Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Ibnu Taimiyah: Perayaan Maulid Nabi, Bid’ah Sebab Tak Pernah Dikerjakan Oleh Salaf

1 Pendapat 05.0 / 5

Pandangan para ulama mengenai definisi serta makna bid’ah tidaklah  semuanya sama. Setiap dari mereka memiliki pondasi pemikirannya masing-masing, sehingga hal ini mempengaruhi pandangan mereka dalam menghukumi sesuatu.

Adalah maulid nabi, salah satu persoalan yang kerap menjadi bahan perbincangan dalam kasus ini. Acara peringatan ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai sebuah bentukan bid’ah yang tentu kesimpulannya adalah tidak diperbolehkan untuk mengerjakan atau mengikutinya.

Diantara mereka yang menganggapnya sebagai sebuah bid’ah adalah Syekh Bin Baz yang telah kita bahas dalam postingan sebelumnya. Kali ini kita akan melihat pandangan ulama lainnya yaitu Ibnu Taimiyah (661 -728 H), seorang ulama yang dikenal sebagai Syaikhul Islam.

Dalam kitab Iqtidha’us Shirathal Mustaqim, ia menyinggung masalah ini setelah kritikannya terhadap beberapa hari bersejarah dalam Islam yang diperlakukan selayaknya hari raya (hari ied) oleh sebagian kaum muslimin. Dalam hal itu ia menegaskan bahwa hari raya (hari ied) adalah merupakan syariat yang ditentukan Allah swt, sehingga tidak dapat sembarangan menjadikan sebuah hari sebagai hari ied.

Dan begitulah yang dibuat oleh sebagian orang (muslimin), entah itu (demi) menyamai orang-orang nasrani dalam hal miladnya Isa as atau bentuk kecintaan terhadap nabi saw serta pengagungan untuknya. Semoga Allah mengganjar mereka atas kecintaan dan upayanya ini, namun bukan atas bid’ah menjadikan maulid nabi saw sebagai hari raya (hari ied), meskipun orang-orang berbeda pendapat dalam maulidnya. Maka sungguh hal ini belum pernah dikerjakan oleh Salaf (para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), meskipun terpenuhi sebabnya dan tidak ada larangan untuk itu seandainya itu adalah sebuah kebaikan. Dan apabila hal ini adalah murni sebuah kebaikan atau hal yang disarankan maka seharusnya Salaf ra lebih berhak atasnya ketimbang kita, sebab merekalah yang paling mencintai Rasulullah saw dan paling mengagungkannya ketimbang kita, dan mereka adalah orang-orang yang paling menghendaki kebaikan.[1]

Dari uraian di atas, hal utama yang dijadikan alasan bid’ahnya maulid nabi adalah karena hal itu tak memiliki akar syar’i yang mana seharusnya hal itu dicontohkan oleh sosok nabi sebagai perantara wahyu dan perwujudan syariat itu sendiri atau setidaknya dikerjakan oleh salaf. Sehingga maulid ini menjadi hal baru (bid’ah) dalam kaitannya “di dalam” agama Islam.

Sebetulnya hal yang perlu diperhatikan dan direnungkan secara  mendasar dalam hal ini adalah bahwa apakah benar merayakan maulid itu berarti kita membuat sebuah syariat baru dalam agama ataukah tidak? Apakah dengan mengadakan sebuah perayaan artinya kita membuat hari itu sebagai hari ied secara syar’i? Apakah semua hal yang tidak ada contohnya pada nabi atau Salaf dapat dianggap sebagai bid’ah dan tidak diperbolehkan? Selanjutnya hal ini dapat kita teliti lebih jauh lagi dengan melihat isi dari perayaan maulid itu sendiri, dimana biasanya peringatan itu diisi dengan pembacaan Al-Quran, ceramah, pembacaan syair-syair keutamaan nabi, dll. apakah semua itu adalah hal yang baru sehingga termasuk bid’ah dan tidak diperbolehkan? InsyaAllah dalam pembahasan-pembahasan yang akan datang kita akan mendalami persoalan ini secara lebih luas lagi.

[1] Iqtidha’us Shirathal Mustaqim, jil: 2, hal: 619, cet: Maktabatur Rusyd, Riyadh.