Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Realisme Moral: Kemanusiaan Sebagai Basis Ontologi Moral

1 Pendapat 05.0 / 5

Hal krusial dalam pemikiran mengenai status moral adalah status ontologisnya. Yakni apakah konsepsi moral bisa diacu secara obyektif yang berarti ia ada di luar ranah emosionalitas, preferensi individu, selera atau ia hanya ungkapan individual yang terkait dengan kepentingan individu belaka?

Mula-mula mesti kembali kita perhatikan suatu proposisi yang terkandung muatan moral di dalamnya. Dan sebagaimana telah diungkap dalam tulisan-tulisan sebelumnya bahwa moral adalah konsepsi yang mengacu pada tindakan ikhtiari manusia berdasar paham yang diyakininya. Dan paham tersebut berakar pada pandangan dunianya.

Konsep moral, dikatakan sebagai konsep praktis karena ia hendak menilai tindakan dari sudut penilaian moral. Sebutlah di sini kita mengatakan “mencuri itu perbuatan yang buruk”. Konsep “mencuri” sendiri bukanlah konsep yang netral begitu saja, melainkan ia konsep yang didefinisikan. Yaitu katakanlah suatu tindakan mengambil barang orang lain tanpa izin.

Maka, dalam konsep “mencuri” mengandaikan sejumlah hal. Hal utama yang terjadi secara praktis adalah tindakan ‘pengambilan barang orang lain’. Maka, terkandung sejumlah hal yang dapat dirumuskan. Pertama, adanya barang yang dimiliki orang lain, yang berarti terdapat ‘kepemilikan’ atas barang tersebut oleh orang lain. Maka suatu tindakan dianggap sebagai pencurian jika barang yang diambil adalah barang orang lain.

Kedua, tidak cukup di situ, apa yang tertera di situ juga adalah juga “tanpa izin” yang berarti suatu tindakan mengambil barang orang lain dapat dikatakan suatu tindakan pencurian lantaran tiadanya izin atau kerelaan bagi orang lain yang diambil barangnya.

Maka jelas, hukum moral “buruk” berlaku tidak sekedar pada aksi pengambilan barangnya, melainkan pada kategori tindakan pengambilan yang spesifik yakni pencurian. Karena tidak semua tindakan pengambilan barang bisa dianggap pencurian, seperti mengambil barang sendiri, atau mengambil barang yang dimiliki secara publik (public ownership).

Konsep Moral dan Kategori Ideologis Suatu Tindakan

Maka hukum moral “keburukan” mengacu pada suatu tindakan dengan kategori tertentu. Sehingga kategori itulah yang menjadikan hukum moral berlaku. Bagaimanapun tindakan sebagai aksi (aksi fisik atau non-fisik) adalah semata sebuah aksi tanpa nilai. Ia menjadi memiliki nilai moral jika termaktub dalam kategori tertentu.

Pencurian sebagai kategori suatu tindakan, dirumuskan berdasar nilai-nilai. Seperti tersebut di atas, ada nilai kepemilikan, dan nilai kerelaan pemiliknya. Maka kita dapat cermati bagaimana suatu barang bernilai kepemilikan dan mengapa kepemilikan tersebut memiliki kaitan dengan kerelaan pemiliknya.

Dalam hal ini, termaktub suatu pandangan ideologis yang mengabsahkan suatu sistem yakni kepemilikan. Bahwa kepemilikan menjadi absah dilihat dari ketetapan ideologis tertentu. Dengan narasi di atas, maka sebaliknya dapat kita katakan jika terdapat suatu sistem dimana di dalamnya tidak diakui status kepemilikan individual maka dengan sendirinya konsep pencurian tidak memiliki makna.

konsep ideologis sebagai ketetapan sistem jelas mengacu pada pandangan akan sesuatu. Dalam konteks kepemilikan suatu properti oleh seseorang manusia, menandaskan adanya pandangan bahwa manusia secara individual berhak memiliki suatu properti. Di sini kita dapat bertanya, apa landasan kepemilikan tersebut?

Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa bermacam-macam dilihat dari sudut pandang yang berbeda-beda. Misal, secara yuridis, suatu kepemilikan dikatakan sah jika didasarkan pada traksaksi yang benar secara hukum. Atau dalam perspektif kebudayaan suatu kepemilikan dikatakan absah jika diberikan secara suka rela oleh pemilik sebelumnya.

Maka konsep kepemilikan masih bergantung pada suatu sistem di belakangnya. Namun apa arti penting suatu kepemilikan? Apa yang jelas adalah bahwa manusia mesti menggunakan sesuatu properti untuk pengembangan kehidupannya. Setiap manusia misalnya butuh tempat tinggal, butuh makan, dan sekian kebutuhan lainnya. Tanpa itu semua setiap manusia akan sulit mengembangkan kehidupannya.

Manusia secara universal memiliki insting untuk bertahan dan memberlangsungkan kehidupannya, dan untuk itu ia butuh sekian hal untuk memenuhi kehidupannya. Maka arti kepemilikan berakar pada kebutuhan manusia dalam mengembangkan kehidupannya secara kreatif dan progresif.

Dalam posisi ini suatu sistem kepemilikan menjadi penting sebagai intrumen kehidupan. Maka, nilai kepemilikan tidak sekedar keabsahan yuridis yang berlaku, lebih mendasar dari itu adalah faktor eksistensial kebutuhan manusia secara universal. Dengan begitu dapat kita katakan bahwa sistem kepemilikan berakar pada nilai obyektif kehidupan manusia, bukan selera, kesepakatan atau perintah.

Tidak hanya soal kepemilikan barang-barang material yang lazim dirumuskan dengan tiga kategori: Sandang, Pangan, Papan. Tapi juga aspek-aspek kemanusiaan yang lebih subtil yakni harkat, martabat, kehormatan dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya.

Dengan ketetapan ideologis akan arti kepemilikan suatu properti atas manusia baik secara sosial maupun individual. Maka hal-hal yang dapat merusak nilai tersebut bernilai negatif. Apa yang afirmatif pada manusia adalah tersedianya suatu kondisi yang memungkinkannya dapat mengembangkan hidup, dan apa yang negatif adalah sebaliknya merusak setiap upaya untuk mengembangkan hidup.

Kemanusiaan Sebagai Jangkar Penilaian Moral

Maka, nilai-nilai moral sejatinya adalah konstruksi makna untuk melindungi setiap manusia dari hal-hal yang merusak dirinya. Dan kemudian nilai-nilai tersebut dilembagakan dalam tata struktur politik, hukum dan kebudayaan. Maka, setiap struktur sosial dalam ragam dimensinya baik itu dalam ranah politik, ekonomi, hukum, atau kebudayaan secara logis berjangkar pada nilai-nilai kemanusiaan.

Untuk itu Islam, menggariskan nilai kemanusiaan dengan cukup indah, bahwa setiap manusia berasal atau diciptakan dari satu jiwa yang sama (min nafsin wahidah). Yang dalam kajian tasawwuf jiwa yang satu itu adalah cahaya, Nur Muhammad. Maka setiap manusia memiliki perangkat yang menyatukan satu sama lain, yakni hati nurani. Tanpa kesadaran akan suara hati nuraninya, yang akan terjadi adalah penegasian satu manusia atas manusia yang lain. Dan apa yang dimaksud dengan penjajahan dengan aksi eksploitasi, perampokan, pencurian adalah fakta vulgar dimana suatu kelompok manusia tengah terjebak dengan ambisi hewaniahnya dan kehilangan kontak dengan hati nuraninya.

Berdasar pada narasi di atas, sesungguhnya nilai-nilai moral memiliki sandaran obyektif yakni mengacu pada hal-hal yang menjadi kebutuhan manusia baik secara lahir maupun batin. Namun arti penting nilai moral tidak semata pada kehidupan praktis manusia dimana hewan pun juga menjalani kehidupan praktisnya.

Sehingga, nilai moral memang berasal dari suatu konstruksi makna akan kehidupan setiap manusia. Bahwa manusia hidup dalam dunia makna. Dunia manusia bukan saja dunia material tapi dunia makna, dimana makna ini lah sebagai sandaran atas semua nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan manusia.

Jika hanya soal makan dan minum, hewan pun juga makan dan minum, jika hanya soal tempat tinggal, hewanpun juga membangun tempat tinggal mereka. Apa yang membedakan manusia dengan hewan adalah dunia maknanya. Makna inilah yang menjadikan manusia mengerti akan arti kehidupan dan bukan sekedar kenyataan bahwa ia hidup, ada penghayatan, ada nilai dan tujuan kehidupannya secara eksistensial.

Maka, perspektif irealis yang hanya menekankan nilai moral pada dasar selera akan menggiring manusia layaknya hewan. Begitu pula jika mendasarkan diri hanya pada perintah sebagai perintah akan menjadikan manusia seperti domba-domba yang bisa digiring kesana-kesini. Dan dalam kesepatakan, pertanyaannya apakah kesepatakan terjadi begitu saja, bukankah ia hanya aggregasi dari sekian makna yang dimengerti dan disetujui?

Sehingga sekali lagi, nilai-nilai moral bekerja dalam dunia makna yang berakar pada kondisi obyektif-realis manusia. Karena untuk mengenal apa yang baik dan buruk, manusia mesti mengenal siapa dirinya, dengan mengenal siapa dirinya ia akan mengetahui apa yang seharusnya ia jalani.