Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Pemaaf dan Sabar, Akhlak Nabi dan Orang-orang Saleh

1 Pendapat 05.0 / 5

Memaafkan adalah salah satu akhlak yang sangat mulia dalam Islam. Para Maksumin as bukan hanya sekedar memberikan contoh dan teladan dalam hal ini namun juga mewajibkan para pengikutnya untuk menjadikan sifat memaafkan sebagai perhiasan diri.

Memberi maaf berkaitan erat dengan kesabaran. Sabar untuk tidak melampiaskan kemarahan secara tidak wajar ketika disakiti, diejek ataupun dicemooh orang serta sabar dalam menanti orang lain mengalami proses menuju kebaikan dan kesempurnaan dirinya. Dalam pandangan Ahlul Bait, kesabaran mengambil porsi banyak dalam agama. Imam Ja’far Shadiq as pernah bersabda, “Wahai umat manusia, tetaplah berada dalam kesabaran. Sebab bagi yang tidak memiliki rasa sabar, sesungguhnya tidak memiliki agama.” (Bihar al Anwar, jilid 48 hal. 92).

Para ulama akhlak membagi sabar menjadi tiga bagian. Sabar dalam menghadapi kesulitan-kesulitan, sabar dalam melaksanakan ketaatan dan sabar dalam menjauhi kemaksiatan.

Sabar dalam menghadapi kesulitan adalah sebuah pembahasan yang sangat urgen dalam Islam. Al-Qur’an memberi wasiat kepada kita untuk bersabar dalam menghadapi kesulitan. Pada akhir surah Al-Furqan, ketika berbicara mengenai sifat-sifat orang mukmin, Allah SWT berfirman, “Dan hamba-hamba Tuhan itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (Qs. Al-Furqan: 63). Seorang mukmin yang sejati adalah yang senantiasa memberikan keselamatan bagi orang lain. Ia tidak peduli dengan sikap jahil orang lain atas dirinya.

Sungguh sangat mengagumkan, kata-kata kasar justru dibalas dengan kata-kata yang lemah lembut. Kalimat penuh permusuhan justru dibalas dengan kalimat yang mengandung keselamatan dan pencerahan. Sifat sabar dan pemaaf inilah yang membedakan antara orang beriman dengan yang tidak beriman. Sebab jika kata-kata kasar dibalas dengan kata-kata sejenis tentu seorang mukmin tidak akan tampak keistimewaannya diatas yang lain.

Pada permulaan surah Muzammil juga mengisyaratkan akan hal ini. Allah SWT berfirman, “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.” Melalui ayat ini, Allah SWT menawarkan metode pendidikan yang  sangat brilian. Bagi para pendidik atau orangtua yang mendapat amanah untuk mendidik generasi yang sedang bertumbuh firman Allah SWT tersebut bisa dijadikan inspirasi. Dalam menghadapi manusia yang sedang dalam menjalani proses kematangan berpikirnya, kita harus menghadapinya dengan sikap penuh kesabaran, bukan dengan kemarahan dan sikap masam. Dan jika mereka tidak juga menunjukkan adanya perubahan sikap, maka kita bisa berpaling dan menjauh namun tetap dengan cara yang baik. Yang dengan itu bisa diharapkan mereka akan menyadari sikapnya dan menjadi terdidik.

Memaafkan atau bersabar atas kesalahan orang lain tidak identik dengan sikap toleran atau membenarkan kesalahan tersebut. Untuk kesalahan-kesalahan tertentu yang mengharuskan terjadinya hukuman, memaafkan bukan berarti menghapus hukuman atau dengan minta maaf serta merta akan menghilangkan efek dari kesalahan.

Islam bukanlah agama yang hanya mengurusi masalah pribadi atau hanya sekedar berkaitan dengan hubungan makhluk dengan Khalik semata namun juga merupakan tata aturan yang memberikan jaminan keselamatan dan ketentraman dalam kehidupan sosial. Nabi Muhammad Saw dan para Aimmah as, ketika berkaitan dengan kehidupan pribadinya ia lebih sering memaafkan dan bersikap sabar namun jika berkaitan dengan kepentingan sosial, maka segala upaya dikerahkan untuk menghentikan kejahatan dan kezaliman.

Kisah yang paling ma’ruf mengenai Nabi Saw adalah betapa menakjubkannya akhlak Nabi saat beliau membesuk salah seorang musuhnya yang terbaring sakit padahal sebelumnya sering melemparinya dengan kotoran unta dan meludahinya. Ataupun Imam Ali as yang membatalkan mengayunkan pedang di leher musuhnya yang sudah terjatuh, hanya karena musuh tersebut sempat meludahi wajahnya. Imam Ali as khawatir niatnya membunuh karena kemarahan atas ludah musuhnya itu, bukan karena perintah Allah SWT.

Pribadi-pribadi yang sedemikian lembut dan penyayang tersebut, itu jugalah yang gagah berani di medan perang. Wajah yang senantiasa ceria dan menyunggingkan senyum penuh kebaikan dan kelembutan tersebut adalah wajah yang juga dingin dan kaku ketika melihat para pengkhianat dieksekusi.