Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Makna “Maula” dalam Hadis Ghadir Khum Secara Kontekstual

1 Pendapat 05.0 / 5

Peristiwa Ghadir Khum merupakan peristiwa yang tidak mungkin disangkal lagi kenyataan dan terjadinya. Hal ini sudah beberapa kali diulas dalam seri-seri sebelumnya. Semua yang tercatat dalam literatur Islam baik dalam sejarah maupun hadisnya membuktikan bahwa peristiwa tersebut benar-benar terjadi.

Persoalan yang muncul dari peristiwa ini ialah interpretasi orang dalam memahami ungkapan populer Nabi Muhammmad saw dalam kejadian tersebut. Hal ini merupakan kunci utama dalam menyikapi sosok dan peran Imam Ali as bagi Islam itu sendiri. Mereka yang melihat itu sebagai keutamaan biasa layaknya sahabat yang lain maka tidak ada bedanya sosok Ali dari selainnya, sementara itu mereka yang meyakini itu sebagai proklamasi kepemimpinan setelah Nabi saw, maka sudah tentu akan melihat sosok Ali berbeda dari selainnya, ia adalah penerus kepemimpinan Nabi saw.

Dari sini perlu kiranya kita memahami hadis tersebut dari konsteksnya, sebab peristiwa Ghadir Khum telah tertimbun dalam jeda waktu yang berabad-abad, dan yang sampai pada kita hanyalah berupa teks atau informasi dari para sejarawan, ulama dan semisalnya. Pentingnya konteks dalam memahami sebuah informasi adalah acuan yang sangat logis, sehingga jika kita abai dalam hal ini bisa jadi apa yang kita pahami itu keliru dan tidak sesuai dengan kenyataan.

Dalam hadis Ghadir Khum, khususnya dalam memaknai lafal “maula”, setidaknya terdapat dua konteks; konteks keadaan (qarinah haliyah) dan konteks perkataan (qarinah maqaliyah). Konteks keadaan adalah kondisi waktu dan tempat yang ada ketika itu yang membungkus pernyataan yang keluar dari Nabi saw, sementara  konteks perkataan ialah pernyataan atau hal-hal tekstual lainnya yang memiliki keterkaitan dengan ucapan Nabi saw.

Adapun konteks keadaan dalam peristiwa Ghadir Khum, seperti yang telah diulas salah satunya dalam seri ini. Dalam konteks ini kita akan mendapati bahwa peristiwa tersebut terjadi setelah pelaksanaan haji Wada’ atau bisa disebut haji perpisahan Nabi saw sebab itu menjadi ibadah haji terakhir bagi beliau, juga saat semua kafilah mulai bergerak untuk kembali ke daerah asalnya masing-masing dan terjadi di sebuah tempat yang bernama Khum yang menjadi tempat untuk singgah para musafir demi istirahat sejenak dan mengambil air, selain itu peristiwa tersebut juga terjadi di tengah musim panas. Nabi saw juga memberi perintah kepada muslimin untuk berkumpul di tempat tersebut, mereka yang masih di belakang diperintah untuk bergegas dan mereka yang di depan disuruh untuk kembali. Setelah semuanya itu -bahkan disebutkan bahwa yang hadir ketika itu mencapai puluhan ribu- nabi menyuruh beberapa orang untuk membuat semacam panggung dari tumpukan pelana unta, kemudian melakukan khutbah yang panjang.

Dari semua faktor yang disebutkan jelas terlihat bahwa ada hal penting dan sangat mendesak yang perlu disampaikan oleh Nabi saw dan diketahui oleh kaum muslimin ketika itu juga, tanpa ada penundaan, sebelum mereka berpencar dan kembali ke wilayahnya masing- masing. Di samping hal itu juga yang akan menjadi pesan terakhir Nabi saw bagi kaum muslimin yang tidak tinggal di Madinah. Berangkat dari ini apabila kita kembali pada makna “maula” yang pada pembahasan sebelumnya telah kita bahas sebagai musytarak maknawi, maka hal itu sudah jelas bermakna “aula” atau lebih utama yang membuahkan konsep kepemimpinan. Sedangkan apabila kita menolak maknanya sebagai musytarak maknawi, dan melihatnya sebagai musytarak lafdzi atau memiliki makna yang beragam yang mana salah satunya bermakna “aula” dan pemimpin, maka dengan ini pun, berdasarkan konteks keadaan yang telah disebutkan, tidak ada satu pun makna yang lebih cocok dan logis untuk menempati lafal “maula” kecuali bermakna “aula” atau pemimpin. Sebab makna tersebut memiliki bobot yang seimbang dengan konteks keadaan yang ada ketika itu. Dalam hal ini urusan kepemimpinan setelah Nabi saw adalah urusan yang sangat penting dan mendesak.

Adapun pemaknaan “maula” dengan selain yang disebutkan di atas atau khususnya dengan artian sebagai penolong atau pecinta, maka urgensitasnya tidak dapat menopang konteks keadaan yang tadi disebutkan. Dimana hal tersebut adalah hal yang dapat nabi sampaikan kapan saja dan dimana saja, tidak ada desakan tertentu yang mendorongnya untuk menyatakan itu dalam peristiwa Ghadir Khum.

Adapun konteks perkataan dari hadis Ghadir Khum, sebagaimana telah kita sebutkan bahwa konteks ini berkaitan dengan perkataan Nabi saw sendiri atau ayat yang berhubungan dengan peristiwa tersebut, maka dalam hal ini terdapat beberapa poin yang harus kita cermati:

Pertama ialah awal hadis. Dan itu adalah pertanyaan Nabi saw yang berbunyi:

ألست أولى بكم من أنفسكم

Bukankah aku lebih utama terhadap kalian ketimbang diri kalian sendiri.

Atau dengan kalimat lain yang mendekati, seperti yang dijelaskan dalam seri ini, bahkan Allamah Amini mencatat puluhan ulama yang menghafal periwayatan awal hadis tersebut dalam kitabnya Al-Ghadir jilid pertama. Kemudian setelah itu masuk pada inti hadisnya yang berbunyi:

من كنت مولاه فعلي مولاه

Barangsiapa yang aku adalah maula-nya, maka Ali adalah maula-nya.

Dengan melihat awalan hadis tersebut, maka jelas bahwa maksud yang diinginkan dari “maula” adalah “aula” atau yang lebih utama.

Kedua ialah lanjutan hadisnya yang berbunyi:

اللهم وال من والاه وعاد من عاداه

Ya Allah tolonglah orang yang menolongnya dan musuhilah orang yang memusuhinya.

Atau dalam beberapa jalur hadis lain disebutkan:

وانصر من نصره واخذل من خذله

(Ya Allah) tolonglah orang yang menolongnya dan hinakanlah orang yang menghinakannya.

Atau pernyataan lainnya dengan makna serupa. Doa Nabi saw adalah mustajab dan doa ini secara tidak langsung memperlihatkan posisi dan kedudukan Imam Ali as yang tidak biasa, dimana berpihak padanya berada dalam naungan Allah swt, sementara memusuhinya akan dimusuhi Allah swt. sehingga dari penyebutan doa ini terlihat secara tegas dan sungguh-sungguh Nabi saw mengangkat Imam Ali as sebagai “maula”. Dan dari semua maknanya tidak ada yang sepadan dengan penyebutan doa tersebut melainkan dengan makna seperti pada awalan hadis yaitu “aula” atau lebih utama.

Ketiga adalah pengambilan syahadah atau kesaksian. Hadis Man Kuntu Maulahu juga didahului oleh pertanyaan Nabi saw yang meminta kesaksian kaum muslimin, dimana beliau bersabda:

ألستم تشهدون أن لا إله إلا الله، وأن حجته حق الخ

Bukankah kalian bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya dan bahwa hujjah-Nya adalah benar..(hingga akhir).

Pernyataan pengangkatan Imam Ali as sebagai “maula” yang terletak dalam konteks kesaksian atas tauhid, risalah, hujjah dan hal-hal lainnya yang merupakan komponen penting dan primer dalam Islam melazimkan maksud dari “maula” itu sendiri adalah hal yang sangat krusial, dan itu tidak akan terwujud melainkan maknanya adalah lebih utama.

Keempat turunnya ayat Ikmaluddin atau penyempurnaan agama. Hal ini telah diulas dalam seri berikut.

Kelima adalah pemberitaan wafat. Dalam khutbah panjangnya dalam Ghadir Khum, Nabi saw mengabarkan pada kaum muslimin dengan berkata:

كأني دعيت فأجبت

Seakan-akan aku diseru dan aku menjawabnya.

Atau dalam periwayatan yang lain:

إنه يوشك أن ادعى

Bahwasannya aku mulai dipanggil.

Pesan ini secara jelas memberitahukan bahwa beliau akan meninggalkan umatnya. Oleh sebab itu sebelum itu terjadi, hal utama yang dibutuhkan demi menjaga keberlangsungan Islam adalah dengan mengangkat penerusnya. Dan itulah yang secara jelas terlihat dalam peristiwa Ghadir Khum.

Keenam adalah perintah Nabi saw kepada orang-orang yang hadir untuk memberitakan kepada mereka yang tidak hadir. Di penghujung khutbahnya, Nabi saw mengeluarkan perintah tersebut.Apa maknanya perintah itu bila tidak dilatarbelakangi oleh urusan yang sangat penting yang harus diketahui oleh seluruh kaum muslimin. Dan lagi-lagi dari semua makna “maula” tidak ada yang lebih berat bobot kepentingannya kecuali makna “aula” atau lebih utama.

Sehingga dari semua penjelasan di atas, hadis Ghadir Khum akan sejalan dengan semua konteksnya apabila lafal “maula” dipahami dengan makna “aula” atau lebih utama, yang mana dari hal itu dipahami konsep wilayah atau yang sederhananya disebut sebagai kemimpinan. Dan tentu jelas bahwa hal ini merupakan urusan yang sangat penting bagi seluruh kaum muslimin dan wajib untuk diketahui.