Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Epistemologi Ekonomi: Status Keilmuan Ekonomi Islam

1 Pendapat 05.0 / 5

Ekonomi Islam selalu hangat menjadi perbincangan. Terutama adalah pada status keilmuannya. Apakah memang ia bersifat ilmiah layaknya teori-teori ilmiah pada umumnya, atau ia sejenis ideologi yang berangkat dari keyakinan-keyakinan sehingga tidak bisa diverifikasi benar salahnya.

Kepentingan pembahasan ekonomi di sini bukan pada pembahasan seluk beluk ke-ekonomian yang kompleks. Tapi melihat “kerangka berpikir” di balik suatu praktik ekonomi di satu sisi dan Islam sebagai ajaran keagamaan di sisi yang lain. Filsafat dalam konteks ini hendak dibaca sebagai suatu bentuk dan nilai pengetahuan (epistemologi) guna menemukan struktur pengetahuan ilmiah dan ideologis.

Dalam filsafat klasik. Ekonomi dikategorikan sebagai filsafat praktis. Hal ini lantaran ekonomi terkait dengan aktivitas ptaktik manusia yang berusaha memenuhi kebutuhan material hidupnya dimana hal itu dikejar untuk suatu kepuasan yang maksimum (maximum utility). Dan untuk sebuah kepuasan yang maksimum tersebut diperlukan suatu sistem.

Mula-mula ekonomi pada manusia adalah suatu kesadaran akan kebutuhan dalam dirinya, kebutuhan akan hal-hal material untuk dikonsumsi. Hingga kemudian membentuk sistem-sistem perilaku: Produksi, Transaksi, Konsumsi dan aneka bentuk aktivitas-aktivitas lainnya. Dengan munculnya sistem kerja ekonomis dalam ragam bentuknya, lalu manusia (ilmuan ekonomi) merumuskan suatu pengetahuan yang menggambarkan bagaimana suatu sistem ekonomi bekerja.

Tapi, segi keilmuan ekonomi yang dimana ia mengurai kerja manusia, maka ia tidak saja bermaksud menggambarkan suatu ragam aktivitas, tapi juga menetapkan dan menilai aktivitas yang bagaimana yang terbaik untuk dilakukan. Aspek nilai terbaik ini pada gilirannya membawa manusia (ilmuan ekonomi) untuk tidak sekedar melihat sisi kepuasan yang amat bersifat individual melainkan ‘keadilan’ yang bisa terpenuhi secara sosial.

Ekonomi: Tak Sekedar Ilmu

Adam Smith, yang disebut sebagai perumus Ilmu Ekonomi modern dengan karya monumentalnya “Yhe Wealth of Nations” tidak saja menggambarkan suatu realitas sistem ekonomi, namun juga meletakkan suatu penilaian ideologis mengenai sistem ekonomi yang terbaik bagi masyarakat. Apa yang terbaik bagi perkembangan ekonomi menurutnya adalah memusatkan seluruh aktivitas ekonomi dalam suatu wadah bersama yakni “pasar”.

Pasar, dalam terang pemikiran Smith, adalah ruang yang bebas dimana produsen bebas memproduksi apa saja, bebas menetapkan harga, sementara konsumen juga bebas memilih produk yang akan dimanfaatkannya. Kebebasan dengan begitu adalah corak pertama rumusan ideologis ekonomi yang diitroduksi oleh Adam Smith.

Kebebasan juga bertumpu pada kesadaran rasional manusia sebagai ‘homo rationale’ yang dapat menimbang-nimbang akan apa yang akan diproduksinya dan apa yang akan dikonsumsinya.

Hingga kemudian teori Smith ini mendapat kritik yang tajam terutama yang lahir dari kelompok pemikir sosialis yang salah satunya melahirkan tokoh Karl Marx. Apa yang menjadi kritik dari kelompok ini adalah struktur sosial yang diabaikan dalam teori pasar. Dimana sistem pasar tak pernah benar-benar dapat menyeimbangkan struktur masyarakat dan bahkan memperlebar ruang ketimpangan.

Apa yang terang di atas adalah bahwa ekonomi bukan sekedar suatu ilmu tentang masyarakat, tapi suatu doktrin yang ditetapkan yang akan membentuk sistem yang diyakini mampu membawa masyarakat pada kondisi yang terbaik: keadilan, keseimbangan dan kesejahteraan.

Maka dari sini, seorang filsuf muslim seperti Baqir Shadr melihat terdapat 2 model analisa untuk melihat fenomena ekonomi. Yakni, analisa ilmiah dan doktrinal.

Analisa Ilmiah mempelajari fenomena sebagai fenomena tanpa melibatkan unsur nilai (ideologi) sehingga ia hanya membaca dan menafsir fakta-fakta dan hubungan kausasi satu femomena tertentu dgn fenomena lainnya. Seperti hubungan permintaan dan penawaran yang diekpresikan dalam bentuk harga. Makin tinggi suatu permintaan makin tinggi harga yg diberikan, begitu sebaliknya.

Atau hukum ekonomi yang lain seperti ‘the laws of deminishing Margin Utility’ yang menilai adanya margin yang kian berkurang dalam setiap aktivitas konsumsi. Sementara analisa doktrinal (ideologi) adalah untuk menyingkap unsur yang mengkonstitusi, meregulasi dan mensistematisasi mengapa sebuah proses/sistem ekonomi bekerja sedemikian rupa.

Ekonomi Islam Sebagai Doktrin Sosial

Ekonomi Islam dalam pandangan Baqir Shadr, tidak terutama untuk menjelaskan realitas ekonomi. Karena toh kita tidak menemukan teks-teks di dalam al Quran maupun Hadist yang berbicara tentang hukum perilaku konsumen, hukum permintaan, penawaran, teori harga dan sebagainya. Tapi Islam hadir sebagai suatu doktrin yang tercermin dalam hukum-hukum (syariat).

Islam lebih berbicara terkait dengan tatanan sosial yang mesti dikokohkan untuk mencapai keadilan termasuk tatanan sosial ekonomi. Misalnya Islam membolehkan suatu bentuk kepemilikan dengan suatu syarat tertentu, membolehkan suatu transaksi jual beli dengan syarat tertentu yakni non-ribawi. Islam juga berbicara hak-hak kaum dhuafa yang mesti diperlakukan secara adil dengan suatu afirmasi tertentu.

Di saat yang sama, Islam juga mengecam suatu bentuk sistem ekonomi yang hanya menumpuk harta tanpa pemanfaatannya secara sosial. Intinya, harta sebagai subyek ekonomi, dalam Islam dilihat sebagai entitas sosial yang dalam penggunaannya (tashorruf) mesti berdaya sosial.

Maka, ekonomi Islam lebih melihat ekonomi sebagai hubungan antar manusia, bukan saja hubungan manusia dengan barang. Maka, Ekonomi Islam lebih bercorak ideologis untuk menghindarkan manusia dari suatu bentuk eksploitasi satu manusia atau kelompok terhadap manusia lainnya.

Tentu saja, pada dasarnya setiap doktrin ekonomi (kapitalisme, Sosialisme, Islam) berakar pada pandangan dunia mengenai manusia, alam, sejarah, hingga tujuan hakiki kehidupan manusia di alam semesta ini.