Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Basis Konsepsi dan Penilaian Moral

1 Pendapat 05.0 / 5

Sebagaimana telah sering dijelaskan bahwa manusia merupakan makhluk dengan kesadaran yang unik. Bukan saja pada nalar rasional yang mampu mengabstraksi realitas dan menemukan pola-pola eksistensial tapi juga kesadaran etis mengenai apa yang terbaik untuk dilakukan sebagai manusia.

Secara umum dapat dijelaskan bahwa manusia memiliki dua bentuk pola pikir. Dimana keduanya saling mengandaikan. Yang pertama adalah gugus teoritis berupa pandangan dunia, yakni cara pandang melihat realitas; Tuhan, Alam dan termasuk realitas manusia yang berarti juga terkait dirinya sendiri sebagai manusia. Yang kedua, adalah gugus pemikiran praktis, dimana pemikiran merupakan implikasi logis dari suatu pola pikir teoritis.

Jika dalam pandangan dunia seseorang memahami dan meyakini kemuliaan nilai-nilai kemanusiaan, maka secara praktis tindakan menghormati manusia adalah baik dan merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan. Jadi corak pandangan seseorang amat berpengaruh terhadap tindakannya.

Begitu pula pandangan moral seseorang amat dipengaruhi oleh pandangan dunia atau keyakinannya mengenai realitas. Dengan begitu, moral sebagai suatu pandangan praktis, bergantung pada cara pandang terhadap dunia.

Epistemologi Moral

Filsafat akhlak atau etika, membahas nilai-nilai moral: Baik – Buruk. Sebagai konsep, baik-buruk, secara epistemologi berciri sekunder sebagaimana konsepsi filsafat. Dalam konstruksi konsep filsafat sendiri, eksistensi adalah kajian utamanya, dimana akal dengan kemampuan rasionalnya dapat melihat suatu eksistensi dalam beragam konsepsi yang berciri kategoris: wajib-mungkin, sebab-akibat, potensi-aktual, unitas-pluralitas dan sebagainya.

Bagaimana dengan konsep moral? Dalam konstruksi yang bagaimana konsep “baik-buruk” muncul dalam pikiran manusia?

Konsepsi moral mengindikasikan bahwa manusia tak hanya berpikir, tapi berkehendak dan berkecenderungan. Inti kehendak dan kecenderungannya adalah melakukan dan menerima perlakuan yang membuat dirinya sempurna, bahagia, senang, tenang, nikmat dan sebagainya.

Di antara sekian kecenderung di atas akan menjadi dasar bagi terciptanya suatu konsepsi moral. Jika seseorang hanya ingin melakukan apa yang nikmat bagi dirinya saja, atau sebaliknya diperlakukan secara menyenangkan belaka, maka apa yang dinilainya baik adalah apa yang membuatnya nikmat.

Di pihak lain, barangkali ada juga seorang yang banyak melakukan beragam hal yang justru tak mendatangkan kenikmatan, ketenangan, namun bahkan selalu berbalut ketegangan, keberbahayaan, tapi tetap dilakukannya karena ada nilai yang mengungguli dari semua akibat yang diterima. Seorang aktivis HAM, Munir, misalnya, akan sadar betul atas apa yang diperjuangkannya, termasuk akibat-akibat, tantangan dan risiko yang bakal dihadapinya. Tapi kenyataannya ia tak surut dengan semua risiko dan ancaman yang ada. Berarti ada nilai yang lebih tinggi yang membuatnya merasa berharga dengan memperjuangkan nilai tersebut.

Maka nilai moral terkait dengan suatu tujuan yang luhur, dan usaha yang keras untuk mencapainya. Keluhuran suatu tujuan bersifat konseptual. Suatu tujuan dinilai tinggi dan rendah berpulang pada perspektif pandangan dunianya. Membela hak-hak kaum tertindas akan dinilai sebagai sesuatu yang luhur oleh mereka yang berkesadaran akan arti penting nilai-nilai kemanusiaan. Namun bisa menjadi tak berarti apa-apa bagi mereka yang tak hirau dengan nilai-nilai kemanusiaan. Maka kesadaran akan dunia menentukan nilai kesadaran moralnya.

Dalam kenyataan sehari-hari, kata ‘baik-buruk’ tak selalu bertendensi moral, namun kadang lebih sebagai tepat atau tidaknya sesuatu sesuai dengan tujuan, sasaran dan targetnya. Misal seseorang berkata “sebaiknya kalau malam jangan begadang agar besok paginya badan bisa lebih segar”, kata ‘baik’ dalam ungkapan ini tidak bertendensi moral namun lebih pada hubungan yang tepat antara tindakan dan hasilnya.

Apa yang perlu kita gariskan adalah, bahwa kebaikan dalam pengertian moral bersangkutan dengan tindakan ikhtiar manusia yang dilakukan secara sadar. Dan kualitas tindakan tersebut bergantung pada seberapa kokoh dan mendalamnya kesadaran dunia yang dimilikinya.

Konsep moral secara praktis selalu bergandengan dengan keharusan dan larangannya. Dengan diktum ‘yang baik harus dilakukan dan yang buruk harus ditinggalkan’. Hal ini lantaran, ‘keharusan’ merupakan suara atau desakan jiwa yang menghendaki terwujud atau tidaknya suatu tindakan.

Antara yang Harus dan yang Diinginkan

Namun apa yang harus dalam benak kita, kadang tak sama dengan apa yang kita inginkan. Posisi ini merupakan suatu ke-khasan manusia, dengan begitu level kesadarannya amat menentukan dalam proses mempertimbangkan mana yang akan dipilihnya.

Dalam suatu riwayat tertulis, suatu waktu seorang perempuan pendosa tengah berupaya mengambil air dari sumur dengan susah payahnya untuk menghilangkan dahaganya yang amat sangat, dan saat air tersebut telah ia peroleh, ia lalu melihat seekor anjing juga merasakan kehausan. Kini ia harus memilih, menegak sendiri air tersebut atau memberinya kepada hewan tersebut? Lalu yang terjadi ia memberikan air itu pada anjing yang kehausan.

Perempuan ini melakukan apa yang seharusnya, meskipun itu bukan keinginannya, karena yang ia inginkan adalah meminum sendiri itu air. Tapi dengan berpikir jernih, ia sadar bahwa ia dapat mengambil kembali air tersebut dari sumur, tapi tidak demikian pada anjing.

Keinginan pada manusia adalah alami belaka, persis dengan hasrat-hasrat yang dimiliki oleh hewan dan binatang. Namun hewan tak memiliki konsepsi dan pertimbangan mengenai apa yang harus mereka lakukan kecuali insting bertahan dan memberlangsungkan hidupnya. Bagi manusia bahkan, kehidupan nyawa dan raga bisa ia pertaruhkan jika hal itu untuk suatu perjuangan yang bernilai tinggi di hatinya.

Bahkan lebih jauh, dalam perspektif irfan, apa yang luhur dan tinggi dari kehidupan—yang membutuhkan perjuangan dan pengorbanan—adalah apa yang sesugguhnya diinginkan oleh jiwa, hanya kadangkala jiwa kita tertutupi oleh nafsu, sehingga yang bekerja bukan suara jiwa, tapi suara nafsu.