah yang diselesaikan di tanah Karbala.